Jikalau diperhatikan dalam Konsitusi tertinggi negara kita, di dalam BAB II Kekuasaan Pemerintahan Negara UUDNRI Tahun 1945 Pasal 4, mengandung arti sebagaimana dinyatakan Jimly Asshiddiqie, bahwa: "Artinya, ada kekuasaan pemerintahan negara yang menurut undang-undang dasar dan ada pula kekuasaan pemerintahan negara yang tidak menurut undang-undang.Â
Yang dimaksud dengan "menurut undang-undang dasar" juga dapat dibedakan antara yang secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang dasar dan ada pula yang tidak secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang dasar. Kepala Negara atau Presiden selaku kepala pemerintahan, yaitu jabatan yang memegang kekuasaa pemerintahan Negara, menurut Undang-Undang Dasar, Dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang adanya kedudukan kepala Negara Head Of State ataupun Kepala pemerintahan head Of Government atau Chief executive.Â
Disitu dinyatakan Presiden dan Wakil Presiden adalah pemegang kekuasaan kenegaraan. Secara hirarki penguasa kekuasan negara ini. Presiden/Wakil Presiden menjadi nomor satu. Akan tetapi, tetap kedaulatan berada di tangan rakyat. Jadi, secara tidak langsung UUD NRI Tahun 1945, memisahkan mana yang menjadi penguasa negara ini beserta wilayah kekuasannya. Seorang Presiden/Wakil Presiden, juga warga negara Republik Indonesia, cuman yang membedakannya adalah jabatan serta status sosial secara strata kewewenangannya juga sangat berbeda.
Persoalannya ialah kembali ke aparat penegak hukum, dalam menginterpretasikan pemahaman dan cara pandang dalam membedakan mana kritik mana yang sifatnya hinaan. Menurut penulis, sebaiknya harus ada pedoman khusus (baik itu dari kemenkumham/DPR) yang pasti dan tepat untuk para aparat penegak hukum, dalam membedakan mana diksi hinaan dan diksi kritik.
https://twitter.com/YafetRonaldies?t=vXtHOWjRTPnj4SyMHZcwRA&s=09