Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Broken Wings of Angel-The Wedding #Part 18

28 September 2015   23:43 Diperbarui: 30 September 2015   14:06 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya, The Wedding #Part 17

 "Ini anakmu, anak kita!"

Pengakuan Ivana seperti sebuah petir menggelegar, menyambar-nyambar, mencabik hati Liana. Ia memandang bocah balita yang ada dalam gendongan Ivana, bocah tampan yang bertampang setengah bule itu memang sedikit mirip Nicky. Tubuh Liana membatu, tetapi lututnya gemetaran tak terkendali, rasanya ia mau roboh.

Nicky menggeleng pelan, "jangan main-main Ivana!" desisnya, "jika kau ingin tes DNA, aku juga siap!" tantangnya, Nicky melotot dengan keberanian Ivana.

"Apa kau tak bisa melihatnya, Nicky. Bukankah Nino cukup mirip denganmu!" desisnya dengan mata berkaca, Nicky melirik bocah itu. Di lihat dari usianya, itu mungkin saja. Sudah hampir dua tahun dirinya berpisah dengan Ivana, ada kemungkinan Ivana sedang hamil saat dirinya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, tapi....Nicky masih ingin menampik hal itu.

"Bagaimanapun, Nino membutuhkan ayahnya. Suatu saat dia akan masuk sekolah, dan dia membutuhkan namamu sebagai ayah kandungnya. Apa kau tega...., membiarkannya tumbuh tanpa status yang tak jelas?" kini buliran bening mengalir di pipinya.

Liana merasa kepalanya pusing dan tubuhnya mulai limbung, Nicky segera menangkapnya agar tak terjerembat ke lantai. Menuntunnya dan membantunya duduk di sofa, "kau tidak apa-apa?" tanya Nicky cemas. Liana menggeleng pelan. Ivana ikut duduk, memangku putranya yang mulai mengantuk. Dia menidurkannya di pundaknya seraya menepuk-nepuk halus punggung bocah itu.

Nicky meliriknya, lalu menatapnya dalam, "kenapa selama kau tak pernah memberitahukanku jika memang itu anakku, kenapa baru sekarang?" geramnya,

"Awalnya ku pikir aku bisa merawatnya sendirian, tapi....aku sadar kalau Nino juga membutuhkan ayahnya!"

"Nino, itu namanya?"

"Arleinino!"

Nicky tercengang, Arlein adalah nama tengahnya, Ivana bahkan memberikan nama tengahnya untuk anak itu. Liana melirik wajah suaminya yang sepertinya mulai mengakui hal itu.

* * *

Nicky meminta Ivana untuk pulang terlebih dulu, ia dan Liana masih membutuhkan waktu untuk menerima semua itu. Terutama dirinya, ia sungguh tak berfikir untuk punya anak di saat seperti ini, apalagi jika tiba-tiba anak itu sudah langsung muncul berupa bocah.

Liana termenung duduk di atas ranjang, Nicky menghampirinya dan duduk di sampingnya. Baru saja mereka mendapatkan kehangatan di antara hubungan mereka kini muncul lagi masalah.

"Kau marah padaku?" tanya Nicky, "sejak tadi....kau bahkan tak mengucap apapun. Liana....!"

"Untuk apa aku harus marah," sahutnya, "kita sama-sama mengetahui hal ini hari ini, tapi....." Liana terdiam kembali, ini memang berat. Tiba-tiba saja di hadirkan seorang bocah yang di nyatakan sebagai anak Nicky, itu tak terlalu bermasalah, tapi yang akan jadi masalah adalah ibu dari anak itu, Ivana. Ivana jelas masih sangat menginginkan Nicky, Liana tahu itu, dengan atau tanpa adanya Nino. Bahkan wanita itu sudah pernah memberikan ancamannya kepada dirinya, dan sekarang....dengan adanya Nino, mungkin akan semakin mudah bagi Ivana untuk menyingkirkan dirinya dari sisi Nicky.

"Sejujurnya aku belum siap!" desis Nicky, Liana menolehnya seketika, "untuk menjadi seorang ayah!" lanjutnya, seperti ada ketakutan di dalamnya. Dan Liana melihat itu dimatanya, Nicky mengalihkan pandangannya, bangkit dan berjalan ke jendela. Menatap kehampaan di luar sana, "aku takut...., aku tidak akan bisa menjadi seorang ayah yang baik!" akunya, Liana tertegun.

Sebagian besar pria akan sangat menantikan kapan bisa menjadi ayah, karena menjadi seorang ayah adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi para pria, sama halnya kebahagiaan seorang wanita ketika menjadi ibu.

"Kenapa kau bicara seperti itu?"

"Aku hanya takut...., aku akan seperti papa!"

Liana terhenyak, kakek Willy memang pernah bercerita tentang orangtua Nicky. Hal yang membuat Valent harus membelot, hal yang membuat Nicky bahkan seperti tak memiliki orangtua.

"Itu adalah hal yang paling aku takutkan, jujur....untuk menjadi seorang suami saja aku takut!" aku Nicky dengan suara tertahan, Liana makin tercengang mendengarnya, "jika kakek pernah cerita padamu, kau pasti tahu....bagaimana orangtuaku, jika akhirnya Valent seperti itu....aku tidak menyalahkannya. Karena mungkin....rasa benciku lebih besar dari Valent!" ada rasa pedih dalam suaranya, ia mengeraskan rahangnya untuk menahan tangis.

"Aku tak siap jadi ayah...., karena aku takut.....di benci anak-anakku juga!"

Mendegar itu buliran bening mengalir deras dari mata Liana, ternyata Nicky tak sekuat kelihatannya. Bahkan dia begitu rapuh, tapi pantas jika dia merasa seperti itu. Orangtuanya bermasalah, kakaknya juga bermasalah, tentu saja itu juga menciptakan sebuah trauma dalam dirinya. Liana meluncur dari ranjang, berjalan perlahan menghampiri suaminya. Dengan langkah Liana yang sedikit terseret Nicky tahu istrinya berjalan ke arahnya. Tapi, sungguh di luar otaknya, Liana melingkarkan lengannya di tubuhnya dari belakang, menempelkan pipinya di punggungnya. Nicky melirik tangan istrinya di perutnya. Untuk detik yang cukup lama, mereka menikmati posisi itu.

"Kau lihat kakek?" desis Liana, Nicky diam tak menyahut, "kakek adalah orang yang sangat baik, dia juga mampu menjadi ayah sekaligus seorang kakek yang baik. Aku yakin....kaupun bisa seperti itu, bahkan mungkin lebih baik!" kata Liana mencoba menghiburnya, tapi itu tak hanya sekedar hiburan. Ia tahu Nicky memiliki hati yang baik, ia percaya Nicky benar bisa menjadi seorang ayah yang baik. "kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri!"

Setitik airmata menetes di pipi Nicky, ia menyunggingkan senyum kecil mendengar ucapan istrinya. Ia juga berharap bisa begitu, tapi entahlah.....

* * *

Mela membenahi gaunnya di depan cermin, meluruskan bagian bawahnya dengan telapak tangannya berulang-ulang, saking asyiknya ia tak sadar ada dua buah mata yang memperhatikannya terus. Bahkan ketika orang itu melangkah ke arahnya, "you're so perfect!" bisiknya.

Mela melonjak, "hahhhhh....," lalu mendengus kesal, "kau mengagetkanku!" Daren tertawa lembut, ia melirik kaca di depan mereka, "ku rasa kita benar-benar serasi," desisnya di pipi Mela lalu mengecupnya, Mela tersenyum.

"So, when your parent will come?"

"As fast as they're can!"

"Tak cukup memuaskan!"

"Mereka sibuk, dear!"

Mela menoleh, kini mereka berhadapan, "kau tahu, rasa cukup aneh aku akan memiliki mertua yang hanya bisa ku temui setahun sekali!"

"Jika kau bersedia bulan madu di California, kau bisa lebih dekat dengan mereka untuk beberapa minggu!"

"Akan ku pikirkan!" sahut Mela sedikit memasang ekspresi sombong, tapi Daren tahu kebenarannya, itu sebabnya ia melebarkan senyum. Tapi mereka di kejutkan dengan suara dering hp yang menggema, suara itu berasal dari tas Mela, ia pun segera berjalan menuju tasnya tergeletak secara hati-hati karena tak mau merusak gaunnya. Ia segera menemukan hpnya, membukanya, lalu memandang Daren.

"Tari!" desisnya, Daren mendekat saat Mela mengangkat panggilan itu, "iya Tar!" suara Tari di ujung sana masih di penuhi isak tangis, ia berbicara terbata.

"Apa maksudmu?"

.....

"Ok, kau tenangkan dirimu dulu. Kami akan segera ke sana!"

"Ada apa?" tanya Daren setelah sambungan telepon terputus, "kita harus kembali ke rumah sakit, sepertinya.... Tari tahu sesuatu, tapi dia hanya mau berbicara dengan kita!"

"Apa!"

"Mungkin ada baiknya kita hubungi Nicky," usul Mela, "ku rasa Nicky juga mau mendengarnya secara langsung!" tambahnya, "ok, kau ganti pakaianmu. Biar aku yang hubungi Nicky!"

Nicky sedang di taman bunga menemani Liana menyiram tanaman warna-warni itu, ia memandangi istrinya seraya duduk di kursi. Beberapa kupu menari di atas kuntum-kuntum indah yang mekar, mengingatkan Nicky pada kenangan yang pernah tercipta di tempat itu. Perlahan senyum mengintip di ujung bibirnya, setelah pembicaraan tadi mereka memang memutuskan untuk melepas jengah di tempat itu, Nicky bahkan membantu Liana menyiangi dedauan yang sudah menguning. Dan karena hal itu jarinya sempat tertusuk duri mawar, Liana mengulum telunjuknya dan menyedot darahnya seperti yang biasa di lakukan seseorang ketika jemari pasangannya tertusuk benda tajam atau tergores pisau. Dan jujur, sebenarnya itu sempat membuat darah Nicky mendesir indah, hanya saja Liana menghentikan aksinya setelah di rasanya darah sudah tak keluar lagi dari luka itu. Itu membuat Nicky sedikit menggerutu dalam hati, tapi ia tak bisa marah saat ini.

Dering hp di sakunya membuatnya terhenyak dan harus mengalihkan pandangannya dari istrinya, "Daren!" desisnya lirih, iapun mengangkat panggilan itu.

"Yes, Daren!"

"Nicky, ku rasa kau harus datang ke rumah sakit. Ada sesuatu hal yang sangat penting mengenai Rafi!"

"Sepenting itukah hingga aku harus terjun?"

"Yep!"

"Ok, I'll be there!"

Nicky bangkit dari duduknya dan menghampiri Liana, "maaf, kurasa aku harus pergi!" katanya, "kemana?" tanya Liana yang penasaran.

"Terjadi sedikit masalah dengan salah satu karyawanku,"

"Aku melihat berita di tv, kau tak perlu menyembunyikannya dariku. Itu tentang dia kan?" seru Liana yang membuat Nicky sedikit terkejut, "tak apa, pergilah, tapi hati-hati ya. Mungkin saja.....pelakunya juga mengincarmu!"

"Jangan khawatirkan itu, aku tidak pergi sendiri!"

Liana tersenyum, Nicky memandangnya dalam. Sebenarnya saat ini ia tak mau berpisah dengan istrinya, ingin menikmati detiknya karena ia tak tahu apa yang akan terjadi besok.

"Kalau begitu kurasa kau tak mau membuat temanmu menunggu terlalu lama!" kata Liana membuyarkannya, Nicky menyunggingkan senyum, "itu Daren dan Mela, mereka akan mengatasinya lebih dulu sebelum aku sampai!"

"Ouh...., kebetulan sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan tentang mereka. Tapi ku rasa bukan sekarang waktu yang tepat!"

"Ok, aku....pergi dulu!"

Liana mengangguk. Tapi rasanya Nicky sungguh berat ingin melangkahkan kaki, meski begitu ia tetap menyeret langkahnya meninggalkan taman bunga.

* * *

Tari duduk di sebuah ruangan, tubuhnya sedikit gemetaran, ia masih ingat betul percakapannya dengan Rafi semalam. Airmata terus saja membanjir di pipinya, ketakutan Rafi menjadi kenyataan, dan ia akan merasa bersalah jika tak memberitahukan atasannya tentang hal itu.

Tari duduk di sebuah kursi, dari kaca jendela di dinding ia bisa terlihat dari kuar, ada dua polisi yang bersamanya, menjaganya.

Mela dan Daren turun dari mobil dan langsung menuju ke dalam, tapi hampir semua orang di kejutkan dengan suara pecahan kaca yang membuat dua polisi di dalam ruangan itu kaget dan langsung mencabut senjata apinya memperhatikan seisi ruangan, mereka melihat kaca yang yang pecah berserakan di lantai.

Beberapa polisi yang berada di luar juga berhambur ke lokasi seketika, "Daren, ada apa itu?" seru Mela, Daren hanya mengangkat bahu lalu keduanya setengah berlari menuju tempat beberapa polisi yang berlari. Mereka mengikutinya, dan begitu sampai di ruangan, mereka di kejutkan oleh hal yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Tubuh Tari tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir dari sisi kepalanya yang berlubang. Keduanya tercengang, dan hanya mampu terpaku menatap mayat Tari.

* * * * *

• T.B.W.O.A ~ The Wedding (second novel)

The Wedding #Prologue

The Wedding #Part 19

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun