[caption caption="An Angel, funnynwallpaper.in.net"][/caption]
Â
Sebelumnya, The Wedding #Part 42
Â
Pria itu duduk diam di balik kemudi sebuah truk barang, ia mengenakan jaket yang dengan penutup kepala, kacamata hitam, masker dan sarung tangan. Seksama, wajahnya tidak bisa di kenali. Memang itulah tujuannya.
Ia sedang menunggu sesuatu.
Dari gerbang gedung Bareskrim Polri, keluar beberapa mobil polisi. Di dalam mobil kedua, di jok belakang, duduk Anthony Robert, mobil-mobil itu hendak menuju pengadilan. Meski pengacara Anthony sudah mendatangi Nicky, tetap saja Nicky tak mau mencabut tuntutannya. Tentu saja, apa yang di lakukan Anthony sudah benar-benar tindak kriminal. Pria itu menerima pesan singkat dari seseorang yang ia suruh untuk mengamati gedung Bareskrim, untuk mengetahui kapan Anthony keluar dari gedung menuju pengadilan. Setelah membaca pesan itu, ia segera menjalankan truknya.
Saat iringan mobil polisi itu melaju dengan kecepatan sedang, truk berwarna kuning itu melaju dengan kecepatan tinggi dari sisi jalan yang lain hingga berbelok mengikuti iringan mobil polisi itu. Sang pengemudi menambah kecepatan hingga lebih dari 100km/jam, truk itu melaju kencang tak terkendali dan menabrak iringan mobil polisi dari belakang. Akibatnya, terjadi tabrakan beruntun yang cukup dasyat, mobil-mobil itu ringsek, tapi truk itu masih saja mendorongnya hingga menabrak mobil-mobil lain. Lalu berhenti. Ia menatap beberapa mobil polisi yang ringsek, bahkan ada yang sampi meloncat dan menindih mobil lain, sudah pasti, para pengemudi serta penumpangnya terluka.
Ada yang terluka parah sampai tak sadarkan diri, mungkin juga ada yang mati. Ada juga yang luka ringan, dan masih terjebak di dalam mobil. Pria itu turun dari dalam truk, beberapa mobil di belakangnya menghentikan lajunya, terjadi kemacetan di sana.
Pria itu berjalan sambil mengeluarkan sebuah senjata api, mendekati mobil-mobil ringsek oleh perbuatannya, ketika ia menemukan siapa yang di carinya, ia berhenti. Menatapnya, Anthony menggerakan tubuhnya di dalam salah satu mobil polisi yang sudah meringsek, dan terjungkir, darah mengalir dari dahinya, sang pengemudi di depannya sudah tak bergerak. Ia mengangkat kepalanya hingga melihat seseorang berdiri menatapnya. Ia tak bisa melihat wajah orang itu karena memakai kacamata hitam dan masker. Lalu orang itu menodongkan senjata api ke arahnya dari jarak sekitar tiga meter, berpandangan untuk beberapa saat. Dan...,
* * * Â
"Bi Ratih!" panggil Nicky ketika wanita itu berjalan mendorong troli makanan berisi sajian lengkap, wanita itu berhenti, "tuan!" sahutnya.
"Biar aku saja!" katanya merebut troli itu, wanita itu pun mengalahkan lalu menyingkir. Nicky mendorongnya memasuki kamar, dimana Liana duduk bersandar di kasur sembari membaca buku tebal. Mendengar pintu kamarnya terbuka, Liana mengerling. Ia tahu itu Nicky, karena jika orang lain pasti akan mengetuk pintu lebih dulu. Ia tetap tak memindahkan wajahnya dari buku di pangkuannya.
Nicky mendorong troli makanan itu ke sisi Liana, dan ia duduk di bibir ranjang di sisi wanita itu. Menatap wajah istrinya yang terus mengarah ke bawah.
Hening, hanya detak jam dinding yang melantun. Nicky tahu istrinya tidak akan menutup buku itu, apalagi menyentuh makanan yang tersaji jika dirinya masih berada di ruangan itu. Pasca operasi wajah dan kaki dua hari lalu, Liana memang di minta untuk bedrest dulu, luka di wajahnya sudah bersih, kakinya juga sudah bisa di gunakan untuk berjalan dengan normal. Tapi tidak boleh terlalu lelah dulu. Sebenarnya Liana tak mengucapkan apapun saaat Nicky mengatakan akan memberikannya operasi wajah dan kaki, tapi karena Nicky sudah mempersiapkan semuanya, tak mungkin di batalkan.
"Apa kau akan terus bungkam padaku?" tanya Nicky lirih, Liana masih diam, "aku tahu..., aku melakukan banyak kesalahan terhadapmu. Apakah kau benar-benar tak bisa memaafkan aku?" lanjutnya. Liana masih menatap bukunya, meski konsentrasinya sudah tak di sana lagi. Ia lebih mendengarkan ucapan suaminya. Â
"Kau hanya diam seperti ini saat aku berada di sekitarmu, kau...," Nicky memotong kalimatnya. Jelas ada kepedihan dalam ucapannya yang sebenarnya membuat mata Liana memanas, "jika kau memang tak mau aku berada di dekatmu..., aku akan menjaga jarak. Tapi..., rumah ini..., membutuhkan keceriaanmu!"
Nicky sedikit memutar pandangannya, banyak yang ingin ia katakan. Tapi ia tak tahu bagaimana mengungkapkan semuanya, ia bukanlah seseorang yang pandai menunjukan perasaannya, maka iapun berdiri. Diam beberapa detik lalu melangkah menuju pintu. Liana memejamkan mata untuk menahan agar airmatanya tak jatuh. Nicky menghentikan langkah di sisi pintu yang masih terkatup rapat, ia menoleh, menatap wanita itu yang masih bergeming.
"Oya, boleh..., ku katakan sesuatu!" katanya, ia tak menunggu Liana menyetujui karena ia tahu wanita itu tak akan berbicara.
"Mungkin selama ini kau berfikir, pernikahan kita terjadi...atas keinginan kakek!" ucap Nicky, "kau tahu, kakek tidak pernah..., memaksaku untuk menikahimu. Pernikahan kita..., ada..., karena aku yang menginginkannya!" suara Nicky sedikit bergetar saat mengutarakannya, Liana melebarkan mata mendengar pengakuan suaminya.
"Karena aku menginginkanmu!" sambung Nicky, kini Liana mengangkat wajahnya perlahan, membalas tatapan suaminya. Dengan tatapan tak percaya, tapi ia melihat kesungguhan di mata berwarna sedikit keemasan itu.
"Karena..., aku mencintaimu!" ungkap Nicky. Liana tertegun di buatnya, dirinya sendiri tak pernah mengucapkan cinta pada Nicky, "aku juga tidak tahu sejak kapan aku mulai mencintaimu, mungkin..., sejak pertama kali kita bertemu. Atau..., sejak pertama kali aku menciummu. Entahlah..., tapi..., aku sangat tidak rela, melihatmu dekat dengan pria lain!" kediaman menyelimuti kembali untuk sekian detik.
"Jika aku tak pernah mengucapkan cinta padamu, bukan berarti aku tak mencintaimu..., aku hanya..., bukan seseorang..., yang mudah mengatakan hal itu. Dan jika sekarang..., itu tak berarti lagi bagimu, aku akan terima!" Nicky masih tak memindahkan tatapannya, dan ia juga tak mengerti arti dari mata Liana yang berembun, ia ucapkan itu hanya untuk sekedar Liana tahu. Lalu ia membuka pintu dan menghilang di baliknya setelah pintu kamar itu tertutup rapat kembali.
Liana memejamkan mata ketika buliran bening mengalir deras ke pipinya, semua yang Nicky ucapkan...,
* * *
Valent menggerutu geram menyaksikan berita kriminal di televisi, ia duduk di ruang tamu. Mencoba mengontrol emosinya, ketika terdengar suara langkah kaki mendekatinya, ia mengerling, ia tahu siapa yang datang.
"Bukankah sudah ku katakan, kau tidak boleh bertindak di luar perintahku!" hardiknya, orang itu menghentikan langkah. Valent bangkit dan menghampiri, ia segera mendaratkan sebuah tinju ke wajah orang itu, membuat wajah orang itu menyamping sejenak. Lalu terangkat kembali membalas tatapan Valent, "kau tahu apa yang di lakukannya, dia mengkhianati kita, Val!" sahutnya.
"Mengkhianatiku, tepatnya mengkhianatiku. Dan apakah kau juga akan mengkhianatiku dengan terus melawanku...," kesalnya dengan geram, "Rey!"
* * *
Nicky memandangi hamparan warna-warni bunga di taman belakang, mentari sore bersinar indah, sekumpulan kupu-kupu menari di atas bunga-bunga, mengingatkannya kepada kenangan sore itu. Dimana ia pertama kali berdansa dengan Liana di temani kupu-kupu, di tempat ini, itu adalah kenangan termanis yang tak akan pernah ia lupakan. Ia jadi tersenyum sendirian mengingatnya, tapi mungkin..., itu tidak akan terulang lagi.
"Ku pikir kau sudah lupa!"
Suara lembut itu membuyarkan lamunannya, ia memutar tubuhnya perlahan. Liana berdiri tak jauh darinya, tersenyum manis. Rambutnya terurai indah, apalagi angin sore menerbangkan helai-helainya, perlahan wanita melangkah mendekatinya. Berhenti tepat di hadapannya. Pandangan mereka terkunci. Hening. Tenang.
Hanya lirih angin yang bersuara, Nicky menatap mata lentik itu, sebuah tatapan yang pernah ia kenali dari wanita itu, tatapan yang ia rindui.
"Mau berdansa?" tanya Liana. Mata Nicky melebar. Apakah ia sedang bermimpi, dulu dirinya yang mengajak wanita itu berdansa di taman ini. Sekarang, wanita itu yang mengajaknya?
"A-apa?"
Liana tak memberi jawaban atau mengulang ajakannya, tapi ia segera memungut kedua tangan suaminya dan menaruhnya ke pinggangnya seraya merapatkan diri tanpa memindahkan tatapan lembutnya. Lalu ia taruh kedua tangannya di pundak suaminya. Kedua telapak tangan itu merayap hingga ke tengkuk lalu menyatu, mereka masih diam dalam posisi itu hingga sekian saat. Mata mereka saling tatap, hangat.
Perlahan keduanya mulai bergerak lembut, silir angin, gemerisik dedaunan, seolah menjadi nada-nada indah yang mengiringi gerakan mereka. Jika waktu itu adalah dansa termanis yang pernah ada, maka kali ini..., adalah dansa terindah yang pernah mereka rajut bersama. Setitik airmata jatuh dari pelupuk Nicky, tapi dari mata Liana, justru mengalir. Dan itu bukanlah airmata kesedihan, tapi kebahagiaan..., yang akan mereka ingat selamanya.
Â
__________• The End •__________
Â
• T.B.W.O.A Trilogi ~ The Wedding (second novel)
Â
Â
Cast :
• Roro Aliana Putri Kusumaningrum Suryo Aditomo (Liana)
• Nicholas Arleine Harris (Nicky)
• Rizal Irawan
• Jaya Saputra
• Ivana Randita Sanjaya
• Gail Anthonio Moires Robert (Anthony)
• Valentino Chiell Harris
Â
________________________________________________________________________
Â
• Next book ~ T.B.W.O.A Trilogi ~ Reckles (last novel)
Â
[ Liana berlutut di lantai dengan derai airmata di pipinya seraya memegang perutnya, ketika pria itu mengepalkan tinju untuk memberinya sebuah ancaman,
"Aku akan melakukan apapun yang kau mau, tapi aku mohon..., jangan sakiti bayiku!"
"Apapun, benarkah?"
Seulas senyum iblis tersungging di bibirnya ketika Liana hanya bisa mengangguk. ]
Â
Terima kasih untuk para admin K yang memberi kesempatan novel ini publish di sini, juga untuk para sahabat K yang sudah setia menyimak novel ini dari awal hingga akhir. Cuplikan novel ketiga dikit ajah yah!
Salam fiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H