Salatiga: Perluasan ‘Wilayah’ dalam Menentukan Batas (Identitas) Kedaerahan
Yakub Adi Krisanto
Topik di atas sebenarnya sederhana yang hanya muncul pada ranah pergaulan sesama warga baik di Salatiga (dan sekitarnya) maupun yang berada di perantauan. Topik sederhana diangkat karena perluasan ‘wilayah’ juga ternyata terangkat dalam relasi siber dengan fenomena jejaring sosial yang sudah mulai beberapa tahun lalu. Sehingga pengamatan atas perluasan ‘wilayah ‘ dalam menentukan batas (identitas) kedaerahan memperoleh penguatan dari dua ranah yaitu pergaulan ‘konvensional’ dan pergaulan siber.
Perluasan ‘wilayah’ dengan kata wilayah dalam tanda kutip hendak menjelaskan bahwa dalam pembicaraan keseharian, khususnya nampak pada obrolan perantau di luar Salatiga sering memperkenalkan diri sendiri sebagai orang Salatiga ketika ditanya asal daerah. Padahal orang yang ditanya tempat tinggalnya adalah di daerah Suruh atau Pabelan, dimana kedua wilayah tersebut secara administrative tidak berada di wilayah Kota Salatiga, melainkan Kabupaten Semarang. Bagi orang yang tahu mengenai Salatiga maka jawaban atas pertanyaan asal daerah akan dilanjutkan dengan pertanyaan lebih spesifik, Salatiganya daerah mana?
Pertanyaan lanjutan tersebut untuk mengetahui lebih detail wilayah Salatiga yang dimaksud oleh pihak yang menjawab. Yang tersirat dari pertanyaan lanjutan tersebut adalah pertama, harapan bahwa orang yang menjadi lawan bicara dekat dengan daerah asalnya. Kedua, orang yang bertanya berharap bahwa dengan kesamaan daerah asal dapat melanjutkan pembicaraan dengan kenangan atau cerita yang dekat dengan kehidupan mereka terdahulu. Dalam hal ini Salatiga menjadi tema yang diharapkan menjadi perekat dalam obrolan, karena ada kesamaan ketertarikan yaitu tentang Salatiga.
Namun dibalik pertanyaan spesifik, Salatiganya daerah mana tersebut, ada potensi cibiran apabila jawaban atas pertanyaan tersebut adalah wilayah yang bukan termasuk 4 kecamatan di Salatiga. Ungkapan seperti, ‘ooo, kalau daerah itukan bukan termasuk wilayah Salatiga,’ menjadi cibiran bahwa wilayah yang di sebutkan bukan wilayah Salatiga, tapi daerah lain, artinya lawan bicara bukan orang Salatiga. Namun ada pemaafan misalnya, lawan bicara pernah mengenyam pendidikan (PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi) di Kota Salatiga.
Paparan di atas menjelaskan judul diatas yaitu Salatiga menjadi terma perluasan ‘wilayah’ dalam menentukan batas identitas kedaerahan. Pengangkatan tema ini bukan mempermasalahkan, melainkan hendak menunjukkan bahwa terma Salatiga tidak hanya dibatas wilayah administratif Kota Salatiga dengan 4 kecamatan. Salatiga koneksi (Salatiga Connection) dalam pengertian ikatan salatiga melampuai batas kewilayahan administratif, melainkan meliputi namun tidak terbatas pada pengenyaman pendidikan, teman sepergaulan, ikatan persaudaraan (sedarah) maupun bentuk-bentuk koneksi lain yang sifatnya intrinsik.
Ungkapan Salatiga yang tidak terbatas pada wilayah administrasi juga terjadi terjadi pada model interaksi yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dengan jejaring sosialnya. Dalam hal ini khususnya jejaring sosial Facebook yang terdapat menu grup untuk mengumpulkan anggota Facebook yang memiliki kesamaan kepentingan. Grup-grup Facebook dengan kesamaan kepentingan yang menggunakan Salatiga menjadi identitasnya juga mengalami perluasan wilayah cakupan. Artinya ketika menggunakan kata Salatiga, anggota-anggotanya tidak serta merta berasal dari wilayah Salatiga.
Fokus dari perluasan wilayah dari penyebutan Salatiga adalah pertama, menunjukkan bahwa Salatiga menjadi perhatian tidak hanya warga Salatiga saja, melainkan juga warga yang tinggal di sekitar wilayah Salatiga. Kedua, meskipun tidak berada atau tinggal di wilayah Salatiga namun Salatiga menjadi ‘pusat’ dari wilayah peripheral yang notabene berada di luar wilayah Salatiga. Perhatian dan pusat adalah dua kata kunci yang melahirkan kepedulian terhadap Salatiga sehingga keterlibatan dalam berbagai aspek menyeruak dalam bingkai partisipasi publik.
Salatiga adalah pusat perhatian, tidak hanya bagi warga kotanya, melainkan juga bagi warga yang berada di luar wilayah Salatiga namun cukup intens interaksi di wilayah kota Salatiga. Kesadaran bahwa Salatiga adalah pusat perhatian perlu diketahui oleh pengambil kebijakan dalam merancang bangun kota Salatiga. Inilah potensi Salatiga. Karena Salatiga adalah ‘ibukota’ dari wilayah peripheral yang secara wilayah administrative berada di luar wilayah Salatiga. ‘Ibukota’ social dan ekonomi berelasi timbal balik antara pemerintah kota Salatiga, warga Salatiga dan warga wilayah peripheral Salatiga dengan komponen masyarakat yang membentuknya.
Sebagai ‘ibukota’ sosial dan ekonomi, maka tidak heran seringkali orang di sekitar wilayah Salatiga meski bukan terdaftar sebagai penduduk yang berKTP Salatiga mengklaim dirinya sebagai orang Salatiga. Klaim sebagai orang Salatiga karena ikatan intrinsik yang terjadi karena kedekatan jarak dan emosional dari pribadi yang bersangkutan. Kebanggaan sebagai orang Salatiga (meski tidak berKTP Salatiga sekalipun) adalah modal sosial sekaligus tantangan bagi Salatiga.
Modal sosial dan tantangan bagi Salatiga dapat diambil dari contoh sederhana yaitu kondisi jalan raya. Banyak orang di wilayah peripheral Salatiga membandingkan dan memuji kualitas jalan yang sudah hotmix di wilayah Salatiga dengan daerah lain yaitu Kabupaten Semarang. Modal sosial dari kondisi jalan adalah memudahkan dan/atau semakin melancarkan lalulintas barang dan orang antara Salatiga dengan wilayah sekitar. Tantangannya adalah bagaimana menjadi kualitas jalan tersebut dengan ekspektasi masyarakat pengguna jalan.
Jalan adalah salah satu contoh dari modal social dan tantangan bagi Salatiga yang mengalami perluasan makna kewilayahan, yaitu yang tidak terbatas pada wilayah administrasi kota Salatiga melainkan pelibatan ikatan intrinsic warga yang berkegiatan di wilayah Salatiga. Ikatan intrinsic inilah yang memperluas pemaknaan Salatiga yang tidak terbatas pada wilayah administrasi semata. Ikatan intrinsic selalu melibatkan kebanggaan yang berasal dari relasi personal setiap individu. Namun relasi personal apabila berhasil disinergikan akan melahirkan dampak bagi perbaikan kota Salatiga.
Dalam hal demikian, warga Salatiga secara tidak langsung telah dididik untuk tidak hadir egois dalam mengembangkan kota. Karena kota Salatiga yang telah menjadi ‘ibukota’ sosial dan ekonomi wilayah peripheralnya harus juga memperhatikan dinamika kepentingan para pihak yang terlibat dalam berkegiatan di wilayah kota Salatiga. Akankah Salatiga bisa memanfaatkan modal sosial dan tantangan untuk menjadi kota yang menjadi pusat perhatian dan tidak kehilangan daya tariknya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H