Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengantin Papaku (4)

1 September 2016   00:14 Diperbarui: 1 September 2016   01:09 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixhome.blogspot.com

"Apa!"

"Karena gagal jantung!" sambung bibi. Rana melangkah mundur perlahan, tubuhnya menyenggol vas di meja hingga vas itu jatuh. Hancur berkeping-keping, dia kembali menggeleng. Bulir bening meluncur begitu saja dengan derasnya dari matanya. Tubuhnya terhuyung,

"Tidak. Tidak mungkin!" tangisnya. Dia membiarkan dirinya jatuh bersimpuh di lantai, "Albert...," sedunya. Aku menghampirinya dan merengkuh tubuhnya dalam dekapanku, "tidak Alan, ini tidak mungkin...katakan semua ini bohong!" rengeknya.

Aku memeluknya erat. Hingga airmatanya membasahi taxedoku, bulir bening juga merembes dari mataku. Tapi aku tak ingin menangis seperti anak kecil.

Rumah yang seharusnya menjadi meriah oleh pesta pernikahan kini menjadi mendung, kepergian papa membuat semua orang berduka. Papa adalah orang yang cukup bisa menjaga perasaan orang lain, bahkan para pembantu sekalipun. Papa pantas mendapatkan airmata mereka saat kepergiannya.

Setelah Rana cukup tenang karena telah menumpahkan tangisnya di dadaku, aku mengambilkan minuman untuknya. Untuk membuatnya lebih tenang. Menyuapinya menyesap minuman itu, dia masih tersedu. Duduk di kasur.

Kediaman merebak selama sekian saat. Lalu Rana meluncur dari ranjang, hendak berlari. Aku langsung menangkap tubuhnya, "kau mau kemana?"

"Alan, aku harus menemui Albert. Dia tidak mungkin meninggal, kami akan menikah!"

"Papa sudah meninggal, Ran!"

Dia menggeleng, "tidak, dia tidak boleh meninggal. Ini pasti ada kesalahan, dia tidak boleh meninggal. Bagaimana aku bisa hidup tanpanya!" tangisnya lagi. Dia mencoba meronta, dan aku menahannya.

"Tidak Ran, papa memang sudah meninggal!" tegasku. Dia berhenti meronta, terdiam. Seperti ada sesuatu yang dirasakannya, perlahan dia menoleh padaku. Menatapku. Aku melepaskannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun