Res judikata pro veritate habitur atau putusan hakim dianggap benar selama belum dibuktikan atau putusan sebaliknya, kira-kira itulah gambaran betapa "saktinya" Putusan seorang Hakim. Pertayaannya, lantas bagaimana, dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifat dari final dan mengikat, dalam artian tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan melaksanakan judicial review konstitusional Undang-undang terhadap UUD NRI 1945, seringkali dalam Putusannya menimbulkan pro dan kontra, dikalangan akademisi hukum, seperti Putusan ultra petita, melampaui kewenangan, bahkan ada yang masuk ke ranah legislatif (positif legislatif).
Di sisi yang lain, terdapat harapan bahwa Hakim dalam memutus perkara tidak hanya terikat pada prosedur belaka melainkan juga menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Faktanya, perdebatan mengenai pendekatan prosedural atau substantif, khususnya yang berkaitan dengan konstitusional dimulai pada dekade 1800-an, di Amerika dalam kasus Fletcher v. Peck (1810), [1] singkat cerita, Ketua Mahkamah Agung John Marshall, menulis opini untuk Pengadilan, dan menyatakan bahwa pencabutan Undang-Undang Tanah Yazoo tahun 1795 oleh badan legislatif Georgia tidak konstitusional dan melanggar klausul kontrak Konstitusi. [2]
Berangkat dari kasus tersebut, muncul desakan dari Para Sarjana, sehingga melahirkan konsep pembatasan yudisial atau yang lebih dikenal dengan Judicial restraint. Judicial restraint merupakan implementasi dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). [3] Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah "miniparliament". [4] lebih lanjut, Posner beranggapan bahwa pengadilan bukanlah "primary custodian" dalam sistem politik sebuah negara yang dapat menentukan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara-perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction). [5]
Dampak dari judicial restraint adalah memberikan kebebasan yang lebih besar kepada legislatif dan eksekutif dalam merumuskan kebijakan. Dengan demikian, valensi politiknya bervariasi tergantung pada posisi relatif Mahkamah Agung dan cabang-cabang yang dipilih. [6]
Prinsipnya, Judicial restraint memberi nasihat kepada hakim agar berhati-hati dalam menegakkan pandangan mereka tentang makna Konstitusi. Judicial restraint tidak memberi tahu mereka cara mencapai pandangan tersebut. [7] Selanjutnya, Judicial restraint tidak menghalangi Hakim memutus konstitusionalitas sebuah undang-undang, melainkan Hakim "merasa yakin dan kuat" akan inkonstitusionalisme.
Lantas bagaimana dengan Indonesia, meskipun tidak secara tegas mengikuti prinsip Judicial restraint, namun apabila dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 155/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon dengan alasan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Judicial restraint tersebut harus dinormakan, untuk pertanyaan ini, menurut pendapat Penulis, akan lebih baik apabila prinsip Judicial restraint di biarkan apa adanya (baca: tidak tertulis) dengan argumentasi, selain terdapat perkecualian "Hakim merasa yakin dan kuas akan  inkonstitusionalisme" hakim juga dituntut untuk menghadirkan "keadilan", sehingga model putusan Hakim tidak hanya terbatas pada prosedural belaka melainkan juga mempertimbangkan substansi dari hukum itu sendiri.
Kutipan
Kermit Roosevelt, judicial restraint, https://www.britannica.com/topic/judicial-restraint;
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!