Hak asasi manusia adalah hukum. Ia juga hak hukum yang dimiliki setiap orang manusia. Bersifat universal dan dimiliki setiap orang . hak-hak juga bisa dilanggar,namun tidak pernah dapat dihapus oleh siapapun dan Tindakan apapun (Eko Riyadi,SH.,MH,2017).
Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi Masyarakat muslim yang baru,itu memerlukan pengajaran agama yang baik untuk anak-anak maupun bagi orang-orang yang telah dewasa. Secara tradisional,biasanya ilmu agama yang diberikan adalah (1) ilmu kalam,(2)ilmu fikih dan (3)ilmu tasawuf(Mustafa,Abdul Wahid,2008).
Adanya perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam bentuk dan konstruksi apapun, merupakan hambatan dan mengandung resiko bagi pengakuan dan pemenuhan hak-hak anak dalam hukum keluarga. Walaupun secara biologis anak yang dilahirkan berasal dari proses reproduksi pertemuan antara ovum si ibu dengan spermatozoa si ayah dan telur ibunya, apakah itu dengan hubungan seksual (coitus) atau cara lain sesuai teknologi,  namun atas perkawinan yang tidak dicatatkan (apalagi yang tidak dikehendaki, tidak diakui,  dan non marital child), berdampak pada hubungan perdata, pengakuan nasab atau garis keturunan (formal), hak mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup,  bahkan kasih sayang dan tanggungjawab orangtuanya untuk tumbuh dan kembang anak. Apalagi anak dalam periode evolusi kapasitas  yang membutuhkan peran ganda orangtua menjaga keturunannya.
Kemungkinan besar terjadinya penerlantaran anak dalam hal perkawinan tidak dicatatkan karena  mengancam hak atas nasab, mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup, serta pengasuhan.Dalam kenyataannya, terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak pada pemenuhan hak-hak anak dalam hukum keluarga, dan secara bersamaan berdampak pula bagi pemenuhan hak-hak anak sebagai HAM dan sebagai subyek warganegara, seperti hak atas identitas (akte kelahiran, relasi kekerabatan, kewarganegaraan.
Lebih parah lagi terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dengan indikasi eksploitatatif, atau yang tidak diakui nasab dan dikucilkan  dari pergaulan sosial dengan keluarga/kerabat sehingga menghilangkan status sosial sebagai anak dari ayahnya, maka mungkin sekali keadaan sedemikian  seakan-akan merupakan non marital child.
Tujuan utama pencatatan nikah adalah demi merealisasikan ketertiban administratif perkawinan dalam masyarakat, selain itu untuk menjamin tegaknya hak bagi suami, istri dan anaknya. Masalah pencatatan perkawinan dipandang tidak lebih dari sekedar tindakan administratif yang tidak ada pengaruhnya terhadap keabsahan suatu perkawinan. Dalam angka 4b. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditulis: pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan perinstiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Pada dasarnya ada hal yang melatarbelakangi sehingga pencatatan secara administrasi kependudukan terhadap perkawinan belum tercatat menjadi kebijakan afirmatif yang diambil untuk mengakomodir berbagai persoalan yang muncul di hulu karena pada kenyataannya banyak praktek peristiwa perkawinan belum dicatat secara negara. Salah satu yang melatarbelakangi adalah  munculnya berbagai permasalahan manakala pasangan yang sudah kawin namun tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan sedang pada Kartu Keluarganya telah ditulis kawin, karena hal ini membawa konsekuensi terhadap Akta Kelahiran anak tersebut yang tertulis menjadi Anak Seorang Ibu, dan apabila ditulis belum kawin pada Kartu Keluarga maka Status Hubungan Dalam Keluarga antara pasangan dan anak-anaknya menjadi orang lain. Hal tersebut menandakan bahwa pencatatan status perkawinan secara negara sebagai peristiwa penting harus dilakukan karena memiliki konsekuensi hukum bagi suami, istri dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Dalam praktek perkawinan di Indonesia sebagaimana ketentuan sahnya suatu perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Pasal 2 Ayat (1) : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu" : artinya suatu perkawinan sudah dapat dikatakan sah apabila perkawinan tersebut sudah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan dari pasangan yang telah melangsungkan perkawinan tersebut. Sedang pada Pasal 2 Ayat (2) disebutkan : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku": banyak pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya ayat tersebut merupakan ketentuan administratif (bukti administratif) dan tidak berkaitan dengan masalah sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Di tataran kehidupan sehari-hari, masih banyak pasangan kawin belum tercatat oleh negara yang memiliki anak sehingga Dinas Dukcapil yang memiliki tugas mencatat peristiwa penting dan peristiwa kependudukan mengalami kendala pada penulisan/pengadministrasian status perkawinannya dalam Kartu Keluarga maupun KTP nya sehingga berdampak lebih jauh pada kepastian hukum pada istri dan anaknya. Adanya persoalan tersebut maka Dukcapil harus melakukan tindakan pemerintahan terhadap kejadian baik pada pasangan yang kawin belum tercatat maupun pada pasangan cerai belum tercatat (apabila perkawinan yang belum tercatat tersebut mengalami perceraian melalui SPTJM perceraian belum tercatat).
Tujuan dari tindakan afirmatif tersebut untuk : memberikan kepastian status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga (KK) mengenai status perkawinannya, memberi kepastian mengenai status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran mengenai siapa ayah dan ibunya, memberikan kebijakan afirmatif mengenai peristiwa perkawinan yang belum tercatat (Perkawinan siri, Perkawinan sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan Adat, Perkawinan diluar 6 Agama dan Perkawinan Penghayat Kepercayaan yang organisasinya belum terdaftar dalam Kemendikbud Ristek) di KK untuk mendapatkan pelayanan publik, mendapatkan data jumlah penduduk yang perkawinannya belum tercatat sebagai dasar kebutuhan program Isbath Nikah/pengesahan perkawinan melalui penetapan pengadilan agama/negeri dan pencatatan perkawinan massal, meningkatkan akurasi data kependudukan dengan melengkapi 31 elemen data dalam biodata penduduk termasuk nomor akta perkawinan/buku nikah dan tanggal perkawinan. Â
Manfaat Tindakan Afirmatif : memberikan kepastian mengenai status hubungan dalam keluarga pada Kartu keluarga mengenai status perkawinannya, memudahkan penduduk untuk mengakses berbagai layanan publik tanpa adanya diskriminasi (mendapat perlindungan dan kepastian hukum), memberi jaminan agar penduduk mendapatkan hak sesuai dengan status perkawinannya (sebagai istri/suami/anak), mencegah terjadinya poliandri dan membatasi terjadinya perkawinan tanpa batas, memberikan kepastian mengenai asal usul anak (siapa ayah dan ibunya), memberikan kepastian apabila perkawinan yang belum tercatat tersebut mengalami perceraian melalui putusan pengadilan atau melalui SPTJM perceraian belum tercatat, membuka informasi tentang perkawinan siri dan perkawinan adat yang didorong dan dilanjutkan dengan isbath nikah.