Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Mengidap AIDS

16 Maret 2016   21:08 Diperbarui: 16 Maret 2016   21:19 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bunga Camelia, indonesiabunga.blogspot.com"][/caption]

 

Gerimis...,

Lihatlah, bekas hujan semalam. Sembab, becek, tapi entahlah..., aku justru suka menikmati sisa-sisa hujan yang merintik. Menurutku, itu indah!

Ku terabas rintik gerimis yang mulai memudar, membiarkan mentari bersinar sendu. Ku tapaki jalanan becek yang terdapat beberapa genangan air hujan sampai di penghujung gang. Ah..., disini aku tak bisa melihat pelangi. Tak seperti tempatku dulu. Tapi setidaknya, disini..., aku bisa kembali menata hidupku.

Seperti biasa ku cegat taksi di halte ini, untuk mengantarku ke tempat tujuan. Awalnya, aku tak terlalu memperhatikan. Tapi setelah ku amati wajah si sopir taksi itu tidak asing. Aku seperti pernah melihatnya, lalu ku lihat tanda pengenal yang terdapat di atas dashboard.

Hizam Tri Wahyudi

Nama yang bagus, menurutku. Dan dia lumayan tampan, kisaran usianya mungkin baru di awal tiga puluhan. Pria yang menuju kematangan, menurutku juga.

"Kok siangan mbak, biasanya lebih pagi!" sapanya, kenapa dia bicara seperti itu. Apakah selama ini dia memperhatikanku? Memang sih, setelah ku ingat-ingat..., sering sekali aku naik taksinya dia. Entah kebetulan atau dia tahu jadwalku!

"Iya, tadi ada urusan sama tetangga. Sepertinya hafal sama saya, sengaja ya?"

Dia menyunggingkan senyum manis, "kan mbak sering naik taksi saya di jam yang sama, jadi saya sedikit hafal!" sahutnya, "oh..., kamu sendiri..., kenapa bisa sama-sama siang. Jangan-jangan, kamu menguntit saya ya?" curigaku. Dan ku rasa itu wajar.

"Saya bangun kesiangan mbak, semalam nggak bisa tidur!"

Setelah itu tak ada perbincangan lagi sampai ke toko bunga, meninggalkan taksinya aku langsung memasuki toko bunga itu yang Ika Dan Desy sudah mulai sibuk. Mereka memang tidur disana berhubung mereka berasal dari luar kota, sama sepertiku. Dulu.

Dari balik meja kasir aku menatap keluar, dan taksi itu masih bergeming. Di tempatnya menurunkan aku, bisa kurasakan pria itu menatap ke arahku. Aku tak bisa berfikir kenapa dia masih ada di sana dan belum bergerak! Ataukah mungkin..., selama ini dia sengaja mengikutiku?

Aku pun terpaksa harus mengawasinya, hingga pria berseragam armada taksi itu keluar dari kendaraannya lalu berjalan masuk ke toko bunga. Ia melihat-lihat beberapa bunga, perhatiannya jatuh pada sekumpulan bunga Camelia. Lama ia memandangi bunga itu, sesekali matanya akan ia lirikan ke arahku. Entah apa yang ada dalam benaknya!

Ika menghampiri dan bertanya, ia bilang ia tak mau membeli bunga itu. Tapi ia justru bertanya dimana ia bisa mendapatkan bunga itu tanpa harus membelinya!

Pertanyaannya itu membuat Ika kesal. Aku sempat mendengar gumanan Ika yang berjalan menjauhinya, "kalau tidak mau beli ya jangan tanya ini-itu, pakai tanya harganya berapa segala!" aku tersenyum mendengar ocehan Ika yang lirih itu.

Ku lihat dia masih berdiri di sana memperhatikan bunga Camelia itu, dan masih sama-sama. Sesekali aku mempergoki matanya mencuri ke arahku. Apa maksudnya?

Ku hampiri saja dia, "maaf mas, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. Ia tidak terlonjak, karena mungkin memang sudah mengetahui keberadaanku.

Ia menolehku.

"Toko bunga ini milik mbak?"

"Bukan, toko ini titipan!"

"Ouh!" ia sedikit mangut-mangut, lalu menatapku. Dan ku balas tatapannya.

Sejak itu dia sering mampir ke toko bunga, walau hanya melihat-lihat saja. Bahkan kami sering ngobrol dan menjadi akrab, itu juga karena aku menjadi langganan tetap taksinya. Kalau mau kemana-mana, aku tinggal menelponnya dan dia akan datang. Otomatis.

