Membaca judul tulisan diatas mungkin pembaca bertanya, apa hubungan keduanya antara Nazarudin yang merupakan kader partai demokrat dengan kelompok 78 yang semula menjadi kelompok yang ingin menggulingkan NH, kemudian bersyahwat untuk memegang kekuasaan? Keduanya menjadi buah bibir bangsa Indonesia yang terungkap dalam pemberitaan di media ceyak maupun elektronik.
Ke-buah bibiran keduanya berasal dari pembelaan yang dilakukan atas masing-masing 'kasus-kasus' yang menimpa mereka. Dikatakan kasus, karena keduanya saat ini menjadi 'tertuduh' dari masalah yang terkait dengan organisasi dimana mereka bernaung. Nazarudin membela dirinya mati-matian yang menyatakan dirinya tidak bersalah berkaitan dengan korupsi yang terjadi pada pembangunan wisma atlet di Palembang. Kelompok 78 merupakan kelompok yang membela pencalonan George Toisutta - Arifin Panigoro (GT-AP) pada suksesi ketum PSSI di kongres PSSI, 20 Mei 2011.
Pembelaan yang diberikan mengalami klimaks setelah dua peristiwa yang terjadi pada minggu kemaren. Yaitu untuk Nazarudin, pembelaan yang selama ini dilakukan menghadapi tantangan krusial ketika ketua MK Mahfud MD berkirim surat dan bertemu SBY. Pernyataan Mahfud MD yang mengungkap pemberian uang kepada sekjen MK menjadi pukulan telak bagi Nazarudin. Kebenaran dari pernyataan tersebut berada diruang gelap. Dan sampai saat ini belum ada pihak, bahkan dari Nazarudin atau partai demokrat yang akan melaporkan Mahfud MD ke POLRI dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Ketiadaan reaksi dari Nazarudin atau partai demokrat untuk melaporkan ke polisi menjadi pertanyaan yang dapat mendukung kebenaran pernyataan yang diungkapkan. Tidak seperti pada saat pernyataan mantan pengacara Rosa, terdakwa suap sesmenpora yang menimbulkan reaksi dari kolega di DPR maupun di partai. Bahkan respon partai demokrat begitu intens untuk mengadakan pertemuan membahas isu yang dungkap ke publik mengenai keterkaitan Nazarudin dalam suap sesmenpora.
Demikian pula yang terjadi pada kelompok 78, semula menjadi ekkuatan pendukung untuk melakukan gerakan revolusi di tubuh PSSI. Kemudian setelah Nurdin Halid (NH), mereka mencalonkan GT-AP untuk menjadi ketum PSSI. Dukungan pencalonan berubah menjadi pemaksaan atas kehendak kelompok 78 agar GT-AP tetap dapat dicalonkan meski Komite Normalisasi atau FIFA menolak 4 nama termasuk GT-AP.
Dukungan terkonversi menjadi pembelaan yang mengalami klimaks pada kongres PSSI tanggal 20 Mei kemaren. Pembelaan menciptakan hujan interupsi dengan potensi terjadinya tsunami atas PSSI apabila hujan interupsi yang mengakibatkan ketua komite normalisasi menutup secara prematur kongres tersebut. Tsunami dimaksud apabila PSSI di bekukan oleh FIFA, sehingga tidak dapat tampil atau berlaga pada event-event kompetisi sepakbola internasional.
Pasca kongres, kelompok 78 menjadi tertuduh utama yang disalahkan karena kegagalan komite normalisasi memilih ketum pada kongres kemaren. Pembelaan yang mengalami klimaks, dengan akibat yang bersifat masif dan ditanggung oleh seluruh bangsa Indonesia.
Nazarudin dan kelompok 78 tidak sekedar menjadi buah bibir bangsa Indonesia saat ini. Melainkan menjadi lakon atau aktor utama dari kasus yang menimpa negeri ini. Aktor antangonis yang berperan atau berkontribusi atas keterpurukan negeri ini. Dalam bahasa hukum, mereka menjadi terdakwa tunggal atas kasus korupsi dan keruwetan sepakbola Indonesia. Untuk menghindari semakin dalamnya keterpurukan maka butuh ketegasan untuk menyingkirkan biang keladinya. Beranikah? Bangsa Indonesia menunggu.
Bangkit Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H