Individu yang bernama Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat dan sekaligus anggota DPR RI sedang menjadi sorotan. Ketenaran atau keterkenalan beliau terkait dengan isu suap Sesmenpora masih belum meninggalkan dirinya. Belum surut dan selesai kasus suap, telah datang kabar miring yang dilontarkan oleh Ketua MK, Mahfud MD.
Kader partai dan anggota DPR yang paling menjadi sorotan beberapa hari ini terus mengalami pergunjingan. Disebut pergunjingan karena karena tuduhan dari pernyataan beberapa pihak yang diarahkan kepadanya belum dapat dibuktikan kebenarannya, khususnya terkait dengan persimpangan tuduhan itu dalam ranah hukum. Pergunjingan terkait dengan betapa aktif dan vulgarnya Nazaruddin dalam mengeksploitasi jabatan di partai dan DPR.
Meski tidak dibenarkan atau disalahkan dalam isu suap sesmenpora, tuduhan publik yang diarahkan ke Nazaruddin membuat petinggi Partai Demokrat pontang-panting menggelar pertemuan dan menyusun kata untuk bersilat lidah membela kadernya. Pertemuan sempat dihelat oleh Ketua Dewan Pembina, namun hasil yang diharapkan publik yaitu 'hukuman' atau sanksi disiplin partai belum muncul ke publik. Jawaban 'standar' dan klise dilontarkan ketika publik melalui media massa meminta tanggapan.
Dilain pihak, publik (mungkin) sudah terlanjur mempercayai bahkan mengamini tuduhan keterlibatan Nazaruddin pada isu suap. Meski pembelaan sudah dilakukan oleh jajaran partai, dengan menyatakan bahwa Nazaruddin tidak terlibat dalam isu suap sesmenpora. Kepercayaan publik mengenai keterlibatan Nazaruddin lebih kuat daripada pembelaan yang sudah dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah rakyat sudah paham dengan tabiat wakil rakyat di senayan.
Kepercayaan semakin ditegaskan dengan pernyataan Ketua MK mengenai pemberian uang ke Sekjen MK sebesar 120.000 dollar Singapura. Kewibawaan individu yang dimiliki Mahfud MD memberikan bobot tersendiri dari pernyataan yang diberikan. Dan SBY tidak membantah dengan tegas pernyataan Mahfud tersebut. Tidak dibantahnya pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa SBY tidak lagi akan melindungi Nazaruddin, yang selama ini masih dibela oleh kolega-nya di partai.
Nazaruddin menjadi representasi wajah kader partai dan anggota DPR. Pertama, selalu dibela sampai tangan hukum bisa menjamahnya. Kedua, pembelaan dilakukan terkait dengan dugaan adanya kontribusi finansial yang diberikan kader partai dalam membiayai jalannya roda organisasi partai. Ketiga, kader partai yang menjadi anggota DPR memainkan fungsi sebagai calo atau broker anggaran. Keempat, ada kompetisi diantara parpol dalam memperebutkan proyek-proyek pembangunan di Indonesia.
Kelima, dimungkinkan adanya 'kapling' anggaran yang dilakukan oleh parpol yang berkuasa beserta dengan anggota koalisinya. Keenam, APBN/APBD menjadi 'sapi perahan' partai politik. Ketujuh, bahwa korupsi sudah menjadi habitus dari partai politik.
Ketika partai politik sudah menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi, maka pemberantasan korupsi ibarat meninju angin. Partai politik menjadi aktor utama dalam mendesain korupsi, dan menguasai praktek korupsi di tiga cabang kekuasaan. Artinya korupsi sudah menggurita, dan kader parpol menjadi tentakelnya.
Bangkit Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H