Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miras Oplosan: Mengenang Korban (Meninggal) di Salatiga

27 April 2010   09:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas tidak bermaksud untuk membenarkan konsumsi minuman keras (miras), tetapi hendak menunjukkan adanya relasi kompleks yang terbangun dalam habitus mengkonsumsi miras. Salatiga telah mengalami jatuh korban meninggal antara 8-12 orang akibat miras (oplosan). Dan ini seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi individu baik yang peminum atau bukan, masyarakat, pemerintah dan/atau negara. Pembelajaran tersebut berguna untuk membentuk rasa bijaksana dalam usaha menanggulangi maraknya konsumsi miras atau minuman beralkohol lainnya.

Masyarakat akan mudah memberikan penilaian, bahwa korban meninggal adalah sebuah resiko dari pilihan. Tetapi apakah publik atau masyarakat mengetahui ada kontribusi baik langsung atau tidak langsung yang mampu mendorong individu mengkonsumsi miras. Kontribusi inilah yang disebut sebagai relasi kompleks miras yang ada disekitar kita. Relasi kompleks tersebut terkait dengan hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, individu dengan negara dan masyarakat dengan negara. Hubungan yang terbangun saling merekonstruksi inter-relasi.

Miras adalah sarana, bukan tujuan. Karena tujuan dari konsumsi miras bukan yang utama, tetapi sebagai perantara untuk sekedar bisa mengantarkan ke situasi dimana kesadaran bisa dikesampingkan. Pengesampingan tersebut dilakukan karena 'beban' hidup yang harus ditanggung atau digumuli sepanjang hari atau minggu. Dan 'beban' hidup ini hendaknya jangan dipandang secara subyektif (diri kita), karena hanya akan melahirkan ketidakadilan dalam melihat kondisi obyektif.

Miras sebagai sarana utk sejenak melupakan dan menghindar dari kesadaran. Miras menjadi sarana hiburan bagi wong cilik. Mengapa konsumen miras, khususnya yang oplosan dikategorikan sebagai wong cilik? Karena pasca kenaikan cukai minuman beralkohol sebesar 300%, berimbas pada kemampuan daya beli atas miras 'depkes'. Istilah depkes (departemen kesehatan) merupakan klasifikasi minuman yang berlabel dari depkes dan miras jenis inilah yang mengalami kenaikan harga sebesar 300%.

Kenaikan harga miras inilah yang mendorong konsumen yang wong cilik mengalihkan atau mensubstitusi miras 'depkes' ke miras oplosan. Inilah relasi kompleks antara individu dengan pemerintah/negara, dimana individu yang berkantong tebal masih akan mampu 'menebus' harga miras 'depkes' atau miras dengan kategori red label atau black label. Tetapi bagi wong cilik, miras 'depkes' sudah tak terjangkau.

Konsumsi miras yang sudah menjadi habitus terbentuk karena sudah longgarnya nilai-nilai kultural yang berkembang, bahkan mengalami pergeseran dan peralihan yaitu yang semula memandang miras sebagai barang haram (dan memang masih tp secara normatif) menjadi minuman biasa yang harus diterima keberadaannya (secara sosiologis).

Miras oplosan bisa menjadi bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang berupa konstruksi hubungan sosial yang terbentuk di masyarakat. Perlawanan terhadap non wong cilik (orang-orang berduit) yang masih mampu mengkonsumsi miras 'depkes' atau miras red/black label. Wong cilik menilai mengapa di hotel atau ditempat kaum berduit biasa nongkrong masih bisa ditemukan miras, sedangkan wong cilik dengan daya beli terbatas sudah tidak mampu membeli miras 'depkes' karena kenaikan cukai miras.

Sekali lagi tulisan ini sama sekali tidak ingin menjadi pembenar bagi konsumsi miras, tetapi secara sosiologis miras eksis dan sudah menjadi budaya di kelompok sosial tertentu. Sehingga butuh solusi cerdas dari berbagai kalangan untuk menyelesaikan habitus minum miras. Bukan hanya dengan pendekatan legalistik-normatif, tetapi harus bisa membongkar habitus tersebut termasuk longgarnya keberadaan penjual miras yang bisa diketahui publik.

Longgarnya keberadaan miras juga memudahkan masyarakat memperolehnya, dan ini terkait dengan budaya permisif masyarakat, rendahnya pengawasan pemerintah atau budaya pungut aparat penegak hukum yang menjadi 'legitimasi' keberadaan penjual miras oplosan. Kalau boleh mengatakan miras (oplosan) hadir dimasyarakat karena adanya mafia miras. Mafia miras hadir karena [1] lemahnya kontrol dari masyarakat seperti tonggo teparo (tetangga bersebelahan), tokoh masyarakat; [2] rendahnya pengawasan dari pemerintah daerah; [3] budaya pungut dari aparat penegak hukum terhadap penjual miras dan [4] syahwat mabuk yang mendominasi individu-individu tertentu sehingga menghasilkan relasi supply and demand.

Syahwat mabuk menjadi habitus, sebagai sarana melepaskan diri kepenatan dan beban hidup. Mereka hanya butuh 'hiburan' yang mampu mengesampingkan kesadaran atau keterjagaan. Hiburan yang tidak sekedar menyenangkan, tapi kata kuncinya adalah menghindari kesadaran yang sudah mereka gumuli selama satu hari atau 5 hari kerja dengan segala dinamika hidup yang berkembang.

Saat ini yang dibutuhkan tidak hanya menghujat (meski sah, karena yang dihujat adalah dosa dari perspektif agama atau undang-undang), tetapi yang terpenting adalah memutuskan mata rantai yang membentuk habitus minum miras. Dan ini bukan hal mudah. Bahkan sampai note ini ditulis belum muncul pernyataan dari pemerintah kota Salatiga atas korban meninggal sampai dengan puluhan jiwa. Ini bisa melahirkan berbagai tafsiran, tp yang hendak dikemukakan disini adalah bentuk ketidak pedulian pemerintah baik atas maraknya keberadaan penjual miras maupun atas jatuhnya korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun