Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Banalitas Kekerasan Dalam Analogi Peribahasa

20 September 2011   16:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analogi yang dimaksud adalah 'guru kencing berdiri, murid kecing berlari'. Namun dalam keterpautan dengan banalitas kekerasan menjadi 'guru kencing berdiri, murid kencing dikepala orang lain'. Poin dari pesan peribahasa yang diubah itu adalalah imitasi perilaku kekerasan dilakukan dan mengalami 'inovasi' dalam kontekstualisasi dimana perilaku tersebut dilakukan. Imitasi terjadi dengan menggunakan berbagai modus. Dan hakekat dari modus tersebut adalah teladan yang diberikan terinternalisasi ke alam bawah sadar dan mencuat keluar karena seolah telah terkonfirmasi dari teladan yang diperoleh. Kontekstualisasi perilaku merupakan tindakan kekerasan yang disesuaikan dengan keadaan pelaku dan situasi yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan.

Teladan yang terberi ketika kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak diekspose atau terpublikasi oleh media. Aneka tindakan kekerasan yang ditunjukkan oleh berbagai aktor mengambil berbagai bentuk baik fisik, psikis dan verbal. Kekerasaan kuat terimitasi ketika terlegitimasi, artinya kekerasan tersebut dilakukan tanpa mendapatkan hukuman atau sanksi dari penegak hukum. Kekerasan yang demikian seolah terjadi pembiaran, dan terkesan 'dibolehkan' oleh negara c.q pemerintah. Kekerasan yang terlegitimasi menampilkan arogansi kekuasaan tandingan, dan membujuk pembaca atau pemirsa media untuk melakukan hal sama suatu saat nanti ketika kesempatan datang.

Bujukan tersebut sekaligus menjadi proses pengolahan kekerasan yang semula berbentuk berita (gambar, film, narasi) menjadi aneka kekerasan fisik, psikis dan verbal. Pengolahan kekerasan yang terjadi secara personal, mengalami akumulasi proses yang sama dan setara bertemu dalam keadaan yang dihadapi bersama. Pengalaman yang diperoleh dari berita atau informasi secara tidak sadar terlegitimasi untuk dilakukan karena melihat bahwa kekerasan serupa tidak memberikan dampak negatif personal. Kekerasan mengalami reduksi dan diterima sebagai bagian dari kewajaran ketika tidak ada hukuman.

Potensi kekerasan menunggu dan sedang terendap mengintip untuk mencuat keluar ketika keadaan mendorongnya untuk keluar. Keadaan bisa mengambil bentuk yang beraneka. Kemarahan menjadi benang merah tumbuh suburnya kekerasan. Kemarahan karena ketidakadilan, kemarahan karena terganggu hak miliknya, harga dirinya, kelompok bermain atau teman sepermainan, adalah irisan kecil dari kontekstualisasi kemarahan. Irisan lainnya adalah saat kemarahan teraktualisasi menjadi sebuah perilaku atau tindakan sebagai bentuk respon dari kondisi ekternal individual. Transformasi nilai-nilai kekerasan yaitu kebanggaan dan tak berdosa menyakiti orang lain.

Kebanggaan melakukan kekerasan bahkan menyebarluaskan di jejaring sosial adalah aktualisasi dari ungkapan 'murid kencing dikepala orang lain''. Ungkapan 'kencing berlari' menjadi 'kencing dikepala orang lain' menjadi bagian dari exegerasi (membesar-besarkan) dengan pengertian yang negatif. 'Kencing berlari' sebenarnya merepresentasi ketidaksopanan sebuah perbuatan untuk dilakukan, dan 'kencing dikepala orang lain' menjadi ungkapan tidak hanya tidak sopan tetapi kurang ajar. Penguatan arti dari sopan menjadi kurang ajar sekaligus menujukkan adanya peningkatan level ketidaksopanan, yang semula hanya tidak sopan menjadi kurang ajar. Meskipun dalam keseharian, tidak sopan juga berkonotasi dengan kurang ajar, namun pembedaan atau pemisahan tersebut dilakukan untuk menunjukkan kualitas level tindakan kekerasan yang terkontekstualisasi.

Untuk mengurangi kekerasan maka seharusnya yang terlebih dulu dilakukan kepada para para pemimpin (penafsiran dari kata 'guru'). Pemimpin disemua lapisan masyarakat harus memberikan suri teladan yang baik, anti kekerasan terhadap semua kebijakan, tutur kata, pengembanan hukum atau melakukan olah politik. Bahkan ketiadaan tindakan atau pembiaran oleh pemerintah atau aparat penegak hukum adalah kekerasan (silent violence), ketika mengetahui ada pelanggaran hukum yang dilakukan warga bangsa terhadap sesama warga bangsa. Pertanyaannya adalah adakah pemimpin yang anti kekerasan, tidak berkehendak untuk tidak melakukan kekerasan. Atau tidak mengumbar aneka bentuk kekerasan ke media atau melakukan filter terhadap berita kekerasan yang mampu membujuk masyarakat unutu melakukan yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun