Wakil rakyat juga menjadi pelaku pasar hukum. Dan ketika demikian maka (semakin) menebalkan paras ketidakadilan ketika hukum akan ditegakkan. Proses hukum di lembaga legislatif menjadi komoditas berjangka, yang dipesan oleh pembeli hukum yang berkepentingan dengan harga kekinian tetapi kemanfaatannya relatif langgeng sampai dengan adanya revisi atau perubahan hukum di masa yang akan datang.
Dengan situasi demikian maka pertama, masihkah kita mengharapkan hukum yang berkeadilan? Kedua, hukum terjebak pada lingkaran setan korupsi para pelaku pasar yang menggunakan hukum sebagai komoditas. Kesadaran yang terbentuk atas keberadaan cadar dan paras hukum demikian, maka yang dibutuhkan bukan hukum lagi atau kekuasaan yang pemberani. Melainkan kejujuran yang tampil sebagai sebuah keutamaan dalam masyarakat. Dimana masyarakat harus memberikan dukungan dan solidaritas atas kejujuran, karena tanpanya upaya pemberantasan korupsi menjadi menjaring angin. Sekaligus masyarakat juga perlu melakukan transformasi nilai, yaitu kejujuran sebagai keutamaan dari keunggulan pribadi bukan yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H