Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hegemoni adalah pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya oleh suatu negara atas negara lain atau bagian dari negara tersebut. Namun, dalam teori hegemoni Antonio Gramsci, seperti yang dikutip dari Jurnal Translitera Universitas Islam Balitar Edisi 5/2017, dijelaskan bahwa konsep hegemoni adalah situasi di mana suatu kelas dan anggotanya memerintah kelas-kelas bawah melalui kekerasan dan persuasi. Dengan demikian, hegemoni bukan hanya dominasi menggunakan kekuasaan, tetapi juga melibatkan persetujuan melalui kepemimpinan politik dan ideologis.
Gender adalah serangkaian karakteristik yang saling berkaitan dan membedakan antara maskulinitas dan femininitas. Karakteristik ini mencakup jenis kelamin, baik laki-laki, perempuan, maupun interseks. Penentuan ini didasarkan pada jenis kelamin dalam struktur sosial, seperti peran gender, atau identitas gender. Peran gender mengacu pada serangkaian norma, perilaku, dan harapan yang dibentuk oleh masyarakat mengenai bagaimana seharusnya seseorang bertindak berdasarkan jenis kelamin mereka. Peran ini mencerminkan konstruksi sosial yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan diharapkan berperilaku dalam berbagai konteks kehidupan. seperti perannya dalam norma sosial, keluarga, pendidikan, juga masyarakat. Peran gender tentu berdampak terhadap masing masing gender itu sendiri. Dengan adanya peran gender maka rentan terjadinya diskriminasi antar gender. Ketika peran gender menjadi kaku dan stereotip, mereka dapat menyebabkan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Misalnya, perempuan mungkin menghadapi hambatan dalam mengejar karir di bidang yang didominasi laki-laki, sementara laki-laki mungkin merasa tertekan untuk menghindari profesi yang dianggap feminin. Isu mengenai  gender dan hegemoni masih banyak terjadi. Ahmad Tohari dalam novelnya yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk mengajak kita para pembaca merasakan dominasi dari laki-laki ke perempuan melalui tokoh Srintil.
Novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan Jawa dengan segala kompleksitas sosial dan budaya yang melingkupinya. Salah satu tema sentral dalam novel ini adalah hegemoni gender, yang terlihat melalui bagaimana perempuan, khususnya karakter utama Srintil, diposisikan dan diperlakukan dalam masyarakat. Srintil, seorang gadis muda yang dipilih untuk menjadi ronggeng, menghadapi berbagai bentuk dominasi dan kontrol yang mencerminkan posisi perempuan dalam struktur sosial patriarkal. Sebagai ronggeng, Srintil dihadapkan pada ekspektasi dan tuntutan masyarakat yang menempatkan tubuh dan dirinya sebagai objek hiburan dan pemuas kebutuhan laki-laki. Peran ini bukan hanya membatasi kebebasan pribadi Srintil, tetapi juga memperlihatkan bagaimana norma-norma gender yang kaku dan stereotipikal dipertahankan dan dilanggengkan dalam komunitas tersebut. Melalui kisah Srintil, Tohari mengeksplorasi dinamika kekuasaan dan subordinasi yang membentuk realitas kehidupan perempuan di desa Dukuh Paruk.
Srintil dengan perannya sebagai seorang ronggeng di Dukuh Paruk menjadi simbol dari ekspektasi dan kontrol masyarakat terhadap perempuan. Sejak usia muda, Srintil dipaksa untuk memenuhi peran sebagai ronggeng, yang berarti ia harus menghibur laki-laki dan sering kali menyerahkan dirinya kepada mereka. Peran ini tidak hanya menegaskan posisi subordinat perempuan tetapi juga menunjukkan bagaimana tubuh perempuan dieksploitasi untuk kepentingan laki-laki. Srintil tidak memiliki otonomi penuh atas hidupnya sendiri. Keputusan untuk menjadikannya ronggeng bukanlah pilihannya sendiri, melainkan hasil dari tekanan dan persetujuan kolektif masyarakat yang dipimpin oleh laki-laki. Melalui karakter Srintil, Tohari menunjukkan bahwa dominasi gender tidak hanya terwujud dalam bentuk kekerasan fisik tetapi juga melalui kontrol sosial dan manipulasi emosional. Srintil sebagai perempuan dengan menyandang titel ronggeng juga dimanfaatkan secara ekonomis. hegemoni yang terjadi tidak hanya dengan mengkomodifikasi keperawanan srintil saja. Lebih dari itu Srintil "dijual" bahkan dengan dua pria sekaligus yang ingin berbagi ranjang dengan Srintil dalam upacara bukak klambu. Kartareja sebagai pengelola ronggeng dengan cepat menawarkan Srintil kepada mereka, memungkinkan dirinya untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang signifikan. Selain itu, ia juga menerima satu ringgit emas, dua keping perak, dan seekor kerbau sebagai pengganti emas yang disyaratkan. Hal ini terlihat dari kutipan novel  sebagai berikut.Â
"Suami istri Kartareja masuk ke bilik mereka. Di sana pasangan itu bergurau. Sebuah ringgit emas, dua rupiah perak, dan seekor kerbau sudah hampir di tangan." (Tohari, 2023, p. 52).
Setelah upacara bukak klambu yang akhirnya mengukuhkan resminya Srintil diakui sebagai penari ronggeng, Kartareja semakin memperkuat kontrol produktif dan ekonomi baik di lingkungan domestik maupun publik setelah inisiasi Srintil. Ia bukan hanya menjadi penari ronggeng, tetapi juga menjadi komoditas yang melayani keinginan laki-laki dengan nilai pasar tertentu. hal ini terlihat dalam kutipan novel sebagai berikut.
"Lalu sampeyan, Sakarya, " kata Kartareja kepada kakek Srintil. "Jaga jangan sampai sampeyan mempunyai pikiran seperti istri sampeyan. Ingat kewajiban sampeyan sebagai pemangku dan kamitua anak-cucu Ki Secamenggala di dukuh ini. Tanggung jawab sampeyan tidak membenarkan sampeyan mementingkan diri sendiri." (Tohari, 2023, p. 124).
Sistem patriarki yang kuat dalam masyarakat Dukuh Paruk sangat berperan dalam melanggengkan hegemoni gender. Laki-laki memiliki kekuasaan penuh dalam pengambilan keputusan, sementara perempuan diharapkan untuk tunduk dan patuh. Srintil harus menerima perannya tanpa banyak protes, bahkan ketika ia menyadari ketidakadilan yang ia alami. Tradisi dan norma budaya yang kental mengikat perempuan pada peran-peran yang telah ditentukan, sehingga sulit bagi mereka untuk melawan atau mengubah nasib mereka. Novel ini juga menggambarkan bagaimana perempuan yang mencoba melawan atau menyimpang dari norma yang ada sering kali dihukum atau dikucilkan. Misalnya, ketika Srintil berusaha mencari kebebasan dan otonomi, ia menghadapi berbagai rintangan dan konflik, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari masyarakat sekitarnya. Hal ini memperlihatkan bahwa upaya perempuan untuk meraih kemandirian sering kali bertentangan dengan harapan sosial yang mengakar dalam budaya patriarki. Bahkan ketika Srintil menolak untuk memuaskan hasrat biologis laki-laki, Kertareja melakukan agresi secara verbal. Terlihat dalam kutipan novel berikut.
"Toblas, toblas! Kamu ini bagaimana, Srintil? Kamu menampik Pak Marsusi? Itu pongah namanya. Tetapi jangan lupa anak siapa kamu sebenarnya. Kamu anak Santayib! Orang tuamu tidak lebih dari pedagang tempe bongkrek. Bapak dan emakmu mati termakan racun. Dan kamu menolak sebuah kalung emas seratus gram? Bila kamu tidak suka kalung itu, mestinya bisa kauambil untukku. Dan kaulayani Pak Marsusi karena semua orang tahu kau seorang ronggeng dan sundal" (Tohari, 2023, p. 152).
Ahmad Tohari, melalui "Ronggeng Dukuh Paruk," tidak hanya mengisahkan tragedi pribadi Srintil tetapi juga mengkritik struktur sosial yang mengekang kebebasan perempuan. Novel ini membuka mata pembaca terhadap realitas pahit yang dialami oleh banyak perempuan dalam masyarakat tradisional, di mana norma-norma patriarkal dan budaya patriarki mendikte peran dan posisi mereka. Melalui karakter Srintil, Ahmad Tohari dengan gamblang menggambarkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban eksploitasi dan kontrol sosial yang ketat. Srintil, yang dipaksa menjalani peran sebagai ronggeng sejak usia muda, menjadi simbol perjuangan melawan sistem yang tidak adil dan menindas. Dengan menggambarkan penderitaan dan perjuangan Srintil, Ahmad Tohari tidak hanya menyajikan narasi yang menyentuh hati tetapi juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan dan menantang hegemoni gender yang masih ada dalam masyarakat kita. Novel ini mendorong refleksi mendalam tentang bagaimana tradisi dan norma sosial dapat mengekang kebebasan individu, terutama perempuan, dan menyoroti pentingnya kesadaran serta perubahan sosial untuk mencapai kesetaraan gender. Melalui kisah ini, Tohari menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan menginspirasi pembaca untuk mendukung upaya pemberdayaan perempuan. "Ronggeng Dukuh Paruk" menjadi lebih dari sekadar cerita; ia adalah panggilan untuk aksi dalam melawan hegemoni gender dan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara.
Daftar Pustaka
Aris. (n.d.). Gender adalah Konstruksi Sosial pada Perempuan dan Laki-Laki. Gramedia. https://www.gramedia.com/literasi/gender-adalah/
Hegemoni Adalah Dominasi Kekuasaan, Ini Pengertian, Jenis, dan Contohnya. (2023, November 4). detikcom. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7018091/hegemoni-adalah-dominasi-kekuasaan-ini-pengertian-jenis-dan-contohnya
Marhumah. (2011). KONSTRUKSI GENDER, HEGEMONI KEKUASAAN, DAN LEMBAGA PENDIDIKAN. KARSA, 19(2), 168-182. https://media.neliti.com/media/publications/143683-ID-konstruksi-gender-hegemoni-kekuasaan-dan.pdf
Siswanti, E. (2018). ANATOMI TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI. Translitera: Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media, 5(1), 11-33. https://doi.org/10.35457/translitera.v5i1.355
Tohari, A. (2003). Ronggeng Dukuh Paruk. Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H