Mohon tunggu...
Yafet Ronaldies
Yafet Ronaldies Mohon Tunggu... Freelancer - Human Mood-an

Ordinary Writer || Digital Writer || Freelance || Hobi makan || Enjoy Cook {Linke Ideologie}

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Para Penyiksa Hewan Termasuk Kejahatan Keji

21 Juni 2023   12:42 Diperbarui: 21 Juni 2023   12:50 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring perkembangan saat ini, tindak pidana kejahatan tidak hanya terjadi pada manusia saja, akan tetapi terhadap hewan pun bisa saja terjadi. Entah kejahatan/kekerasan/penganiayaan secara senggaja ataupun tidak senggaja terhadap hewan. 

Kalau berdasarkan sudut pandang hukum kejahatan itu merupakan perbuatan yang akan mengakibatkan pelaku diberi pidana, oleh sebab itu perbuatan kejahatan bertentangan dengan kesusilaan. Yakin terhadap hewan itu sendiri, kejahatan yang biasanya menimpa bersifat penganiayaan.

Di negara kita saat ini, baik itu hewan liar dan hewan peliharaan, terkadang sering mendapatkan perlakuan yang tidak lazim. Penulis mengutip pernyataan dari Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ibu Siti Nurbaya, bahwasannya kasus kejahatan satwa liar menjadi salah satu kasus terbesar di Indonesia, yang di mana Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah kasus narkoba dan perdagangan manusia. 

Oleh karena itu, dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan terhadap hewan di Indonesia, dibuatlah peraturan perundang-undangan antara lain terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) "versi lama", terdapat di dalam Pasal 302 dan 540. 

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 sebagaimana telah di ubah dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perternakan dan Kesehatan Hewan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, hal ini dilakukan untuk melindungi hewan dari para oknum-oknum kejahatan terhadap hewan.

Jikalau ditinjau dari segi asas kesejahteraan hewan berdasarkan Undang-undang nomor 18 Tahun 2009, Pasal 2 berasaskan kemanfaataan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatakan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan dan keprofesionalan. 

Kalau dari arikel/tulisan Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST.Ph.D, beliau menuliskan ada beberapa prinsip tentang kesejahteraan hewan (Animal Welfare):
       1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus),
      2. Freedom from discomfort (bebas dari rasa tidak nyaman),
      3. Freedom from pain, injury & diseases (bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit),
      4. Freedom from fear & distress (bebas dari rasa takut dan stres), dan
      5. Freedom to express natural behavior (bebas untuk mengekspresikan tingkah-laku alamiah).

Kemudian penulis akan coba membahas dari segi sanksi dan hukuman yang pelaku bakalan terima, penulis mengambil dalam Pasal 302 dan Pasal 540 KUHP 'yang lama'. Ancaman pidana yang bakal menjerat para pelaku penganiayaan terhadap hewan, minimal dihukum 3 bulan dan maksimal 9 bulan penjara. 

Jika penganiyaannya bersifat ringan (tidak sampai cacat/mati), maka kurungan penjara minimal 3 bulan yang bakal menjerat pelaku, sedangkan ketika penganiayaan yang menimbulkan cacat atau bahkan mati, pelaku akan dihukum maksimal yaitu selama 9 bulan sesuai dengan ayat 1 & 2 pasal 302 KUHP. 

Lantas apakah KUHP baru tidak bisa diterapkan? Jawabannya, belum bisa diterapkan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bisa berlaku terhitung 3 tahun ke depan, setelah beberapa waktu lalu telah disahkan atau diundang-undangkan pada 2 Januari 2023. 

Jadi KUHP baru bisa diterapkan di tahun 2026, (selama proses pemberlakuan KUHP baru, pemerintah/negara sebelum 2026 akan terus mensosialisasikan KUHP baru ini kepada publik secara berkala).

Tidak hanya KUHP, perlindungan atas hewan juga terdapat di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66, secara point ditegaskan bahwa setiap orang dilarang menganiaya, menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat. 

Di dalam Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak dijelaskan secara signifikan tentang hewan-hewan apa saja yang dilindungi. Kalau ditinjau dari Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009, diuraikan hewan yang dimaksudnya adalah yang hidupnya di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.

Sebagai contoh kasus misalkan, ada 3 orang pelaku membuang seekor anjing di sungai yang di dalam sungai itu ada buayanya, hal ini dikarenakan para pelaku kesal dengan seekor anjing ini, karena telah menghambur-hambur makanan/tempat tinggal para pelaku. 

Dengan sadisnya para pelaku membuang begitu saja anjing ini di dalam sungai ada buayanya. Kejadian ini kemudian di rekam, kemudian viral di sosial media. Tentu saja ini adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh para pelaku. 

Kalau berdasarkan jenis kesengajaannya ini masuk dalam Dolus Eventualis, yang artinya seseorang melakukan perbuatan namun tidak menghendaki akibatnya. 

Dapat dikatakan bahwa meskipun seseorang/mereka tidak menghendaki akibatnya, namun perbuatan tetap dilakuka, maka dengan begitu orang tersebut harus memikul apapun konsekuensi yang timbul, entah itu sanksi sosial, kurungan penjara dan denda.

Lantas bagaiamana pembuktiannya? ketika ada kasus yang demikian? Sesuai dengan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di uraikan alat-alat bukti itu seperti, keterangan saksi, keterengan ahli, surat, petunjuk, serta terakhir keterengan terdakwa. Kelima alat bukti ini harus komperhensif serta objektif sesuai dengan peristiwa yang telah terjadi. 

Proses pembuktian ini harus dilakukan dengan kualitas-kualitas alat bukti serta barang-barang bukti yang relevan, agar menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sebuah perkara tersebut. 

Selanjutnya apakah rekaman video bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Hal ini dikarenakan dalam rekaman video itu masuk dalam kategori dokumen elektronik. Kemudian validasi suatu bukti elektronik ini harus dikaji oleh ahli digital forensik. Karena dari ahli digital forensik inilah, bukti video bisa dikatakan asli dan bukan hasil editan.

Hukum pidana ini dilakukan dan diberikan kepada pelaku tidak hanya sebagai efek jerah, akan tetapi pelajaran kepada semua pihak/masyarakat, agar meningkatkan kesadaran dalam melindungi semua hewan agar tidak mendapatkan siksaan/penganiayaan secara sadis. Tidak hanya hewan yang dipelihara akan tetapi hewan-hewan liar, agar tidak mendapatkan siksaan. Ini dilakukan ada konsep dasar Animal Welfare dapat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun