Mohon tunggu...
M yahya wahyudin
M yahya wahyudin Mohon Tunggu... Atlet - Reasearcher

Orang bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bawaslu Hari Ini: Berprestasi atau Terdegradasi?

4 Oktober 2020   16:10 Diperbarui: 4 Oktober 2020   16:16 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia merupakan sebuah negara yang sudah lama menganut system demokrasi, dimana pada dasarnya demokrasi dipandang menjadi sebuah ruang untuk memperjuangkan suara rakyat, keadilan serta persamaan sebuah negara. Dengan begitu segala bentuk tindakan harus disesuaikan dengan asas-asas demokrasi. 

Menurut Hardiwijoyo demokrasi juga dipandang bahwa rakyat pemegang kekuasaan yang berdaulat atas pemerintahan yang berwenang sehingga sangat bisa mempengaruhi setiap kebijakan yang akan dikeluarkan demi terciptanya sebuah keadilan.

Setiap demokrasi yang dijalankan dalam sebuah negara tentunya memiliki cara dalam pelaksanaanya. Dan tentunya cara yang paling meninjol untuk mewujudkan asas demokrasi tersebut adalah dengan diadakanya Pemilu. Meskipun pemilu bukan satu-satunya cara untuk merepresentasikan demokrasi namun dalam system pemerintahan Indonesia pemilu dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk menampung seluruh aspirasi masyarakat.

Menurut Miriam budiarjo pemilu dianggap sebagai sebuah tolak ukur dari demokrasi itu sendiri, hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta asprasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, Lobbying dan sebagainya.

Secara teoritik pemilu merupakan mekanisme yang lahir untuk memberikan legitimasi terhadap kekuasaan yang demokratis. Pemilu pada negara bukanlah sembarang pemilu dilakukan tapi pemilu yang melahirkan kekuasaan dan wewenang pemerintah, dalam penyelenggaraan pemilu terdapat beberapa tahapan dan melibatkan beberapa lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu pengawas pemilu adalah lembaga Badan Pengawas Pemilu yang disebut Bawaslu.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, terdapat beberapa komponen yang ada dalam pemilu, salah satunya pemantau. Pemantau adalah meliputi organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yayasan atau berbadan hukum perkumpulan yang terdaftar pada pemerintah daerah, lembaga pemantau dan pemilihan dari luar negeri, serta perwakilan negara sahabat Indonesia. Dalam hal ini institusi tersebut harus bersifat independen, memenuhi sumber dana yang jelas dan teregistrasi dan memperoleh izin dari bawaslu, bawaslu provinsi atau bawaslu kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauanya.

 Jika sebelumnya akreditasi pemantau dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum maka saat ini dengan adanya UU Nomor 7 tahun 2017 akreditasi dikeluarkan oleh Bawaslu. Hal itu membuat bawaslu mempunyai wewenang yang lebih, sebagai lembaga independen yang harus selalu bisa memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan dengan baik , pemilu yang adil dan jauh dari berbagai kecurangan yang ada. Maka dari untaian pernyataan diatas timbul sebuah pertanyaan, Seberapa besarkan peran bawaslu saat ini dalam melahirkan pemilu yang jujur dan adil?

Badan pengawas pemilu (Bawaslu) merupakan lembaga yang indpenden yang mempunyai fungsi pengawasan disetiap pemilu yang diadakan, namun setelah keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu menjadikan bawaslu mempunyai kewenangan yang lebih, selain harus mengawasi dan memastikan setiap pemilu dapat berjalan dengan baik juga menjadi lembaga yang harus bisz menyelesaikan sengketa dengan seadil-adilnya dalam pemilu. 

Menurut Prof. Jimly Ashidiqi jika lembaga-lembaga yang mempunyai peran untuk mengadili tapi tidak disebut dengan pengadilan maka disebut dengan quasi pengadilan atau semi peradilan.

Dengan adanya wewenang baru tersebut tentunya jadi tanggung jawab lebih bagi bawaslu, wewenang tersebut sekaligus merepresentasikan jika bawaslu mempunyai fungsi yang sangar fatal dalam penyelenggaran pemilu. 

Sejak pertama kali Bawaslu dibentuk dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 20017 tentang penyelenggaraan pemilu sampai sekarang bawaslu tetap eksis sebagai lembaga yang independen yang menjamin keberlangsungan penyelenggaraan pemilu tetap berjalan lancar, namun eksistensi tersebut tentunya tidak menjamin selalu efektifnya peran bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu. Hematnya banyak yang harus dibenahi untuk mewujudkan bawaslu yang tetap menjadi lembaga "independen". 

Sebagai wasit pemilu maka integritas penyelenggaraan pemilu jadi taruhan. Bawaslu didirikan atas kehendak konstitusi maka dari itu segala keputusan yang dikeluarkanya harus juga berdasarkan konstitusi, namun sering kali kita melihat keputusan-keputusan bawaslu yang keluar dari pakem konstitusi. Sebagai contoh pada tahun 2019 bawaslu menjadi pusat kritik public karna kinerjanya sebagai pengadil pemilu. Seperti dilansir dari Tirto.id beberapa hal yang dikritik itu antara lain:
1. Putusan tak temukan dugaan pelanggaran mahar politik Sandiaga Uno
2. Tebang pilih terkait pemanggilan kepala daerah pendukung pilpres
3. Meloloskan 12 caleg eks koruptor yang sebelumnya dinyatakakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU
4. Meloloskan pengurus partai politik ke daftar calon tetap anggota DPD dalam pilkada 2019
Anggaran pengawas pemilu 2019 Bawaslu senilai 14.2 triliun

Sebagai sebuah lembaga yang independen seharusnya bawaslu bisa tegas dan konstisten serta tidak bisa ditendensi oleh pihak manapun. Independensi bawaslu merupakan satu hal yang mutlak yang melekat dan tidak bisa dilepaskan, ontology nya mungkin bisa dikatakan seperti itu, namun realita yang terjadi tetep saja masih banyak keputusan-keputusan bawaslu yang bisa ditendensi oleh pihak lain apalagi pihak penguasa. 

Tugas bawaslu menurut UU No 7 Tahun 2017 tidak hanya menjadi lembaga pengawas dan pengadil pemilu namun juga harus bisa mencegah pelanggar-pelanggaran pemilu. Representasi dari itu mungkin kita melihat adanya program baru dari bawaslu yaitu sekolah kader pengawasan partisipatif (SKPP) yang nanti output nya akan melahirkan kader-kader yang terjun langsung ke masyarakat untuk mensosialisasikan berbagai penyelenggaraan pemilu yang bersih dan adil. 

Namun sepertinya hal itu belum efektif sama sekali, bahkan bisa dibilang hanya membuang anggaran saja. Karna pada praktek dilapanganya tidak terlihat, kader-kader SKPP tidak memliki rasa tanggung jawab untuk bisa mengemban tugas itu ditambah tidak ada follow up dari bawaslu sama sekali. Percuma saja jika hanya berkutat pada ranah teori tanpa melakukan aksi hal itu hanya sebagai mimpi yang tidak akan pernah terealisasi. Seperi apa yang dikatakan oleh filsuf hegel jika "Tidak ada kesuksesan di dunia yang di raih tanpa aksi".

Seharusnya setelah SKPP itu dilaksanakan, bawaslu juga bisa terus menjadi fasilitator untuk bisa mewadahi para kader SKPP untuk bisa mengamalkan ilmu yang didapatkanya dilapangan. Jika dilihat dalam Kamus besar bahasa Indonesia pengertian kader yaitu orang yang diharapkan memegang peran yang penting dalam pemerintahan, partai dan sebagainya. 

Maka para kader SKPP pun harus mempunyai peran yang besar untuk bisa mencegah berbapa tindak pidana pemilu yang banyak terjadi. Disamping itu anggaran yang dikeluarkan bawaslu untuk penyelanggaraan SKPP juga tidak sedikit, maka atas segala pertimbangan diatas mewajibkan para kader SKPP ikut andil dalam penyelenggaraan pemilu yang bersih dan adil.

Bawaslu yang mempunyai salah satu wewenang untuk menanangi tindak pidana pelanggaran pemilu maka untuk menguatkan wewenang itu disamping melaksanakan ketentuan pasal 486 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, perlu menetapkan peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang penegakan sentra hukum terpadu yaitu dengan keluarnya Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. 

Dalam pasal 1 ayat 2 dijelaskan jika Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang disebut Gakkumdu adalah pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana pemilu yang terdiri dari unsur Badan Pengawas Pemilihan Umum, Badan pengawas Pemilihan umum Provinsi, dan/atau Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah, dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.

Melihat redaksi yang tertuang dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2018 Pasal 1 ayat 2, itu menunjukan bahawa pembentukan Gakkumdu bertujuan untuk penguatan wewenang Bawaslu untuk menangani pelanggaran pemilu yang bekerja sama bersama Kejaksaan dan Kepolisian. 

Tentunya ini menjadi sebuah semangat dan rasa optimis untuk memberantas segala bentuk pelanggaran tindak pidana pemilu, ketiga lembaga tersebut juga mempunyai kemampuan-kemampuan yang dirasa cukup dan mumpuni untuk mengatasi hal tersebut. Walaupun mempunyai tujuan yang sama ketiga lembaga tersebut tentunya juga mempunyai prinsip yang berbeda-beda, lalu seberapa besar peran bawaslu dalam lembaga tersebut?

Sebagaimana tercantum dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2018 Pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan jika Gakkumdu dibentuk dan ditetapkan dengan surat keputusan Ketua Bawaslu setelah berkoordinasi dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Itu jika dalam tingkatan daerah, 

hal itu tentunya menunjukkan jika Bawaslu mempunyai peran sebagai inisiator dan fasilitator dalam pembentukan Gakkumudu, karena jika dilihat penindakan pelanggaran pemilu menjadi wewenang murni yang dimiliki Bawaslu. Kapolri dan Kejaksaan hanya membantu agar penindakan pelanggaran pemilu tersebut bisa dilaksanakan dengan baik sehingga menghasilkan hasil yang maksimal.

Dari berbagai kritik publik terhadap bawaslu tentunya jangan dilupakan pula jika keberhasilan Bawaslu dalam penindakan berbagai pelanggaran dalam pemilu mesti diakui sebagai sebuah prestasi. Meski tentunya banyak hal yang perlu dibenahi, integeritas Bawaslu sebagai sebuah lembaga yang independen harus menjadi hal mutlak yang mesti dibenahi, karena dengan perbaikan integeritas tersebut akan menghalau segala bentuk tendensi maupun intervensi dari pihak luar terkhusus dari pihak penguasa. 

Disamping itu, sebagai lembaga negara maka segala keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan haruslah bisa memnuhi kepuasan publik, segala bentuk kritik dari publik harus diterima dan ditanggapi sebagai satu evaluasi untuk Bawaslu agar kinerja-kinerja nya terus menjadi lebih baik.

Segala bentuk kinerja-kinerja bawaslu mulai hari ini akan menjadi perhatian publik, itu dikarnakan karena Bawaslu memiliki peran yang sangat sentral dalam menyelenggarakan pemilu yang adil dan berintegritas, pemilu menjadi suatu hajat negara yang selalu "dinanti-nanti" oleh semua orang. 

Maka berjalanya pemilu dengan baik menjadi satu hal wajib yang mesti terlaksana. Sebentar lagi kita dihadapkan pada PILKADA serentak tahun 2020, pemerintah bersama seluruh pihak terkait telah meresmikan hal tersebut. Tidak akan sedikit risiko yang akan ditemui ditengah pandemic ini, tantangan-tantangan baru akan muncul. Pemerintah bersama seluruh pihak terkait termasuk bawaslu harus bisa menjamin keselamatan warga masyarakat. Karna keselamatan masyarakat adalah Hukum tertinggi (Solus Populi Suprema Lex Esto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun