Nama Cawapres Jokowi itu kini sudah mengerucut menjadi satu nama saja, dan konon sudah berada di saku Pak Jokowi! Nama itu konon akan disebutkan bersamaan dengan Deklarasi Pasangan Capres dan Cawapres Jokowi, yang kalau tidak ada aral melintang, akan dideklarasikan pada tanggal 8-8-2018 besok...
Akan tetapi sungguh mampus penulis tidak sabar lagi untuk menunggu tanggal cantik 8-8-2018 besok, karena berdasarkan penerawangan yang mampu menembus saku, nama itu ternyata adalah milik seorang wanita cantik rupawan bernama SMI (Sri Mulyani Indrawati)
Memang dalam KBBPI (Kamus Besar Bahasa Politik di Indonesia) terbitan Senayan, ada tertulis, "Yang cantik itu tidak selalu dalam wujud seorang perempuan!" Contohnya seperti yang terdapat di Taman Lawang dan tempat-tempat sejenis lainnya itu...
"Satu itu belum tentu juga untuk menentukan jumlah (tunggal)" Contohnya seperti satu koin dengan dua sisi wajah (kepala dan ekor)
"Satu nama (terutama di dalam saku) ketika akan dikeluarkan, masih bisa berubah, disesuaikan dengan dinamika yang berkembang di masyarakat..."
Contohnya, seorang pesulap memasukkan setangkai bunga mawar ke sakunya. Ketika dia mengeluarkan tangan dari saku, eh yang muncul ternyata adalah kelinci! Nah loe...
Tapi kali ini penulis tidak begitu tertarik membahas "KBBPI" yang terlalu sulit untuk dicerna oleh akal penulis yang bukan dari bani cebong maupun bani kampret itu...
***
Mengapa penulis tertarik "menerawangkan" nama SMI ini? Tentu saja ada beberapa alasan yang menyertainya...
Semuanya berawal dari Resuffle Kabinet Jokowi Jilid II. Ketika itu Jokowi melakukan bersih-bersih di kabinet. Nama Anies Baswedan dan sohibnya Sudirman Said menjadi salah satunya yang terlempar dari list Istana. Kalau ada yang keluar, tentu saja harus ada yang masuk...
Diantara "pendekar dan srikandi" Reshuffle Jilid II, ada satu nama yang membuat penulis awalnya mendelikkan mata. Namun kemudian penulis tersenyum simpul, dan menganggukkan kepala tanda paham dan bisa memahaminya. Dia lah yang kemudian menjadi kembang diantara para Srikandi kabinet Jokowi, selain Susy Pudjiastuti tentunya. Kembang itu bernama SMI (Sri Mulyani Indrawati)
Mendengar nama SMI ketika itu, bak bertemu kembali dengan mantan terindah yang memutuskan hubungan dengan cara meninggalkan kita begitu saja, ketika menumpang pipis di toilet sebuah pomp bensin... Hal ini memang terkait dengan kisah kontroversial SMI di Bank Century dulu...
Kisahnya sendiri masih tetap meninggalkan misteri, dan konon katanya srikandi ini diperalat agar mau membisikkan kalimat sakti, "Krisis Century bisa berdampak sistemik kepada dunia perbankan Indonesia..." Dengan demikian tim penyelamat yang baru saja dibentuk bisa segera turun untuk menyelamatkan Century sialan tersebut...
Tapi Itu adalah cerita masa lalu. Yang lalu biarkanlah berlalu. Kini adalah masa depan yang cerah ceria, penuh tantangan dan hasrat yang sangat menggoda. Tidak ada lagi konspirasi, tidak ada lagi bisik-bisik... Yang jujur, humble dan pekerja keras akan dipuji. Yang malas, banyak bacot dan perusuh akan ditendang. Aturan main di kabinet selama ini sederhana saja, transparan dan terukur. Raport dinilai dari prestasi bukan dari "penampilan atau tatto..."
***
Terlepas dari plus minus dari sosok seorang SMI, tentu saja Jokowi punya pertimbangan tersendiri pada sosok SMI ini. Kita memang tidak pernah tahu persis seperti apa pertimbangannya, tetapi kita bisa membuat analisis tersendiri...
Pertama, Pertimbangan Politis
Hari-hari terakhir ini, sifat buruk manusia (politisi) Indonesia semakin kelihatan saja tanpa malu-malu lagi. Sukamiskin adalah salah satu tempat untuk melihatnya. "Menggunting dalam lipatan, pagar makan tanaman, Musang berbulu ayam, Saling sikut" adalah hal yang lazim dilakukan para politisi kita. Menjadi makelar proyek dan KKN adalah salah satu sifat buruk lainnya.
Mencari Cawapres itu ibarat mencari jodoh (istri) Kalau sifat istri seperti sifat para politisi itu, maka remuklah rumah tangga dalam seketika! Itu karena kepentingan si-istri diatas segalanya. Kalau tidak hati-hati, perabotan rumah pun bisa tergadai pula...
Diantara para birokrat itu, portofolio SMI sudah jelas kelihatan. Tidak ke kiri, tidak juga ke kanan. Sikapnya murni bersandarkan profesionalime, dan cocok dengan jargon, "kerja, kerja, dan kerja." Jadi, Cawapres itu lebih pas dari kaum professional ketimbang dari kaum politisi...
Kedua, Pertimbangan Ekonomi
Target utama Jokowi itu adalah mengejar pembangunan infrastruktur yang mandeg sejak Indonesia jatuh kedalam pelukan IMF (akibat krisis moneter 1997) lalu. Ditambah lagi dengan aneka proyek mangkrak warisan pepo yang harus di revitalisasi kembali agar tidak menjadi puso... Memang pepo dan puso itu beti...
Pembangunan infrastruktur itu ongkosnya sangat mahal, dan tidak bisa sepenuhnya disokong oleh APBN. Apalagi realisasi penerimaan pajak itu sedikit meleset dari target. Ibarat nembak gebetan, yang kena malah ibunya...(untung ibu tiri yang beti umur dan kecantikannya dengan putri tirinya tadi)
Kalau APBN tidak bisa "diperkosa" untuk Infrastruktur, maka solusinya adalah lewat BUMN dan Investor Asing! Paket Infrastruktur BUMN ini ibarat "Paket Data Internet Provider yang lagi ultah. Kencang, anti lelet dan murah meriah pula..."
Apalagi untuk penggunaan dana APBN ini, harus lewat ketok palu (Senayan) dulu. Tanpa pelicin, palunya dipastikan tidak akan berbunyi...
Modal sendiri dari BUMN tentu saja tidak akan cukup untuk membiayai Infrastruktur. Mereka lalu menerbitkan Obligasi maupun kredit sindikasi. Tentunya semua hal ini butuh penanganan dari Regulator yang professional dan bisa dipercaya agar negara bisa mendapatkan hasil yang maksimal, dan proyek ini tidak akan mangkrak nantinya...
Selama ini SMI menjadi orang kepercayaan Jokowi untuk menangani skema pengadaan dana untuk Infrastruktur ini. Dengan naiknya SMI menjadi Wapres, tentu saja akan meringankan beban Jokowi nantinya. Jokowi-SMI nantinya bisa berbagi tugas (sesuatu yang sulit dilakukan selama ini) SMI nantinya fokus mengurusi ekonomi negara, sisanya dipegang oleh Jokowi. Dengan demikian pembangunan infrastruktur akan semakin kenceng, seperti evolusi paket data yang dari semula 2G kini menuju 5G...
Ketiga, Pertimbangan Psikologis
Melihat kebelakang "perjalanan karir" Jokowi di Istana, sungguh membuat trenyuh. Jokowi ditekan dari luar dan dalam. Para makelar, pemburu rente, calo bahkan germo yang bersembunyi dibalik jubah politik maupun agama berusaha menekannya dengan ganas dan sombongnya...
Namun perlahan tapi pasti, Jokowi bisa lepas dari tekanan KMP (sudah bubar) tekanan Senayan, bahkan tekanan dari PDIP sendiri! Koalisi beberapa partai yang mendukungnya kini pun tidak berani lagi menggertaknya. Memang ada satu dua politisi di dalam koalisi sendiri yang mencoba langgam oportunisnya, namun Jokowi tidak memperdulikannya...
Rasa hormat dan simpati adalah modal utama perjuangan Jokowi. Memang betul Parpol dibutuhkan untuk kenderaan Capres/Cawapres. Namun suara rakyat lah yang menentukan Capres mana yang akan menjadi Presiden kelak! Dan Jokowi memang sangat populer di mata rakyat...
Jujur saja, Jokowi sudah sangat muak dengan tingkah laku para politisi yang selalu membawa ambisi pribadi, tetapi mengatas namakan kepentingan partai dan rakyat ini!
Kini momen yang tepat untuk melakukan perubahan. Cawapres harus orang profesional, bukan orang parpol apalagi kaum agama (terutama orang munafik yang mengajarkan kekerasan...)
Perubahan tidak akan pernah terjadi dengan berbicara (berdoa) saja. Perubahan hanya bisa terjadi jika dibarengi juga dengan kerja, kerja dan kerja...
Salam #2019DuaPeriode
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H