PSSI sebagai induk organisasi sepakbola di Indonesia sempat (dan mungkin masih) mewarnai hiruk pikuk pemberitaan media cetak maupun elektronik. Hiruk pikuk yang diawali dengan tuntutan mundur ketua umum Nurdin Halid, dan 2 kali kegagalan kongres untuk melaksanakan agendanya. Pembahasan mengenai situasi kongres dan kegagalan melaksanakan agenda diulas dan dikaitkan dengan kemungkinan sanksi FIFA dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi sepakbola.
Pasca kegagalan kongres kedua di Jakarta, pemberitaan cenderung mengalami penurunan. Penegasan FiFA mengenai larangan George Toisutta-Arifin Panigoro tidak bisa ditawar, meski berbagai upaya ditempuh oleh para pendukungnya. Publik sepakbola baik pelaku maupun pecinta sepakbola menyadari bahwa kegagalan melaksanakan kongres sebagaimana kesempatana yang diberikan FIFA akan berhadapan dengan sanksi FIFA.
Senyap, itulah kesimpulan yang bisa diberikan mengacu pada sepakbola pasca kongres kedua. Apakah ini bagian dari strategi 'cooling down' Komite Normalisasi untuk menghindari penajaman konflik yang ditimbulkan oleh media? Ataukah karena kejenuhan publik sepakbola mengenai karut marut kondisi sepakbola yang tidak hanya ricuh di dalam lapangan, tetapi juga ricuh pada kongres PSSI. Kesenyapan tersebut dapat dinilai dari 2 perspektif, pertama, adanya kesadaran bahwa suskes kongres adalah harga mati. Sehingga pilihan untuk memaksakan kehendak akan menghacurkan sepakbola Indonesia.
Kedua, kekuatan yang terpolarisasi sedang menyusun strategi, berbagi ide untuk bisa meraih kepentingannya. Khususnya Kelompok 78 yang menjadi salah satu pihak yang terpolarisasi sedang mempertimbangkan berbagai cara untuk mengantisipasi strategi dari Komite Normalisasi. Cara untuk memancing reaksi dari tubuh KN adalah dengan melontarkan sistem pemilihan yang akan dilakukan dengan cara e-voting.
Ketiga, KN lebih memilih diam dan bekerja untuk sukses penyelenggaraan kongres daripada memberikan respon atau menyampaikan hal yang khusus berkaitan dengan perkongresan. Termasuk dalam pilihan ini adalah melakukan konsolidasi baik dalam konteks penyelenggaraan, dukungan pemerintah dan semua pihak yang mempunyai hak suara.
Sebelum pelaksanaan kongres PSSI tangal 9 Juli 2011, suasana relatif senyap tidak berhiruk pikuk dan berpolemik di media. Kesenyapan menunggu klimaks, publik sepakbola menunggu hasil kongres khususnya penyelesaian masalah pertarungan antara KN/FIFA dengan K 78 dan figur ketua umum yang akan dipilih. Apakah K 78 akan tetap ngotot mengusung GT-AP meski tidak mendapatkan 'restu' dari FIFA atau mengajukan nama lain. Dalam senyap menunggu klimaks, pernyataan yang menggambarkan situasi sebelum kongres.
Perkembangan baru dari sikap K78 adalah pensiunnya GT dari TNI dan 'diterimanya' LPI yang digagas AP ke dalam 'pelukan' PSSI. GT kehilangan hambatan yang menjadi kekurangan dalam pencalonan. Dengan pensiunnya GT berarti sudah tidak lagi memiliki hambatan yaitu potensi rangkap jabatan. LPI yang menjadi 'anak angkat' adalah perkembangan krusial. Pertanyaannya apakah dengan demikian AP memiliki hak untuk mencalonkan diri. FIFA harus dimintakan pendapatnya mengenai kedua hal dari perkembangan baru seputar pencalonan.
Untuk itu publik sepakbola menunggu hasil kongres di Solo. Masa depan sepakbola Indonesia akan ditentukan, klimaks permasalahan PSSI akan terjadi pada kongres. Kedewasaan berpikir dan mengacu pada kepentingan nasional akan disaksikan oleh publik sepakbola, Silahkan pemilik hak suara mengambil keputusan untuk masa depan sepakbola Indonesia.
Bangkit Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H