* * *

Ku sedot es teh tarik di gelas plastik dalam genggamanku, di jok depan. Di sampingku, Hizam, sedang menyetir. Entah sejak kapan aku jadi duduk di jok depan setiap naik taksinya!

"Oya, aku ketinggalan sesuatu tadi pagi. Kita mampir rumahku dulu ya!" katanya, dan entah sejak kapan juga kami jadi pakai aku, kamu.

"Iya, tidak apa-apa!" sahutku, dan ternyata kami memang sudah berhenti di samping rumah seseorang. Mungkin rumahnya, ia turun dari taksi dan membuka gerbang kecil di dinding tembok yang berada di depan rumah itu. Gerbang itu tak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar 1,5 meter.

Karena cukup lama, akhirnya aku penasaran untuk ikut turun dari taksi, pintu besi di gerbang tembok itu hanya selebat satu meter,masih terbuka setengah. Ku masukan diriku menembusnya, tubuhku langsung terpaku. Membatu seketika.

Ku celingukan mataku menyapu seisi halaman rumah sederhana itu. Rerimbunan bunga Camelia dengan berbagai warna langsung menyambut kedatanganku, harumnya semerbak. Jadi, inikah bau harum yang sedari tadi menggelitik hidungku? Aku hanya diam menatapi mereka hingga sebuah suara membuat tubuhku melonjak.

"Kenapa ikut turun?"

Ku temukan wajahnya ketika menoleh, ku tatap ia dengan kilatan tak percaya memenuhi kolam mataku. Dan ia membalasnya dengan tenang.

"Zam, kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu punya taman bunga Camelia?"

Ia tersenyum dengan tawa merdu yang mengintip, pertanyaanku terasa bodoh ku rasakan sendiri. Membuat wajahku menjadi panas.

"Kamu nggak pernah tanya?"

"Tapi kenapa Camelia?"

"Karena aku jatuh hati pada Camelia!"

Deg!

Tubuhku kian membantu. Apa maksudnya?

"Berhubung kamu sudah tahu, dan berada di sini. Aku...," dia memotong kalimatnya, dan aku diam untuk menunggu apa yang akan ia ucapkan.

Tiba-tiba saja ia berlutut di depanku, membuatku sontak melangkah mundur satu langkah. Menatapnya yang mendongak menatapku. Lalu ia tarik tangan kanannya yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya.

Dan apa yang ku lihat?

Sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah, kotak itu terbuka seketika. Menyempulah sesuatu di dalamnya, sekuntum bunga Camelia mini berwarna merah.

Sebuah cincin.

Cincin bunga Camelia.

Dan itu..., indah sekali. Aku sampai menganga dan tak mampu mengedipkan mata. Lalu ku tarik pandanganku dari cincin itu ke wajahnya.

"Menikahlah denganku!" pintanya. Tubuhku kian terpaku. Menatapnya tak percaya, sementara ia masih diam berlutut menunggu jawabanku. Dan apa yang harus ku jawab?

Mataku tiba-tiba saja terasa panas dan meleleh. Tapi tak ku ucap sepatahpun, aku hanya berbalik lalu berlari meninggalkannya. Di tengah perjalanan ku cegat taksi lain, aku tak jadi pergi ke toko bunga. Aku langsung kembali ke rumah saja. Ku telepon Ika dan ku beritahu padanya bahwa aku tidak enak badan. Sebenarnya, perasaanku yang tidak enak!

Ku lihat layar hpku yang terdapat begitu banyak misscall dari Hizam, juga beberapa sms dan pesan WA. Tak ada yang ku balas. Mungkin, aku jahat!

Setiap pagi aku pergi ke toko bunga lebih pagi, naik ojek. Ku hindari ia ketika ia menungguku pulang dan meminta penjelasan kenapa saat itu aku menangis dan tak memberi tanggapan apapun? Hingga akhirnya ia harus mengetuk pintu rumahku suatu malam.  

Aku diam terpaku di ambang pintu, menatapnya yang menatapku penuh harap.

"Kamu belum menjawabku, setidaknya..., beri aku penjelasan kenapa kamu tiba-tiba berubah sikap?"

"Aku..., aku cuma mau kamu jauhin aku mulai sekarang!"

"Kenapa begitu, kalau kamu nggak menerima lamaranku. Kita masih bisa berteman, nggak perlu harus putus silaturahim!"

"Karena emang nggak seharusnya kita deket!"

"Kalau begitu beritahu aku alasan yang pasti!"

Kami diam cukup lama. Ku lihat matanya penuh dengan pengharapan, juga ketulusan. Tapi aku tak bisa. Tidak!

Akhirnya ku buka suara.

"Aku mengidap AIDS!" sahutku. Kediaman kembali menjelma, dia menatapku dengan kilatan yang tak bisa ku terka. Lalu ku tutup pintu tepat di depan wajahnya. Aku diam beberapa saat di pintu, aku yakin, ia pun masih diam di depan pintuku cukup lama.

* * *

Suatu pagi ketika ku buka pintu rumah, ku dapati sepohon bunga Camelia berwarna pink di dalam pot cantik. Aku celingukan dan tak menemukan siapapun, tapi rasanya aku tahu bunga itu dari siapa. Jadi ku pungut lalu ku taruh di tepi teras. Keesokan harinya kembali ku temukan sepohon bunga Camelia, kali ini berwarna kuning, lalu berlanjut ke hari-hari berikutnya sampai teras di rumahku penuh dengan pot-pot bunga Camelia. Terasku tiba-tiba saja berubah menjadi taman bunga Camelia berwarna-warni yang indah.

Hingga hari itu yang ku temukan hanya sepucuk surat, tentu saja ku pungut surat itu. Tapi tidak langsung aku baca, ku simpan dulu dan ku baca di malam harinya sebelum tidur.

Dear... Camelia...

Ku tulis coretan ini karena aku tidak tahu lagi bagaimana bisa mengungkapkan isi hatiku, kamu tidak mau lagi berbicara denganku dan memutuskan silaturahim kita secara sepihak. Kamu tahu, itu sungguh tidak adil! 

Aku sungguh merasa tersiksa kamu diamkan seperti ini, saat mata kita bertemu..., aku tahu kamu pun memiliki perasaan yang sama. Lalu kenapa hanya karena sebuah ujian yang Tuhan berikan padamu, kamu harus mematahkan hatimu dan hatiku? 

Kamu tahu, saat kita mencintai seseorang..., kita harus mencintai segala kekurangannya. Dan seperti itulah, aku mencintaimu! 

Aku mencintai segala yang ada pada dirimu. 

Dan aku ingin selalu mencintai segala yang ada pada dirimu. 

Itu saja! 

 

Yours... Hizam 

 

Ku biarkan buliran bening menjebol mataku. Itu adalah kata-kata terindah yang pernah ku tahu yang di tujukan padaku seumur hidupku. Ku biarkan hening malam ramai dengan isak tangisku, tangis..., yang aku sendiri tak tahu maknanya. Mungkin itu tangis bahagia, karena ada seseorang yang tetap ingin mencintaiku meski mengetahui keadaanku. Mungkin juga itu tangis kesedihan, karena pria yang mencintaiku dengan tulus adalah seorang pria baik dan santun, dia tak pantas mendapatkan aku. Atau tangis itu..., entahlah...

* * *

Hari ini aku mencegat taksi di tempat biasa, karena aku tahu, Hizam pasti akan lewat. Dan sudah pasti itu benar, jantungku berdegup kencang tak karuan ketika aku mengenali nomor polisi taksinya, dan juga sang pengemudi di balik setir itu. Aku langsung menenggelamkan diriku di jok depan. Taksi itu diam tak bergerak.

Pandanganku lurus ke depan, tapi aku tahu Hizam sedang menatapiku dengan penuh tanda tanya. Kami diam cukup lama. Membiarkan keheningan berbicara. Dan menguasai keadaan. Tapi tak akan ku biarkan berlangsung lebih lama lagi.

"Delapan tahun yang lalu!" kataku memulai berbicara, "saat itu, aku sudah kelas tiga SMA. Ada beberapa mata pelajaran yang nilaiku cukup lemah, salah satunya Matematika. Kamu juga tahu kan, matematika cukup berpengaruh pada kelulusanmu. Kepala sekolahku, pak Lubis. Adalah guru matematika kelas tiga!" aku terdiam sejenak, "hari itu..., dia memanggilku ke ruangannya. Katanya dia bersedia..., membantuku agar bisa lulus dengan nilai yang baik. Dia menyuruhku datang ke rumahnya sore itu, dan aku menyanggupi!" ku sungggingkan senyum kecut di bibirku,

"Ku pikir..., pak Lubis akan memberiku les tambahan di rumahnya. Jadi sore itu aku datang dengan semangat, tapi apa yang terjadi...," buliran bening mulai ku biarkan jatuh berserakan di pangkuanku, "dia memaksaku melayani nafsu bejatnya, aku menolak dan mencoba melarikan diri___tapi ternyata..., dia tak sendiri di rumah itu. Ada seorang temannya yang aku tak pernah melihatnya, orang itu membantunya. Mereka mengikatku di ranjang...," ku rasakan pundakku berguncang, "pak Lubis berkata padaku, bahwa dia sudah lama menyukaiku, sayangnya..., dia sudah beristri...!" ku tutup mulutku dengan telapak tangan lalu menyeka airmataku sendiri, rasakan nafasku sudah mulai sesak dan tak sanggup lagi meneruskan ceritaku.

"Mereka melakukannya secara bergilir___dan aku hanya bisa pasrah, bahkan Tuhan yang amat aku cintai..., tidak mengirim seorangpun..., untuk menolongku!" ku biarkan tangisku kembali pecah, "aku hancur... tapi tidak akan ada yang percaya..., karena Pak Lubis..., di kenal baik dan santun di tempat kami. Aku hanya bisa diam, sampai hari kelulusan!" kembali ku seka airmataku. Lalu aku diam cukup lama untuk bisa menghirup nafas dengan lega.

"Aku memang lulus, meski aku yakin..., sebenarnya ada mata pelajaran yang harusnya membuatku tertahan. Pak Lubis menepati janjinya, meluluskanku. Jadi, ku anggap saja itu impas. Meski dalam hati aku tetap tidak rela. Tapi aku mencoba melupakan hari itu. Di saat aku mulai bisa menata hidupku, melupakan peristiwa itu, memiliki seorang kekasih dari satu fakultas yang sama dan berencana menikah setelah lulus. Aku mengalami kecelakaan kecil, dan dari kecelakaan itu..., kami..., mengetahui..., bahwa aku terinveksi HIV!"

Hizam menatapku dalam, dan ku balas tatapan itu, "kekasihku menyebutku wanita jalang, dan bertanya siapa saja yang pernah meniduriku. Dia bahkan berfikir..., bahwa aku sering menyelingkuhinya di belakangnya___dia meninggalkan aku, dengan semua caci maki. Dan keluargaku..., tak ada yang percaya padaku saat ku katakan bahwa pak Lubis yang telah memperkosaku sewaktu SMA. Tentu saja, mereka tidak percaya. Karena pada kenyataannya, pak Lubis tidak mengidap AIDS. Warga desa mengusirku, begitupun keluargaku___" ku hirup udara melalui hidungku, "aku sempat ingin mengakhiri hidupku, jika saja..., bu Ani tidak menemukanku di pinggir sungai saat aku hendak melompat. Beliau mengajariku banyak hal, hingga membuatku bertahan..., sampai detik ini. Beliau yang bukan siapa-siapaku...," ku rasakan buliran bening kembali menggenang di pipiku.

"Sekarang kamu sudah tahu, aku bahkan sudah kotor. Lebih baik kamu anggap kita nggak pernah ketemu dan...," mulutku terbungkam ketika telunjuk Hizam merapat di bibirku, "kamu sudah baca suratku kan?" tanyanya. Aku tak menjawab, tapi ya, aku memang sudah membaca suratnya.

"Lalu kenapa kamu masih ragu, kamu satu-satunya wanita yang aku inginkan untuk menjadi istriku!"

"Pikirkan nama keluargamu!" sahutku menyingkirkan telunjuknya, "mereka tidak akan tahu!" sahutnya pula. Aku menggeleng pelan,

"Aku tidak mau ada kebohongan!"

"Tidak harus memberitahu, bukan berarti berbohong. Camelia..., bersediakah kamu menikah denganku?" pintanya sekali lagi. Dan lagi. Aku hanya diam terpaku menatapnya. Janjinya begitu menggodaku. Aku juga mencintainya.

Aku mencintainya.

Aku juga ingin bisa hidup hersamanya.

Tapi keadaanku tidak memungkinkanku untuk menerima lamarannya. Tapi...,

 

__________o0o__________

 

Sountrack ~ Ku Cintai Kau Apa Adanya By Once

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun