Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RoseRTC] September, Ever

17 September 2016   13:52 Diperbarui: 17 September 2016   14:08 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Warna senja terlihat lebih mengelam, tidak seemas biasanya. Tapi senja tetaplah indah, apapun warnanya. Sudah beberapa menit, mungkin hampir limabelas menit kami hanya diam. Duduk berdampingan menatap senja yang segera terselimut malam, kusenderkan kepalaku di bahunya. Merasakan usapan lembut tangan kekarnya di lenganku. Andai selamanya bisa seperti ini!

"Vin!" desisnya.

Bisa kurasakan kegusaran dalam hatinya, tapi tak sehebat ketakutan yang menjalari nadiku. Ini adalah hari ke 17 dalam bulan September, tapi ini adalah hari ke-11 kebersamaan kami. Sesuatu yang begitu singkat, hanya dalam hitungan hari, dia begitu memikat hatiku. Tidak! Bukan hitungan hari, mungkin hanya hitungan menit, jam, entahlah...

Ku pejamkan mata untuk meresapi apa yang baru saja terjadi. Disini, di bibir pantai yang mempertemukan daratan dan lautan, dia mengajakku berdansa, debur ombak yang beriringan, suitan camar yang bersahutan, dan desir pasir menjadi lantunan merdu yang mengiringi. Hembusan angin yang menyapa merdu menambah suasana menjadi lebih syahdu, ucapan tulusnya masih bisa ku dengar,

"Vin,"

"Ng?"

"Terima kasih, kau mengisi hidupku!"

Ku jawab dengan tawa ringan yang merdu, masih kubiarkan kepalaku di dadanya. Kami masih bergerak lembut bersama, "apakah itu artinya kau mencintaiku?" desisku kemudian.

Dia terdiam. Membuatku ikut bergeming, dia turunkan tangannya hingga menyentuh telapakku, menggenggamnya erat. Jadi, kuangkat kepalaku menatapnya. Aku sedikit mendongak ke atas karena tinggiku hanya sebahunya.

"I don't know what kind of this feel, but...," dia menatap mataku, "terima kasih kau bersedia mencintaiku, meski tahu siapa aku. Kau mengenalkanku pada dunia baru,____ yang membuatku merasa lebih..., man-manusiawi!"

"Jhon,"

"Aku hanya seorang monster,"

Ku bungkam mulutnya dengan telunjukku yang ku tempelkan di mulutnya seraya menggeleng, "no, jangan katakan itu! Aku mencintaimu, karena...," ku letakan telapak tanganku di dadanya, "disini, kau memiliki sesuatu yang sama dengan semua orang!"

Hening.

"Hati. Aku sudah melihatnya!"

Bayangan kami kembali melayang ke 11 hari yang lalu, dimana pertemuan pertama kami begitu rumit dan mendebarkan. Jika dia memang seorang monster, seharusnya saat ini aku sudah berkalang tanah, dan mungkin beberapa orang tak bersalah.

Seorang pembunuh profesional yang sengaja dibayar untuk membunuhku. Aku adalah saksi kunci pembunuhan seorang perwira AL, yang tidak lain adalah ayahku sendiri. Aku berhasil kabur saat itu, memang..., aku tak bisa melihat wajah si pembunuh karena dia memakai penutup wajah. Tapi aku mengenali matanya. Tatapan dinginnya yang menyimpan sesuatu. Sesuatu yang akhirnya bisa ku pahami. Tapi mereka, mereka tetap menginginkan kematianku.

Mereka!

Yang belakangan ku ketahui adalah teman karib ayah, aku cukup mengenalnya. Hanya, aku tak mengerti kenapa dia tega membunuh ayahku yang sudah seperti saudaranya sendiri?

Saat itu, orang pertama yang kuhubungi adalah om Arya. Aku pergi ke rumahnya untuk meminta perlindungan. Untuk beberapa saat aku memang aman.

Tapi aku tidak ingin mengingat semua itu lagi. Toh sekarang om Arya sudah mendekam di balik jeruji besi, dan sang pembunuh telah dinyatakan tewas oleh kepolisian.

Dia menggengam tanganku yang berada di dadanya, "Sebenarnya dulu saat di panti asuhan..., mereka memanggilku Joey!" desisnya. Aku menatapnya, mencerna kalimat yang ia ucapkan.

"Itu..., nama yang bagus." pujiku. Dia menyunggingkan senyum tipis, senyum yang membuatnya kian tampan.

"Joey!" panggilku, dia tertegun, "do you mind?" tanyaku meminta persetujuanya.

"No!"

* * *

Senja telah bersembunyi dibalik keremangan. Berganti dengan cahaya rembulan yang memantul di atas debur ombak. Kutarik kepalaku dari bahunya.

"Joey, haruskah kau pergi?" tanyaku tak rela. Aku tak berani menatap matanya, aku takut aku tak akan mempu melepaskannya. Mungkin ini gila, aku jatuh cinta pada seseorang yang telah membunuh ayahku sendiri. Yang juga hampir saja membunuhku! Entah kenapa aku tak bisa membencinya meski kucoba. Rasa benci yang kupaksakan yang berakhir dengan api yang membakar jiwaku. Aku menyadari itu. Bahkan, kini aku tak mampu jauh darinya.

Dia memutar tubuhnya hingga menghadapku. Menatap wajahku yang menunduk. Kulihat tangannya menyentuh daguku dan menariknya hingga mata kami bertemu.

"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan di negaraku, lagipula..., aku tak memiliki dokumen resmi. Aku masih ilegal disini,"

"Kau akan melupakan aku?" kataku bergetar,

Dia tak menyawab, dia melepaskan tangannya dari daguku. Merogohkan tangannya ke dalam leher bajunya, ke dadanya. Dan keluar dengan sesuatu, dia menariknya lepas dari lehernya. Membuang tali hitam yang mengikatnya, sebuah cincin yang cantik. Dengan manik berwarna merah muda yang menciptakan kilau oleh pancaran sinar bulan, ia menatap benda di antara ibu jari dan telunjuknya itu.

"Sejak kecil, benda ini sudah tergantung di leherku. Kata suster kepala, mungkin ini ditinggalkan oleh ibuku," katanya lalu tersenyum getir, "entahlah..., aku bahkan tidak tahu apakah aku punya seorang ibu..., dan ayah!" kepedihan bisa kurasakan dari nada suaranya, "sejak diadopsi, aku tak diajarkan mengenal hal itu," dia terdiam. Sedikit memutar-mutar cincin itu lalu memungut tangan kananku. Meletakan benda itu diatas telepak tanganku.

Ku angkat wajahku menatapnya, dia menerawang dalam ke bola mataku yang berwarna coklat, "can you take care this for me?" pintanya pelan.

Ku turunkan kembali pandanganku ke cincin di telapak tanganku sejenak sebelum kembali ke manik matanya yang berwarna hijau tua, bibirku sedikit gemetar saat aku menyahut, "itu artinya kau akan kembali kan?" harapku.

Dia tak menjawab. Aku tahu! Dia sendiri tak bisa menjamin keselamatan nyawanya. Mataku mulai memanas, aku tak pernah merasakan cinta yang seperti ini! Aku sangat ingin dia tetap disisiku. Aku tidak ingin dia pergi, jika bisa, aku ingin waktu berhenti saat ini juga. Agar dia tak terenggut dariku.

"Can I come whit you?" pintaku dengan sebulir bening mengalir dipipiku. Dia menggeleng menyeka airmataku, "No," desisnya. Kupejamkan mata untuk menelan kekecewaan ini.

"Please," aku memohon.

Dia merengkuhku dalam dekapannya. Kupecahkan tangis disana. Kami berpelukan untuk saling meresapi bunga-bunga yang sedang mencoba bersemi. Lalu dia menjauhkanku darinya, menatap kolam mataku yang menumpah lalu mendongak ke atas, beberapa gugusan bintang membentang di kelamnya langit. Dia menyunggingnya senyum manis,

"Aku tak pernah berfikir sebelumnya, ternyata langit malam..., sungguh indah!"

Aku ikut mendongak ke atas, beberapa bintang berkelip disana, cahaya bulan sabit ikut bergabung untuk meramaikan. Debur ombak bersahutan disisi kami,

"Kau harus sering menatap mereka," ujarku,

"Bulan apa ini?" tanyanya, mulai kembali menatapku. Akupun membalas tatapan mesra itu, "September," sahutku.

"It's special month,"

"Sungguh?"

Kurasa dia sedang mencoba menghangatkan suasana, "for me!" tambahnya. Aku sedikit terhenyak, apakah hanya bulan ini saja yang sepesial untuknya?

"How about me?" tesku,

Beberapa menit dia menatapku tanpa suara, dan tiba-tiba kurasakan jemarinya menari di wajahku, "you're the only one, special person for me!" ucapnya, aku cukup terharu dengan ucapannya. Kusunggingkan senyum tipis yang bahagia.

"Ever?" tanyaku,

"Ever!" sahutnya tegas nan lembut. Aku mencoba melebarkan senyumanku, setulus mungkin. Aku tidak tahu masa depan apa yang bisa dia janjikan padaku! Tapi aku tahu, dia tidak akan pernah melukaiku. Dan aku akan menunggunya, aku yakin dia akan kembali untukku.

Seperti yang dia ucapkan. Bulan september ini menjadi bulan yang spesial untuk kami, karena disinilah cinta kami bersemi. Dan mungkin, september berikutnya akan membawanya pulang kepadaku. Atau..., aku ingin setiap bulan adalah september. Agar aku bisa terus merasakan kehadirannya. Ya, setiap bulan adalah September!

 

__________o0o__________

 

©Y_Airy || 17 September 2016

 

Karya ini di ikutsertakan untuk memeriahkan Event Romansa September RTC,

 [caption caption="logo RTC"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun