Sudah 2 tahun lebih kita dihadapkan dengan pandemi, namun bencana tersebut tak kunjung usai. Tentunya pandemi tersebut menghadirkan elegi yang sangat menyakitkan; berjuta-juta jiwa mati, segala aktivitas terhenti serta ruang gerak yang dibatasi. Tetapi, ada yang lebih menyakitkan semenjak pandemi melanda, yaitu seakan-akan matinya hak asasi serta dipertontonkanya pemerintahan yang semena-mena. Hematnya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak berpihak pada kepentingan rakyat, bahkan suara-suara kritis yang gencar mengevaluasi kebijakan pemerintah dibabad habis oleh pemerintah lewat UU ITE.
Terhitung semenjak tahun 2019 sampai sekarang banyak sekali kebijakan pemerintah yang termanifestasi kedalam undang-undang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, seperti UU KPK, UU MK dan juga UU Omnibus Law yang didalamnya memuat 11 klaster dan mengabungkan 79 undang-undang dan beberapa diantaranya bermasalah termasuk UU Ketenagakerjaan dan yang paling disorot adalah UU Cipta Kerja, lebih parahnya UU Ciptaker tidak hanya bermasalah secara materiil.
Secara formil pun mekanisme pembentukan undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimna telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dari tahap Perencanaan sampai tahap pengundangan tidak melalui mekanisme yang benar termasuk tidak melibatkan asprasi rakyat dalam pembentukan Undang-Undang tersebut. lebih parahnya Undang-Undang tersebut juga telah mengikis jaminan hak asasi manusia.
Berbicara hak asasi manusia, selama pandemi berlangsung penegakan hak asasi manusia juga mengalami degradasi yang cukup besar. Dimuat dari Beritasatu indeks hak asasi manusia di Indonesia pada tahun 2020 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. skor rata-rata seluruh variabel pada indeks HAM 2020 yaitu sebesar 2,9 persen, tentunya menurun secara signifikan jika dibanding tahun 2019 yang mencapai 3,2 persen. Pengukuran indeks tersebut menggunakan rentang nilai 1-7.
Maka dari angka pencapaian tersebut dapat kita lihat kondisi yang sangat mengkhawatirkan pada penegakan HAM di Indonesia. Secara kasat mata pun dapat kita lihat, bagaimana pemerintah gencar sekali melakukan pembungkaman dan penangkapan terhadap orang-orang yang keras dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dengan menggunakan UU ITE. Padahal jelas bahwa hak untuk menyampaikan pendapat telah diatur dan dilindungi oleh UUD 1945 beserta turunannya.
Selain itu perlu kita tekankan, bahwasanya salah satu prinsip mendasar dari negara demokrasi adalah adanya penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi manusia, prinsip tersebut tentunya perlu diterapkan apalagi Indonesia telah meratifikasi Deklarasi HAM Universal dan juga Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Tetapi kembali, dengan adanya UU ITE seakan-akan negara merampas hak-hak yang selalu bersinggungan dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi serta Transaksi Elektronik telah memperlihat keperkasaanya ditangan penguasa. bagaimana Undang-Undang tersebut membungkam satu-satu persatu suara-suara kritis dari rakyat. Hal itu menjadi satu konsekuensi logis hidup di negara yang mempunyai sistem hukum berpaham Legal Positivistik, dalam artian penegakan aturan hukum selalu mengacu pada konteks aturan tertulis yang ada dalam isi Undang-Undang itulah yang harus diterapkan tanpa mempertimbangkan apakah peraturan perundang-undang tersebut sudah adil atau tidak.
Maka Prof Satcipto Raharjo mengeluarkan Teori Hukum Progresif sebagai jawaban agar bisa mendorong para penegak hukum untuk berani membuat gebrakan baru dalam menjalankan hukum di Indonesia agar tidak terbelenggu oleh pikiran positivis dan legal analytical. Selaras dengan apa yang dikatakan Prof Susi Dwi Harjanti bahwasanya asas yang paling mendasar dalam hukum adalah asas penghormatan terhadap manusia.
Dalam negara demokrasi hukum tidak bisa dikesampingkan, justru demokrasi dan hukum memiliki kaitan erat. Demokrasi sebagai suatu sistem pengelolaan politik akan sangat mempengaruhi negara hukum, hukum tanpa demokrasi akan semata-mata menjadi alat legitimasi penguasa. Sebaliknya, demokrasi tanpa hukum hanya akan berjalan ke arah sewenang-wenang. Tetapi jika kita rasakan pada tahap implementasinya tidaklah demikian, hidup bernegara dalam sistem demokrasi seperti Indonesia kita merasakan seakan-akan hidup dalam bayang-bayang otoritarianisme.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Steven Lavitsky dan Daniel Ziblat bahwa demokrasi mati hari ini bukan karena kudeta dan pembajakan oleh militer tetapi demokrasi mati hari ini jutsru karena pemimpin yang lahir dari bilik suara atau pemilu, seperti halnya terjadi di beberapa negara bagian Amerika Latin. Mereka yang terpilih melalui pemilihan umum banyak membajak lembaga-lembaga demokrasi termasuk mencederai HAM, lebih lanjutnya Lavitsky dan Ziblat mengutip dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Juan Linz dalam bukunya yang berjudul The Breakdown of Democratic Regimes.
Buku tersebut melihat peran para politikus yang menunjukan bagaimana sikap mereka bisa mengancam demokrasi. Linz memberikan ciri-ciri atau beberapa indikator untuk mengenali pemimpin yang otoriter diantaranya; Menolak aturan main demokrasi, menoleransi atau menyerukan kekerasan, menunjukan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.
Dalam hasil pengamatan Steven Lavitsky, Daniel Ziblat dan juga Juan Linz dapat memberikan sedikit pandangan untuk membuka pikiran kita untuk bagaimana melihat keadaan Indonesia hari ini. Pemilihan Presiden di Indonesia jelas melalui proses pemilu yang sah, menunjukan bahwa benar sistem kita adalah demokrasi, namun ketika sudah terpilih kita seperti melihat satu persatu lembaga demokasi dibajak, aturan main demokrasi diharaukan, bahkan kebebasan sipil dibatasi.
Contoh konkritnya, menjelang pandemi lampau kita melihat RUU KPK disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Dengan disahkanya undang-undang tersebut membuat beberapa perubahan pada tubuh KPK yang akan mengancam independensi KPK serta berpengaruh pada progresivitas pemberantasan korupsi di Indonesia, beberapa perubahan tersebut diantaranya; masuknya KPK kedalam rumpun eksekutif, adanya dewan pengawas pada tubuh KPK dan status alih pegawai KPK menjadi ASN.
KPK yang lahir dari rahim reformasi sekaligus menjadi puncak harapan masyarakat Indonesia terhadap pemberantasan korupsi kini terancam. Seharusnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi harus teraktualisasi pada penguatan lembaga KPK itu sendiri.
Selain itu pemerintah juga seharusnya bisa fokus pada penanganan pandemi yang angkanya terus naik, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam penanganan Covid-19 dirasa belum efektif, selain daripada angka Covid-19 juga meningkat disamping itu masalah-masalah lain juga menggerogoti, seperti resesi ekonomi, sarana prasarana kesehatan yang tidak bisa diakses oleh semua orang, masalah pendidikan yang stagnan, pengangguran dan kemiskinan juga semakin meningkat.
Tentunya, hak-hak fundamental itu perlu dipenuhi dan harus mendapatkan perhatian serius. “Salus populi suprema lex” bahwa keselamatan rakyat adalah hukum yang paling tinggi. Menurut Jimly Assidiq mengutip pada bukunya Hans Kelsen yang berjudul General Theory Of Law and State menyebutkan bahwa salah satu elemen negara adalah adanya jaminan hak dan kebebasan asasi manusia. Maka dari itu Negara seharusnya hadir untuk menjaga dan memenuhi hak-hak fundamental tersebut. Bukan malah sebaliknya justru negara hadir menjadi perampok hak-hak yang seharusnya dijunjung tinggi.
Gelombang kritik yang hadir dari rakyat harusnya dapat didengar dan menjadi aspirasi dan nantinya akan melahirkan kebijakan yang juga berpihak kepada rakyat, selain itu juga menurut Nurcholis Majid bahwa demokrasi itu membutuhkan rumah, dan rumahnya itu adalah masyarakat madani. Masyarakat madani diartikan sebagai masyarakat yang berkemajuan, memiliki intelektual dan moral yang seimbang, selain itu fungsinya dapat menjadi evaluator bagi pemerintah, agar sistem demokrasi terus berjalan dengan baik dan sehat.
Pandemi hari ini seharusnya menjadi momen evaluasi besar bagi pemerintah, kesadaran akan kesejahtraan rakyat harusnya juga menjadi motivasi besar untuk bisa melakukan perubahan besar. Negara sebagai organisasi kekuasaan tersebesar yang mendapatkan legitimasi rakyat idealnya mempunyai tujuan dalam mewujudkan kepentingan rakyat, penegakan hak asasi manusia, serta pemecahan masalah dengan solusi yang tepat. Tidak dapat disangkal bahwa tumbuhnya tirani hari adalah karena selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok tanpa berpikir terpilihnya mereka karena menanggung harapan besar dari rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI