Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemerdekaan RTC] Pita Merah Putih "Pertiwi"

17 Agustus 2016   07:20 Diperbarui: 17 Agustus 2016   08:28 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Merah putih, www.devianart.com lalu di edit sendiri"][/caption]

17 Agustus 2046

Aku terkejut saat mendengar suara gaduh di kamar sebelah, awalnya kuacuhkan saja. Tapi akhirnya aku tergelitik untuk mengetahui gerangan apa yang terjadi!

Kulangkahkan kaki untuk menghampiri, pintu kamar itu terbuka, kulongokkan kepalaku menyorong ke dalam. Seorang gadis kecil tengah mengaduk-aduk kamarnya, sepertinya tengah mencari sesuatu.

"Kau sedang apa?" tanyaku.

Gadis itu menoleh, "mencari pitaku!" sahutnya dengan suara yang membuatku gemas. Ouh..., hanya pita. Tapi ia sampai membuat kamarnya berantakan seperti kapal pecah!

"Apa kau melihatnya?" tanyanya.

"Kau memiliki banyak pita, yang mana yang kau cari. Bukankah biasanya semua pitamu ada di kotak pink-mu itu!" sahutku. Gadis itu memang memiliki begitu banyak pita berwarna-warni. Ia suka sekali menghiasi rambutnya dengan pita sesuai dengan warna bajunya.

"Aku mencari pita merah putihku!"

Mataku menemukan sesuatu di rambutnya yang di kuncir ekor kuda itu saat ini, "di rambutmu itu apa?" seruku memberitahukannya. Lebih tepat mengingatkan. Ia pun meraba rambutnya, ia memang memakai pita merah putih untuk melapisi karet rambutnya.

"Bukan yang ini, ini kan pita kecil!" katanya kecewa,

"Lalu?" akupun masuk ke dalam menghampirinya sambil celingukan. Berharap menemukan sesuatu, kulihat ia kembali membuka laci meja belajarnya.

"Semalan pita itu kutaruh di...," ia mencoba mengingat, "di sisi kepalaku saat aku tidur!" tambahnya. Kutatap wajahnya yang mungil itu, ia juga memakai seragam merah putih yang cemerlang.

"Kalau begitu..., mungkin tersembunyi di balik selimut yang belum kau lipat itu. Atau..., di bawah bantalmu!" kataku sedikit menyindirnya. Biasanya gadis itu selalu membenahi kasurnya setiap bangun tidur, tak pernah lupa.

"Tadi aku sedikit bangun kesiangan karena semalam tak bisa tidur, lalu selesai mandi...tempat tidurku sudah rapi. Spreynya juga sudah di ganti dan___!" ia terdiam seketika. Membesarkan bola matanya, "spreynya di ganti!" serunya secara spontan, sedikit lantang, "pasti Bunda yang menggantinya. Bunda...," teriaknya sambil berlalu. Ia berhambur meninggalkan kamar yang ia biarkan berantakan sekali. Ku ikuti kemana ia pergi.

Ia menghampiri ibunya yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang, "Bunda!" panggilnya membuat sang ibu menoleh.

"Hei Sayang, kenapa kau belum berangkat? Bukannya hari ini kau ada upacara tujuh belasan?" tanya ibunya,

"Bunda melihat dua pita merah putihku?"

"Pita?" tanya ibunya heran seraya mengerutkan dahinya, gadis itu mengangguk mantap. Tanpa ragu. Sang ibu memutar matanya seolah berfikir,

"Maksudmu..., pita itu?" tunjuk sang ibu ke arah pita merah putih di samping bendera dengan warna yang sama di sebuah jemuran. Mereka basah. Sang gadis membuka mulutnya tanpa suara,

"Maaf sayang, saat membereskan kamar tidurmu Bunda tidak memperhatikannya. Pita itu tergulung di dalam sprey dan ikut masuk ke mesin cuci. Tapi..., hanya ada satu pita Tiwi!" sahut Ibunya,

"Itu dua," tunjuk sang gadis yang bernama Pertiwi itu. Ia dinamai pertiwi dengan harapan bisa membanggakan dan mencintai tanah pertiwi ini, "bendera itu kan juga pita, pita negara kita. Aku harus membawanya!"

"Tapi mau bagaimana lagi, mencari yang baru sudah tudak mungkin kan. Acaranya hari ini, ya sudah...kau tak perlu membawa mereka!"

"Tidak bisa," sang gadis menghampiri pita dan bendera itu, memungut pita merah putih selebar 5cm dan sepanjang 60cm itu. Mengikatkannya melingkari kepala.

"Pertiwi, itu masih basah!" cegah ibunya.

"Nanti juga kering Bunda!" sahutnya memungut bendera yang juga masih basah itu lalu, "Tiwi berangkat Bunda, assalamu alaikum!" serunya seraya berlari. Sang ibu menjawab salamnya lalu melanjutkan pekerjaannya sambil menggeleng. Tapi tercipta senyum di bibirnya.

Ku ikuti sang gadis pergi, ia berjalan kaki. Di sepanjang jalan yang di penuhi dengan bangunan-bangunan tinggi itu, terpajang bendera merah putih yang berkibar-kibar oleh angin. Aku kenal jalanan ini, jalanan yang biasa aku lewati. Tapi ada sesuatu yang berbeda, kulihat semua bangunan yang ada, baik tinggi maupun pendek. Terdapat tiang yang menjulang dan dihiasi pita merah putih yang berkibar-kibar. Ku lihat lurus ke depan, lalu ke tengok kanan-kiri dan juga belakang. Di setiap puncak bangunan yang tinggi-tinggi itu berkibar sang Saka Merah Putih dengan gagah. Apakah ini nyata?

* * *

Ku nyalakan televisi, mencari berita apa yang sedang hangat. Aku tak menemukan polemik-polemik yang membuat resah warga, tak menemukan berita-berita penangkapan koruptor yang kian meraja lela. Mungkin, aku ketinggalan sesuatu. Jadi ku raih tabku, dan mencari berita terhangat disana. Ku tekan tombol on lalu muncul cahaya biru membentuk layar di atasnya, hologram layar. Kucari berita terhangat hari ini,

Beberapa news membuatku tersenyum,

• Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah.

• Kriminalitas di Indonesia menurun drastis selama beberapa tahun terakhir.

• Indonesia baru saja mendapatkan penghargaan sebagai salah satu negara terbersih, mengalahkan Korea Selatan dan Singapura.

• Peningkatan Perekonomian Indonesia stabil, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju dan berkembang.

Dan beberapa berita yang cukup memuaskan hati. Negara ini menjadi negara yang tertib dan hebat karena Pemerintah dan Rakyatnya sanggup bekerja sama dengan baik. Ya, inilah yang namanya merdeka. Investor lokal mampu mengalahkan investor asing. Kebudayaan dalam negeri tetap terjaga meski kebudaan asing masuk ke dalamnya. Kekayaan alam negeri ini dimanfaatkan dengan sangat baik untuk kepentingan rakyat dan negara. Tidak ada lagi warga yang mengemis-ngemis di jalanan. Mereka lebih memilih untuk menjadi lebih terhormat, meski hanya sebagai wirausaha kecil.

* * *

Gadis kecil itu menghampiriku, "kau tidak ikut pawai, merayakan hari ulang tahun negara kita?" tanyanya, "harusnya tadi kau juga ikut upacara tujuh belasan, jangan pernah melewatkannya!"

Aku hanya tersenyum padanya.

"Ayo, ikut aku!"

"Kau semangat sekali, memangnya kau tahu arti tujuh belasan ini?" tanyaku memancingnya. Gadis 10 tahun itu sedikit menelengkan kepalanya.

"Di hari ini..., 101 tahun yang lalu negara kita merdeka dari penjajah!" sahutnya dengn mimik yang lucu namun tegas seolah ia mengerti semua itu. Semua perjuangan para pahlawan kemerdekaan yang harus merelakan darahnya tercecer demi kebebasan negara.

"Eh...hem...!" tukasmu,

"Kita merayakannya untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan,"

"Caranya?"

"Banyak yang bisa kita lakukan."

"Contohnya?"

Gadis itu kembali diam. Seperti sedang mencari sebuah jawaban, sudsh ku duga, gadis sekecil itu belum terlalu mengerti dengan semua itu.

"Seperti upacaca Bendera tadi,"

Aku kembali mengembangkan senyum, itu memang benar. Tapi..., apakah ia mengerti arti merdeka sesungguhnya?

"Ayolah..., ikut bersamaku. Semua orang sudah berkumpul!" katanya lagi tiba-tiba, "oya, kenapa kau tidak menggunakan atribut merah putih? Sekarang kan diwajibkan untuk menggunakannya, kususnya setiap tujuh belas Agustus!"

Kulihat diriku sendiri. Aku memang tak mengenakan apapun yang berwarna merah putih. Padahal hal itu sekarang menjadi penting sekali.

"Ok, nanti aku menyusul. Boleh kutanya sesuatu?" tanyaku. Gadis itu mengangguk dengan cepat, dengan senyum kecil kulontarkan tanya padanya, "apa yang akan kau lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan?"

Ia diam untuk sekian detik.

"Aku akan belajar dengan giat dan rajin sampai jadi jenius. Jika kita menjadi pintar, kata guruku kita tidak akan mudah di bodohi oleh orang-orang asing seperti dulu. Tapi, apa yang kau khawatirkan, sekarang kita sudah maju. Semua serba canggih, negara kita sudah aman. Kita semua hidup layak!"

Gadis itu berbicara seolah ia sudah dewasa, tapi semua yang diucapkannya benar. Negara ini sudah jauh lebih baik daripada berpuluh tahun yang lalu. Perhutanan kembali menghijau, tak ada sampah berserakan di jalanan. Semua warga menjunjung tinggi sang Saka Merah Putih, bahkan gadis 10 tahun pun bisa melakukan itu.

Aku sedikit tersentak ketika sesuatu menyentuhku, kulihat gadis itu mengikatkan pita merah putih yang awalnya melingkar di kepalanya ke lenganku.

"Nah..., itu baru warga negara yang baik. Ayo!" katanya sambil berbalik,

"Jiak kau berikan padaku, kau pakai apa?"

"Aku masih memiliki satu, di rambutku!" tunjuknya ke pita yang menghiasi kuncirnya. Pita Merah Putih yang juga terbuat dari kain, tapi lebarnya lebih sempit dari yang sekarang bersarang di lenganku. Gadis itu tak menoleh, ia tetap berlari. Dan aku baru memperhatikan kalau di punggungnya..., ada Bendera Merah Putih yang tiangnya terbuat dari bambu dan terselip di ikat pinggangnya. Ia meraihnya ke tangan dan mengibaskannya tinggi-tinggi. Bendera itu memang tak sebesar yang berkibar di tiang-tiang tiap rumah. Aku pun berjalan mengikuti arahnya pergi.

* * *

KRINGG....KRINGG....KRING...KRINGGG....

Aku tersentak dengan suara itu, mataku masih sedikit kabur saat tanganku meraba-raba untuk menemukan benda berisik itu. Ku raih dan lirik, jam tujuh tepat. Kumatikan dan ku lempar saja ke kasur.

Aku berjalan gontai ke kamar mandi karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Sengaja aku bangun agak siang agar sesampainya di sekolah tinggal ikut upacara saja. Tak perlu ikut mempersiapkan segalanya seperti yang di perintahkan para guru. Sebenarnya malas juga ikut upacara, mana terik lagi. Upacara tujuh belasan di pusat kan akan berlangsung lama, karena menunggu semua berkumpul.

Aku membasuh wajahku di wastafel, saat menyeka menghadap kaca. Aku tertegun. Sebuah pita Merah Putih melingkar di lenganku.

Kapan aku memakainya?

Lalu sebuah bayangan muncul, dan suara anak kecil.

101 tahun yang lalu negara kita merdeka dari penjajah.

 Kenapa kau tidak menggunakan atribut Merah Putih.

Nah..., itu baru warga negara yang baik.

"101 tahun yang lalu?" desisku, "bukannya hari ini baru 71 tahun negara merdeka?" heranku.

Aku segera terkesiap.

 

©Y_Airy | 17 Agustus 2016

Karya ini diikutsertakan untuk memeriahkan event Bulan Kemerdekaan RTC

[caption caption="Rumpies the Club dok."]

[/caption]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun