Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Biarkan Banggar DPR Vs KPK ‘Berkelahi’

28 September 2011   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketegangan antara dua lembaga negara dengan perbedaan fungsi hendaknya dibiarkan. Pembiaran ketegangan dilakukan dengan alasan pertama, kedua lembaga tersebut adalah lembaga yang bersifat independen. Artinya tidak boleh ada lembaga atau pihak manapun yang bisa melakukan intervensi terhadap DPR maupun KPK. Kedua, penyelesaian atas ketegangan dilakukan dengan mengutamakan hukum sebagai sarana penyelesaian masalah. Mengutamakan hukum berarti mengesampingkan sarana lain, bahkan solusi yang dikemukakan dengan dalih menjaga kebersamaan atau iklim politik yang kondusif.

Perang statemen di media antara DPR dan KPK menjadi bagian pembelajaran bagi public, mengamati perilaku aktor yang mewakili lembaganya, termasuk menganalisis pernyataan-pernyataan mereka. Public dapat mengetahui sikap mereka, dasar-dasar argument yang diajukan. Namun bagi kedua lembaga tersebut, tidak bisa saling memaksakan agar lembaga lain mengikuti kehendak. Memaksakan kehendak bertententangan dengan watak dari lembaga yang bersifat independen.

Pengertian dari lembaga bersifat independen adalah bebas dari pengaruh apapun. DPR sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh dari apapun ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945, 'Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat'. Pesan konstitusi yang dimuat dalam Pasal 7C tersebut adalah pertama, Presiden sebagai lembaga yang sejajar sekalipun tidak bisa intervensi atau mempengaruhi pelaksanaan tugas DPR. Kedua, ketidakbisaan Presiden tersebut meskipun keduanya lembaga tersebut dipilih dalam sebuah pemilihan umum merupakan jaminan konstitusi untuk tidak saling meniadakan diantara lembaga negara.

Ketegangan politik dapat mengarah pada saling meniadakan. Didahului dengan saling melempar argument dan dasar hukum atau logika dari argument yang disampaikan, sampai dengan ancaman untuk meniadakan. DPR dengan fungsi legislasinya dapat melakukan 'apapun' untuk meniadakan lembaga lain melalui undang-undang. Pertama, melakukan apapun artinya dengan fungsi legislasinya, DPR dapat membuat peraturan yang dikehendakinya. Kedua, meniadakan artinya mengurangi atau mengebiri kemampuan lembaga tertentu berkaitan dengan kewenangan yang tidak dikehendaki oleh DPR.

KPK sebagai lembaga independen yang bertujuan untuk memberantas korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan apapun yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Melakukan apapun berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki KPK sebagaimana diatur dalam Bab II UU No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Termasuk memanggil dan memeriksa pejabat public yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi. Pemanggilan dan pemeriksaan inilah yang diduga menyulut ketegangan antara KPK dan DPR.

Ketegangan yang terjadi menjadi bagian dari proses praktek bernegara dan akan memberikan pengalaman dalam pengelolaan negara, khususnya hubungan antar lembaga. Sikap tegas KPK untuk menolak undangan DPR perlu didukungan dan diapresiasi. Meskipun DPR dipilih oleh rakyat dan menjadi representasi rakyat, namun pelaksanaan fungsinya kadang jauh dari keinginan masyarakat. DPR bermain dengan kepentingannya sendiri (individu dan partai politik), dan mengabaikan kehendak rakyat yang diwakilinya. Kunjungan kerja dan korupsi yang dilakukan anggota DPR adalah salah contoh dari DPR yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.

KPK sebagai lembaga independen, patut menduga bahwa undangan DPR untuk bertemu dengan agenda membahas APBN adalah bagian untuk 'berkoordinasi' berkaitan dengan pemeriksaan sebagian anggota Banggar oleh KPK. Dan KPK berhak menolak untuk menjaga independensi dari setiap usaha mempengaruhi upaya penegakan hukum yang sedang dilakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana menyelesaikan ketegangan kedua lembaga tersebut? Apakah terdapat mekanisme penyelesaian yang disediakan oleh konstitusi atau hukum Indonesia? Mengapa penyelesaian ketegangan kedua lembaga tersebut dilakukan dalam koridor hukum dan atau konstitusi?

Pertanyaan pertama terjawab dengan mengarahkan pada kedua pertanyaan berikutnya yaitu penyelesaian dengan menggunakan hukum (dan kostitusi). Hukum digunakan untuk memberi kejelasan penyelesaian dan kepastian penyelesaian masalah serupa yang akan terjadi dimasa yang datang. Pijakan hukumnya adalah 'negara Indonesia adalah negara hukum' (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Selanjutnya adalah mekanisme hukum apakah yang tersedia untuk menyelesaikan ketegangan dua lembaga tersebut? Terdapat dua pilihan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahgamah Agung.

Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan ketegangan antara KPK dan DPR? Ketegangan dalam istilah constitusional review disebut dengan sengketa, apakah MK mempunyai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa antara KPK dan DPR. Terdapat 4 kewenangan KPK yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu [1] menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; [2] memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; [3] memutus pembubaran partai politik; dan [4] memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dari keempat kewenangan tersebut, kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD yang dapat menjadi mekanisme penyelesaian sengketa antara KPK dan DPR. Namun apakah KPK merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UU MK? Kata kunci dari jawaban tersebut adalah frasa 'kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD'. UUD 1945 tidak mengamanatkan adanya lembaga KPK, dengan kata lain UUD 1945 tidak mengatur secara tegas keberadaan KPK. KPK hadir bukan tuntutan (langsung) konstitusi, melainkan tuntutan keadaan bangsa sebagaimana dikemukakan dalam bagian menimbang UU KPK. KPK dibentuk karena belum optimalnya pemberantasan korupsi dan dibutuhkannya peningkatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk itu sengketa antara KPK dan DPR tidak dapat diselesaikan oleh MK.

Bagaimana dengan MA? Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur tentang kewenangan MA untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak diminta kepada lembaga tinggi negara lainnya. Meskipun ada kendala terkait dengan kewenangan tersebut yang sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh MK, namun MA lebih 'fleksibel' untuk memberikan penafsiran. KPK adalah lembaga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bahwa pasca amandemen UUD 1945 sudah tidak terdapat nomenklatur konstitusional mengenai lembaga tinggi dan lembaga tertinggi. Apakah demikian Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tidak berlaku lagi?

UU No. 14 Tahun 1985 masih berlaku meski mengalami perubahan dua kali yaitu dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009. Meskipun sudah tidak ada lagi nomenklatur lembaga tinggi dan tertinggi negara, kaedah hukum pasal tersebut masih berlaku. Kaedah hukumnya adalah memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada lembaga negara. Dalam konteks ketegangan atau sengketa antara KPK dan DPR, MA mempunyai pijakan hukum untuk memberikan pertimbangan bagaimana seharusnya kedua lembaga negara tersebut harus bersikap. Pertimbangan hukum MA dapat diberikan tanpa menunggu adanya pengajuan permohonan atau gugatan dari kedua lembaga tersebut.

Pertimbangan hukum MA dapat menjadi acuan hukum bagi lembaga negara dalam menjalin kerjasama kelembagaan dan mengembalikan supremasi hukum. Ketegangan tidak diselesaikan dengan mekanisme politik atau parlemen jalanan, melainkan membiarkan hukum mengambil peran dalam pengelolaan hubungan antar lembaga. Mekanisme penyelesaian politik bisa dan mungkin dilakukan, tetapi sebagai negara hukum, hukum harus menjadi panglima dengan menempatkan hukum sebagai acuan utama penyelesaian sengketa. Dalam situasi demikianlah checks and balaces diterjemahkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara. Dimana MA sebagai lembaga negara (juga) mengambil peran control yang berkaitan dengan bidang hukum terhadap pelaksanaan hukum oleh lembaga negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun