Mohon tunggu...
Edison Hulu
Edison Hulu Mohon Tunggu... Dosen - Ekonomi dan Keuangan

Dosen, Peneliti, dan Pelaku Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Walaupun Utang Pemerintah Relatif Rendah, Akan Bermasalah bila...

13 Juli 2016   17:45 Diperbarui: 14 Juli 2016   15:19 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minimal ada dua tipe negara yang memiliki utang banyak di planet bumi ini. Tipe pertama, negara kaya, negara yang tergolong unggul spesialis dalam kemajuan ekonomi dan juga relatif tinggi pendapatan per kapita, karena sangat dipercaya oleh negara lain, maka berapa pun kebutuhan uang negara tersebut diberi pinjaman oleh negara lain. Tipe negara ini, seperti Jepang yang memiliki utang sebesar 229,2 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), Singapura sebesar 104,7 persen terhadap PDB, dan Amerika Serikat sebesar 104,2 persen.

Pada hakikatnya, negara-negara yang tergolong tipe pertama ini memiliki sumber penerimaan pemerintah yang cukup besar, tetapi karena pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah yang cukup besar, untuk menutupi kesenjangan, pemerintah melakukan pinjaman, dengan asumsi bahwa pinjaman tersebut akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan pemerintah ke depan sehingga dari surplus yang dihasilkan akan digunakan untuk membayar utang tersebut.

Intinya, peningkatan pinjaman pemerintah ditujukan untuk menciptakan penggandaan pendapatan pemerintah ke depan. Artinya, ke depan, akan terjadi surplus atau penerimaan pemerintah lebih besar dari pengeluaran, dan surplus tersebut digunakan untuk membayar utang.

Tipe kedua, negara yang gagal menciptakan penggandaan penerimaan negara dari peningkatan utang pemerintah sehingga selalu terjadi defisit, tidak terjadi surplus, maka untuk kelangsungan pembiayaan operasional pemerintah, hanya satu usaha, yaitu menambah utang baru. Salah satu contoh tipe kedua ini adalah Turki yang memiliki utang sebesar 176,9 persen terhadap PDB.

Pada tahun 1990-an, Brazil termasuk tipe kedua, tetapi karena mampu mengendalikan inflasi sehingga sejak tahun 2000-an keadaan cenderung semakin baik, utang negara pada tahun 2015 sebesar 66,2 persen terhadap PDB. Intinya, bila negara gagal menciptakan penggandaan pendapatan pemerintah sebagai dampak dari peningkatan utang, pemerintah negara tersebut sulit menciptakan surlus (government saving) sehingga kesulitan membayar utang.

Pola normal dinamika utang pemerintah seyogianya mengikuti pola tipe pertama seperti yang dialami India dengan besarnya utang (2015) sebesar 67,2 persen terhadap PDB, dan Tiongkok sebesar 43,9 persen terhadap PDB. Dua negara ini tergolong berhasil menciptakaan penggandaan atas peningkatan utang, karena pemerintah negara tersebut mampu muwujudkan perekonomian dalam dua aspek surplus secara serentak, yaitu surplus saving dan surplus devisa. Kalau dua surplus tersebut dapat diwujudkan, peningkatan utang negara tidak bermasalah dalam pembayaran ke depan.

Bagaimana utang pemerintah Indonesia? Utang pemerintah Indonesia masih relatif kecil, pada tahun 2015 sebesar 27 persen terhadap PDB, masih lebih besar utang pemerintah Malaysia sebesar 54 persen dari PDB, Thailand sebesar 44,4 persen terhadap PDB. Indonesia diperkirakan akan mengikuti pola yang dialami India dan Tiongkok, artinya ingin menjadi sebuah negara yang dipercaya sehingga diberi pinjaman oleh negara lain atau institusi internasional.

Utang pemerintah Indonesia tidak masalah bila pemerintah Indonesia meningkatkan utang negara, tetapi diharapkan akan menghasilkan dua kondisi secara serentak ke depan, yaitu mampu mewujudkan surplus saving dan surplus devisa. Kalau kondisi ini tidak terpenuhi, ke depan akan kesulitan dalam pembayaran utang negara karena sisi pengeluaran akan mengikuti pola linier yang semakin meningkat karena kebutuhan pelayanan negara ke depan semakin meningkat.

Apa artinya, peningkatan utang pemerintah mampu mewujudkan surplus saving dan surplus devisa. Artinya ialah, peningkatan utang pemerintah bukan ditujukan untuk biaya operasional pemerintah, tetapi untuk keperluan investasi untuk public goods agar kegiatan ekonomi bisa lebih efisien, baik kegiatan produksi maupun kegiatan jasa sehingga keunggulan ekonomi Indonesia (comparative cost advantages) dalam berbagai produk di pasar global semakin tinggi, pada gilirannya akan terjadi surplus devisa. Yang sangat dikhawatirkan ialah bila peningkatan utang gagal menciptakan surplus saving dan suplus devisa, maka Indonesia akan menghadapi masalah pembayaran utang ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun