Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menuju Watak Kewargaan yang Deliberatif & Menghormati Pluralisme

10 Januari 2012   00:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:06 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) mengalami pertanyaan krusial sebagai refleksi ditengah ‘krisis’ bernegara dan berbangsa. Krisis dimaksud bukan seperti krisis ekonomi sebagaimana pernah terjadi diantara tahun 1997-1998, melainkan krisis sebagai salah satu hasil proses demokrasi. Konflik baik horizontal dan vertical adalah kondisi yang harus mampu dijawab yaitu apakah PKN sudah dapat membentuk warga negara yang demokratis dan menghargai aneka perbedaan? PKN sudah dihadirkan sejak Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Sehingga sebagaian warga negara sudah mengenal dan belajar PKN ketika mengenyam bangku pendidikan.

Konflik menunjukkan kegagalan atau belum berhasilnya mentransformasikan nilai-nilai demokrasi, khususnya menghormati perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan kekerasan, baik konflik antar kelompok masyarakat maupun konflik antara masyarakat dengan negara dan/atau pemilik modal. Kebebasan mengemukakan pendapat tidak disertai dengan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai bentuk perbedaan pendapat. Konflik yang tak terselesaikan, atau solusi atas masalah-masalah yang tidak memuaskan membentuk karakteristik masyarakat bersumbu pendek.

Kesadaran masyarakat yang meningkat pasca terbukanya kran demokrasi tahun 1998, tidak diikuti dengan perbaikan watak negara dan pemerintahnya dalam melayani kepentingan masyarakat. Otonomi daerah yang seharusnya menjadi sarana untuk mendekatkan diri pelayanan pemerintah ke masyarakat, berhasil membentuk ‘raja-raja’ kecil yang menginginkan untuk dilayani. Demokrasi terdistorsi menjadi kesempatan untuk mendatangkan kekayaan dari jabatan public, maupun melalui koneksitas yang dibangun dengan patron politik.

Demokrasi sebatas procedural, belum mendorong kemampuan warga mengontrol berbagai kebijakan public pasca pemilu. Kemampuan control kebijakan public membutuhkan deliberasi warga yang terlibat dalam setiap aspek pembentukan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan public. Demokrasi saat ini menempatkan rakyat ibarat baju pesta, yang dikenakan saat pesta berlangsung dan segera menanggalkan saat pesta usai, kemudian menaruhnya di dalam lemari untuk digunakan kembali saat (musim) pesta datang lagi.

Warga negara dengan kebebasan mengemukakan pendapat belum sepenuhnya diejawantahkan dalam masalah-masalah public. Watak pemerintah yang birokratis-prosedural cukup puas ketika tahapan atau prosedur sudah dilakukan, tanpa melihat apakah prosedur yang dilalui mampu menjaring aspirasi atau aneka solusi yang kualitas. Dalam hal ini prosedur pengambilan dan pelaksanaan kebijakan cenderung memuaskan pemerintah, namun mengabaikan kepentingan masyarakat. Masyarakat masih dilihat sebagai kawula atau abdi, sedangkan pemerintah adalah tuan yang harus dilayani oleh kawula.

PKN yang sudah dikenalkan sejak SD perlu berefleksi dan mengevaluasi pembelajaran yang selama ini dilakukan. Aneka masalah kebangsaan dan kewargaan yang muncul saat ini, salah satunya akarnya kegagalan PKN menjadi media pembelajaran warga menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kebaikan dan tanggung jawab yang tidak sekedar berada pada ruang lingkup personal, melainkan lebih luas lagi merambah pada wilayah diluar individu mulai dari komunitas warga seperti RT/RW sampai dengan negara.

Pendidikan Kewarganegaraan atau Civic Education menurut Jennifer Rietbergen-McCracken adalah as the provision of information and learning experiences to equip and empower citizens to participate in democratic processes.[1] Pendidikan kewarganegaraan adalah membekali berbagai informasi (baca: pengetahuan) dan pengalaman pembelajaran. Belajar PKN berarti tidak sekedar memperoleh informasi dan atau mendapatkan pengetahuan, melainkan memiliki pengalaman atau belajar mengalami yang berkaitan dengan masalah kewarganegaraan.

Tujuan PKN dari definisi PKN diatas adalah melengkapi dan memberdayakan warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi. Informasi dan pengalaman pembelajaran menjadi sarana untuk melengkapi dan memberdayakan warga negara. Warga negara tidak sekedar tahu atau mempunyai informasi, namun mampu ‘melakukan sesuatu’ sebagai bentuk tanggung jawab kewarganegaraan. Mampu ‘melakukan sesuatu’ ini merupakan salah satu bentuk keterampilan (skill) dalam kegiatan berpartisipasi pada sebuah proses demokrasi.

Reitbergen-McCracken mengemukakan terdapat 3 element Pendidikan Kewarganegaraan yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civid education), keterampilan kewarganegaraan (civic skills) dan disposisi kewarganegaraan (civi disposition). Ketiga elemen tersebut akan mengarahkan pada promosi kemampuan olah keterampilan kewarganegaraan (civic engagement) dan mendukung terbentuknya pemerintahan demokratis dan partisipatif.[2] PKN menjadi proses yang luas dan berkelanjutan, tidak sekali jadi namun terus berkembang dengan kebutuhan masyarakat dalam mendorong terbentuknya pemerintahan yang good governance dan demokratik.

Amy Gutman memberikan definisi PKN adalah the cultivication of the virtues, knowledges, and skills necessary for political participation.[3] Definisi PKN dari Amy Gutman senada dan senafas dengan definisi Rietbergen-McCracken, dalam hal bahwa pertama¸ PKN tidak sekedar pengetahuan belaka melainkan keterampilan. Bahkan dinyatakan PKN sebagai puncak kebajikan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan bagi partisipasi politik. Kedua, PKN dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi politik warga negara dalam pengelolaan pemerintahan.

Dalam pemahaman definisi yang dikemukakan Amy Gutman, PKN diarahkan pada gerakan politik warga negara yang terbangun dari kesadaran dan pengetahuan yang dimiliki. Gerakan politik menjadi bagian dari manifestasi pengetahuan dan keterampilan dalam berpartisipasi dalam pengelolaan pemerintahan.[4] Warga negara mampu mengorganisir dirinya ketika menghadapi permasalahan dan mengajukan alternative solusi dalam mempengaruhi kebijakan public yang dihasilkan oleh pemerintah. Kemampuan mengorganisir menjadi penting dan sudah dimiliki oleh masyarakat. Namun masih konvensional yaitu dengan melakukan unjuk rasa maupun demonstrasi. Warga negara perlu dicerahkan dengan berbagai alternative cara atau metode dalam rangka pendapatnya didengarkan dan diperhatikan oleh pemerintah.

Membangun kesadaran untuk bersikap kritis menjadi bagian dari upaya menuju warga negara yang memiliki watak deliberasi bagi terbentuknya demokrasi deliberatif. Sikap kritis yang dilandasi dengan pengetahuan dan informasi dalam berhadapan dengan aneka latar belakang kebijakan pemerintah. Sikap kritis dalam suasana demokrasi juga perlu didukung dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara damai. Masalah yang berasal dari perbedaan pendapat dapat berujung konflik (horizontal dan vertical), untuk itu perlu ditekankan dalam kewargaan yang deliberatif, penyelesaian masalah harus dilakukan dengan damai bukan kekerasan.

Dialog membutuhkan kemampuan. Tidak sekedar mengemukakan pendapat, tetapi membutuhkan keterampilan seperti mengajukan alternative solusi dan kemampuan bernegoisasi dengan pihak yang memiliki perbedaan pendapat. Budaya menang-kalah harus mulai dikikis dan diganti dengan nilai win-win solution. Saling menang dengan mengakomodasi semua kepentingan yang terlibat adalah bagian dari upaya mengeliminasi terjadinya konflik. Dialog juga membutuhkan keterampilan untuk mendengar pendapat pihak lain. Mendengar dan memahami kepentingan pihak lain menghindarkan sikap klaim kebenaran yang didasarkan pada perspektif diri sendiri.

Pertanyaan untuk mengawali diskusi selanjutnya adalah bagaimana sikap kita sebagai warga negara apabila pemerintah dengan kepentingannya tetap bersikeras dengan sikap dan pendapatnya dan mengesampingkan kepentingan masyarakat?

[1] Rietbergen-McCracken, Civic Education, http://pgexchange.org/index.php?option=com_content&view=article&id=133&Itemid=122 diakses pada tanggal 8 Januari 2012.

[2] Ibid.

[3] Amy Gutman, Civic Education, plato.stanford.edu/entries/civic-education didownload pada tanggal 8 Januari 2012.

[4] Gerakan politik (political movement), menurut wikipedia adalah a social movement in the area of politics. A political movement may be organized around a single issue or set of issues, or around a set of shared concerns of a social group. Political movements are an expression of the struggle of a social group for the political space and benefits. A political movement may be local, regional, national or international in scope. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Political_movement diakses pada tanggal 9 Januari 2012.

NB: Tulisan ini adalah materi kuliah perdana Pendidikan Kewarganegaraan UKSW tanggal 11 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun