“Cukup! Itu dulu,” jawabku singkat. “Kamu pasti mengetahui cinta yang aku bangun bersamanya beberapa tahun lalu,” lanjutku.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengeringkan pengalamanku secara detail kepada Anton. Harapanku, meskipun tidak mengembalikan semua itu, setidaknya dapat menenangkan perasaanku. Ternyata benar, setelah aku menceritakan kisah cintaku, perasaanku terasa lega. Meskipun belum mendapat tanggapan dari Anton.
“oke, aku mencoba menjawabnya. Tapi tunggu, apa kamu masih percaya padauku?” Tanya Anton
“Tentu sobat, makanya aku datang kepadamu,” balasku
“kamu harus mengakui bahwa cintamu adalah cinta abadi. Setelah kamu Kembali, tanpa mendengar kabar darinya, akan terus menjadi misteri cinta itu. Maka sekarang yang kamu lakukan adalah melupakan dia. Jika memang Tuhan menghendaki, suatu saat nanti kamu akan bertemu lagi. Kita tidak pernah tahu misteri Tuhan. Pasti Tuhan memiliki rencana yang lebih indah darimu. Beda agama merupakan persoalan baik bagi anak-anak maupun keturunan nanti. Mungkin ini adalah rencana Tuhan dalam hidupmu. Maka terimalah itu sebagai sebuah anugerah.” Tegas Anton.
“Terima kasih sobat untuk masukannya, akan kucoba.”
Akhirnya aku Kembali dengan lambaian tangan Anton dari pintu rumahnya.
Sinta adalah pacarku. Sudah lama aku mengenalnya. Mungkin 5 tahun yang lalu. Ketika aku menginjakkan kaki di tanah Jogja, aku langsung jatuh hati padanya. Kosnya tidak jauh dari kamar kosku. Dia tepatnya berada di depan kosku. Sinta menjemur pakaian di waktu pagi, itulah kesempatan aku meliriknya. Seiring berjalannya waktu, aku mencoba meminta nomor whatsupnya. Sinta orangnya sangat ramah. Saat itu pun ia langsung memberikan nomornya.
Pertama masih chat biasa, saling mengenal satu sama lain. Tidak lama kemudian, bertanya soal status. Memang konyol, bertanya status pada anak seusia 19 tahun. Tetapi itulah yang kulakukan. Sinta menjawabnya dengan jujur, kalau ia belum pernah mengenal seorang laki-laki secara mendalam, apalagi pacaran. Itu belum pernah ia alami. Saat itulah aku merasa ruang kosong bagiku.
Agama adalah hal sensitif, karena tinggal dalam kemajemukan serta identitas sebagai minoritas. Semakin mendalam aku mengenalnya, dan kini hampir memasuki tahun yang ketiga, barulah aku memberanikan diri menanyakan identitas kepercayaannya.
“Maaf Sin, aku ingin bertanya. Kamu jangan tersinggung ya? Kataku