Mohon tunggu...
supriadi legino
supriadi legino Mohon Tunggu... -

Lulus Elektro ITB tahun 1974, MM UNSRI tahun 2000, MBA University of Missouri St. Louis th 2003, MA International Business th 2003,doctor of management tahun 2006. Sekarang menjadi Ketua STT PLN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tingkat Kebahagiaan Dilihat dari Perspektif Teori Marginal

27 Juli 2014   14:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MARGINAL THEORY OF HAPPINESS

Dalam ilmu ekonomi dikenal berbagai teori yang menggunakan pendekatan marginal, salah satunya adalah teori "Marginal Product of Labor" seperti yang tergambar pada kurva berikut ini. Pengertian marginal disini adalah selisih produksi yang diperoleh setelah kita menambah sumber daya, dan teori ini menyatakan bahwa kemampuan suatu sistim atau proses dalam menghasilkan suatu keinginan atau tujuan itu selalu ada batasnya dan apabila dipaksakan setelah melewati batas kemampuan tersebut, maka hasilnya justru akan menggerus hasil yang sudah dicapai. Contohnya , semula orang menganggap bahwa dengan menambah jumlah buruh maka tingkat produksi akan meningkat, secara jumlah absolut memang benar, tetapi secara marginal, kenaikan tersebut hanya sampai titik tertentu dan setelah itu nilai marginalnya negatif seperti terlihat pada pada gambar berikut ini. Konsep ini saya gunakan ketika mengkritisi salah satu pakar calon wakil presiden yang dengan yakin mengatakan bisa menyelesaikan puluhan ribu MW proyek kelistrikan sekian kali lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan PLN yaitu dengan melipat gandakan tenaga kerja dan sumber daya. Teori marginal ini juga berlaku untuk pendapatan dan keuntungan dalam ilmu keuangan, dan atas dasar teori marginal ini saya mencoba membuat suatu opini anekdotal sebagai berikut: "Dengan bertambahnya kekayaan maka tingkat kebahagiaan seseorang akan bertambah tapi hanya sampai batas tertentu dan apabila kekayaan bertambah terus setelah titik maksimum tersebut, maka nilai kebahagiaan orang tersebut justru akan menurun terus." Opini tersebut didasari oleh logika sederhana misalnya, sekaya apapun seseorang, tak mungkin dia merasakan kenikmatan makan lebih dari 5 x sehari dibandingkan dia makan biasa 3 x sehari , seenak atau semahal apapun makanan tersebut. Dia juga tidak mungkin bisa menikmati koleksi bajunya dengan memakai 3 lapis pakaian termahal atau 10 x ganti baju sehari dibandingkan dengan memakai baju biasa. Atau apakah dia bisa menikmati sekaligus 10 rumah mewah yang dia miliki dibandingkan satu buah rumah asri yang sehari-hari dia tinggali? Yang jelas buat saya pribadi hukum marginal tersebut berlaku karena saya pernah memiliki penghasilan berlebih dan rumah lebih dari satu tapi justru lebih galau dibandingkan ketika saya masih merasakan nikmatnya menanti amplop gaji seperti ketika awal bekerja dan setelah pensiun saat ini. Lalu dimanakah titik maksimum kenikmatan tersebut? Tentu saja bukan semata-mata dilihat dari kebutuhan materi seperti sandang, pangan, dan papan, karena seperti dijelaskan oleh teori Maslow's need hierarchy, kebutuhan manusia itu semakin tinggi semakin intangible termasuk aktualisasi diri. Artinya, kurva marginal tersebut berbeda dari individu ke individu yang lain tergantung dari aspek pendidikan, lingkungan, budaya dan aspek lain yang melatar belakangi orang tersebut. Pertanyaan selanjutnya, apakah kita tidak boleh meningkatkan kekayaan karena adanya batas maksimum kebahagiaan tersebut? Untuk itu agama Islam yang saya anut memberikan jawabannya bahwa titik maksimum kebahagiaan seseorang akan meningkat apabila dia semakin banyak memberi kepada orang lain baik yang sifatnya wajib seperti zakat ataupun sukarela seperti sedekah. Bila orang ikhlas berbagi dan semakin kaya dia maka semakin banyak lagi harta yang dibagikan kepada orang yang membutuhkan, maka titik maksimum dari tingkat kebahagiaan orang tersebut akan semakin tinggi. Namun dalam kenyataan sehari-hari, banyak kita amati semakin kaya seseorang, justru semakin pelit dan semakin "itungan," sehingga ketika saya menjadi tim pencari dana, salah satu "guideline" yang dipakai adalah, jangan cari sumbangan sama orang yang terlalu kaya, alih-alih dapat uang, kita malahan diomelin.... dan entah kebetulan atau tidak, kenyataannya sumbangan terbesar selalu didapat dari orang yang tidak berlebih kekayaannya. Melalui tulisan ini saya ingin mengakhiri bulan Ramadhan yang mulya ini dengan mengajak rekan-rekan untuk membayar zakat yang wajib, kalau bisa dilebihkan agar menjamin tidak ada uang haram hak orang miskin yang termakan, dan juga mengobral sedekah agar tingkat kebahagiaan kita semakin tinggi. Jangan sampai harta kita yang berlebih justru membuat kita tambah "PARNO" atau paranoid karena takut diambil orang, dan membuat kita stress karena waktu kita habis untuk memikirkan bagaimana mengamankan harta kita yang banyak dan tersebar dimana-mana. Selamat Ied Fitri, Taqobalallohi mina wa minkum, kami sekeluarga menghaturkan maaf lahir batin, semoga setelah lebaran ini tingkat kebahagiaan kita bisa meningkat sehingga kita bisa menikmati suasana surgawi walaupun masih hidup di dunia ini. Bekasi, Ramadhan, Ahad 27 Juli 2014 YSL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun