Mohon tunggu...
Edison Hulu
Edison Hulu Mohon Tunggu... Dosen - Ekonomi dan Keuangan

Dosen, Peneliti, dan Pelaku Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemicu Krisis Tidak Sepenuhnya Disebabkan Lemahnya Fundamental Ekonomi

29 Maret 2018   13:28 Diperbarui: 29 Maret 2018   13:32 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mempelajari krisis keuangan atau krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara, pemicu awal, bukan karena lemahnya indikator ekonomi, tetapi karena dua perilaku para pelaku ekonomi yang masif, yaitu, (1) aksi masif yang berlebihan atas harga yang dipersepsikan "sudah terlalu mahal" atau disebut "bubble", dan (2) manipulasi kepercayaan yang mengarah pada kondisi yang semakin buruk.

Setahun sebelum terjadi krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997/1998, Bank Dunia menyatakan dalam laporannya bahwa Indonesia termasuk negara yang berkinerja ekonomi ajaib di Asia. Demikian juga sebelum terjadi krisis keuangan pada tahun 2008/2009, kinerja ekonomi Indonesia tergolong baik dan pada bulan Januari tahun 2008 terjadi rekor tertinggi IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan). Intinya, sebelum terjadi krisis ekonomi atau krisis keuangan, kondisi ekonomi dalam kondisi sehat.

Indikator harga sebagai pemicu aksi masif dari pelaku ekonomi Indonesia, karena dipersepsikan terlalu mahal (bubble) pada krisis ekonomi tahun 1997/1998, yaitu, nilai tukar rupiah, dari 2,000 rupiah menjadi 11,000 rupiah per dolar AS dalam jangka waktu sekitar tiga bulan. Dampak aksi masif para pelaku ekonomi atas persepsi nilai tukar yang dipandang terlalu tinggi, yaitu, (a) suku bunga mencapai 60 persen per tahun, dan (b) inflasi yang semakin tinggi. Pada gilirannya, kegiatan ekonomi tidak jalan, terjadi kredit macet secara masif di perbankan, dan krisis ekonomi terjadi.

Krisis keuangan Indonesia pada tahun 2008/2009 berawal dari persepsi harga yang terlalu mahal (bubble) atas saham perusahaan properti di Amerika, yang berdampak aksi masif menjual saham tersebut, kalau tidak dibantu pemerintah Amerika, dua perusahaan raksasa property (Freddie Mac Fannie Mae) akan bangkrut, dan Lehman Brother tidak bisa diselamatkan. Dampak krisis pasar properti Amerika tersebut melanda dunia, termasuk Indonesia.

Apa yang ingin disampaikan dalam catatan singkat ini, yaitu, sekalipun kondisi ekonomi dalam keadaan sehat, sekalipun relatif kecil kemungkinanya, namun ada peluang terjadi krisis, penyebabnya, bila ada indikator harga yang dipandang mahal, dan juga bila muncul manipulasi kepercayaan terhadap pengendali ekonomi, termasuk pemerintah.

Untuk Indonesia, hanya satu indikator yang berpeluang untuk dipersepsikan mahal(bubble), yaitu, nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjaga agar nilai tukar terkendali agar tidak muncul percepsi mahal yang memicu aksi masif yang berlebihan. Di samping itu, melalui pemaparan publik, menggunakan informasi yang lengkap dan akurat, bahwa masa depan (future prospect) perekonomian Indonesia terkoordinasi dengan strategi yang tepat, sehingga kepercayaan para pelaku ekonomi terhadap manejemen ekonomi Indonesia tidak luntur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun