"Kamu masih mikirin dia?" terka Leon. Ilham menolehnya sejenak, menyunggingkan senyum pedih. Dan sudah pasti Leon bisa tahu hal itu.
"Kapan sih kamu mau move on? Masih banyak gadis di dunia ini Ham, banyak juga yang ngantri di loketmu. Mulai dari artis abal-abal sampai putri pejabat, masa' nggak ada sih yang bisa bikin kamu tertarik?"
"Aku cuma mau fokus sama voli dulu, Leon. Jangan bahas itu lagi!" pintanya sedikit kesal. Leon harus mendengus kesal karenanya, "ok deh, aku nyerah soal satu itu. Ku akui, dia memang gadis yang bukan untuk di lupain. Tapi..., aku yakin dia juga nggak mau lihat kamu mengekang hatimu di masalalu!"
Ilham tak menyahut, ia malah meringis lagi dan kali ini lebih dari tadi. Leon memperhatikan itu, "kamu yakin nggak apa-apa, sebaiknya kita ke dokter aja deh!" sarannya. Ilham menggeleng, memegang pergelangan kaki kirinya yang kini ia tumpangkan di atas lutut kanannya,
"Nggak perlu, di urut juga entar sembuh kok!"
"Tapi sepertinya kaki kamu cedera, aku nggak mau kamu nolak lagi. Ok, kita ke rumah sakit!" paksanya. Akhirnya Ilham sendiri menyerah karena memang cukup sakit, meski tidak ada luka luar. Tapi memang terlihat sedikit bengkak.
Â
"Maksud dokter apa?" tanya Ilham. Mereka sedang duduk berseberangan meja dengan dokter yang memeriksa Ilham, dokter Angga. Dokter langganan tim mereka.
"Ligamen kakimu sedikt cedera, memang tidak terlalu parah. Untuk itu sebaiknya untuk sementara waktu kamu vacum bertanding sampai sembuh!"
Baik Ilham maupun Leon termangu dengan pernyataan dokter. Vacum! Bagaimana bisa? Voli adalah hidupnya. Ia sudah menyerahkan sebagian dari dirinya menyatu dengan olahraga yang satu itu.
"Vacum dok?" desis Ilham,