Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #33 ; Aku Iklas, Tapi Kenapa Rasa Sakit Ini Tak Mau Pergi

10 September 2015   20:18 Diperbarui: 10 September 2015   20:18 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alisa termenung di dalam selnya, dingin malam kian merebak, menusuk hingga ke sumsum otaknya. Ia sudah meyakinkan dirinya untuk menerima semua ini, tapi entah...kenapa hatinya selalu berontak. Impiannya bukanlah di sini, terperosok ke sini, impiannya ada di luar sana.

Tapi mungkin itu hanya sebuah mimpi, dan akan tetap jadi mimpi, yang hanya bisa bermain di angan-angannya saja. Karena sekarang ia sadar dimana dirinya berada, rasa nyeri kembali menyerangnya di bagian perutnya, ia menutupkan telapak tangannya di sisi perutnya bagian kanan. Terasa sakit saat tersentuh, belakangan lukanya cukup memburuk, dan membuatnya mulai lemah, bahkan sekarang berat badannya juga lumayan menurun. Tubuhnya yang sudah slim sebagai balerina kini jadi bertambah slim. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi sungguh tak mampu. Dinding-dinding pekat menatapnya perih, membuatnya semakin nyeri.

Ruangan rumah sakit tempat Nadine berbaring terasa sepi, wanita itu masih terbaring di ranjang yang sempit, menelentangkan tubuhnya yang molek, di atas sofa terdapat Ratna tertidur pulas. Suaminya Pasha memejamkan mata dengan tubuh di kursi, menelonjorkan kakinya ke depan, kedua lengannya terlipat di dadanya. Selama ini mereka selalu berjaga bergantian dengan Ridwan dan Dewi, untuk berjaga-jaga kalau saja Nadine membuka mata, setidaknya ada seseorang di sisinya.

Jemari Nadine kembali tergerak, kali ini bukan satu gerakan, tetapi beberapa gerakan kecil, dan itu tak hanya terjadi sekali, melainkan beberapa kali. Dan kembali, hanya ranjang dan selimut yang menjadi saksi, menyaksikannya mulai menemukan kembali jiwanya yang telah lama mengembara entah kemana. Sebuah hembusan nafas panjang juga melenguh dari dadanya, tetapi matanya masih terkatup rapat seolah kelopaknya tak mau memencar.

Di sisi lain, Lucas duduk di balkon apartemennya memandangi kerlip lampu perkotaan di dalam keremangan. Lalu-lalang kendaraan yang masih sibuk di jalanan, sudah tentu angannya melayang kepada wanita yang sekarang sedang meringkuk di dalam sel pengap atas dosa yang tak pernah di lakukannya.

Ia tak menyesal mengukuhkan hatinya untuk wanita itu meski ia tahu ia hanya bisa bertepuk sebelah tangan, lihatlah....dia terlihat seperti bidadari yang angun. Dalam keadaan terpojokpun dia masih memikirkan orang lain, masih peduli pada orang lain, dan lebih memilih sebuah derita demi melindungi orang yang keadaannya lebih lemah dari dirinya. Bagaimana dia sekarang, sudah hampir dua minggu sejak kunjungannya yang terakhir, ia tak pernah melihatnya lagi karena wanita itu tak mau menemui siapapun. Setiap hari dirinya datang menitipkan sesuatu, dan yang ia temui hanyalah para penjaga lapas. Padahal ia ingin sekali melihatnya, mungkin memeluknya jika di perbolehkan. Tanpa terasa ada sesuatu yang hangat yang ia rasakan di lengannya, sesuatu yang basah, itu airmatanya, yang jatuh tanpa di sadarinya.

Begitupun keadaan di dalam rumah Ridwan, ia duduk termenung di depan kolam renang. Hampir semua orang di malam itu tak mampu memejamkan mata, untuk saat ini ia belum mampu menata hatinya. Di malam-malam seperti ini ia sungguh merindukan Alisa, anehnya....yang ia harapkan sekarang di sisinya adalah wanita itu, bukan Nadine! Tapi bukan berarti ia tak menginginkan Nadine. Ia juga mencintainya, cukup mencintainya, tapi ia sadar akan sesuatu....

Mengingat mata sembab Alisa ternyata sungguh membuat dadanya sesak, ingin rasanya ia menemuinya, memeluknya dan memberitahukannya betapa dirinya sangat mencintainya. Tapi apakah sekarang pantas?

* * *

Karena tak bisa memejamkan mata maka Alisa memilih untuk solat malam, menangkan hatinya agar dirinya benar-benar bisa menerima semua ini dengan iklas.

Buliran bening mulai kembali mengucur di pipinya, ia tak ingin menangis, tetapi luka di dadanya tak mampu ia seka. Justru semakin hari semakin sesak rasanya, "Ya Allah, engkau tahu apa yang terbaik untukku....., aku sudah mengiklaskan semua ini pada-MU," katanya terisak,

"Aku iklas....., tetapi kenapa rasa sakit ini tak mau pergi...., engkau tahu aku tidak bersalah, engkau mengetahui semuanya...., tolong bantu aku...., tolong aku untuk mengiklaskan semuanya!" isaknya pedih, ia menutupkan kedua belah telapak tangannya ke wajahnya.

Isakannya membuat Dwi yang satu sel dengannya terbangun, ia duduk dengan kesal, sebenarnya ia mendengarkan semua yang di ucapkan Alisa dalam do'anya. Ia menatap wanita yang masih mengenakan mukena putih itu dengan matanya yang masih sayu.

Entah sejak kapan, sejurus kemudian Dwi sudah duduk di samping Alisa, "kaya'nya kamu tenang banget tadi pas solat?" desisnya, seketika Alisa menyingkirkan tangannya dari wajah, menatap teman satu selnya itu. 

"Sori, tadi aku denger semua yang kamu ucapin saat berdoa. Jadi....kamu nggak melakukannya, maksudmu....bukan kamu yang menusuk temanmu itu?"

Alisa tak menjawab,

"Tapi kenapa kamu membiarkan dirimu sampai di sini, kalau aku jadi kamu aku pasti akan melawan. Setidaknya membuktikan kalau diriku nggak bersalah!"

"Saat itu posisiku tidak memungkinkan!"

"Tapi bukan berarti kamu harus diam kan, kamu nggak sepantasnya ada di sini. Apalagi sampai seumur hidup!"

Ternyata Dwi baik juga. Alisa tersenyum padanya, "terima kasih ya, tapi aku nggak apa-apa kok!" sahutnya, "aku doakan semoga kebenaran akan segera terungkap, dan kamu bisa bebas!"

"Terima kasih ya, ternyata kamu baik sekali!"

"Ya....selama di sini, aku lihat kamu nggak pernah berbuat ulah sih. Maafin aku ya, kalau kemarin-kemarin iseng!"

"Nggak apa-apa kok, sebelum kamu minta maaf aku juga udah maafin kamu!"

"Ya udah, kita tidur yuk. Besok kan harus bangun pagi!" ajak Dwi beranjak kembali ke tempatnya, Alisa melepas mukenanya dan melipatnya, lalu iapun kembali ke tempatnya, membaringkan tubuhnya di sana dan memaksa matanya untuk terpejam.

Semua sudah bangun, tetapi Alisa masih merengkuk di tempatnya. Itu aneh, karena biasanya ia yang paling awal bangun untuk solat subuh. Dwi memandang punggungnya yang terbaring miring, terlihat pundaknya seperti berguncang pelan tapi tanpa henti. Dwi yang penasaranpun menghampirinya, jongkok di belakanganya,

"Alisa, ayo bangun!" ajakanya, tetapi tak ada tanggapan. Apakah dia sakit, belakangan wajahnya memang cukup pucat. Dwi menyentuh bahunya yang terasa menyengat, "ya Tuhan!" desisnya, ia menarik tubuh Alisa hingga telentang. Alisa mendekap dirinya sendiri, tubuhnya menggigil hebat. Wajahnya pucat seperti mayat, Dwi yang langsung panik menempelkan telapak tangannya di dahinya.

"Alisa, badan kamu panas banget. Kamu kenapa?" paniknya, Dwi memandangi sekujur tubuh Alisa, ia merasakan ada bau yang cukup aneh tersengat di lubang hidungnya. Dan terlihat olehnya baju Alisa di bagian perut terdapat bercak merah yang sudah mulai mengering, bahkan berbaur dengan warna kuning kehijau-hijuan. Karena penasaran pula ia mengangkat baju Alisa, menyibakannya ke atas, matanya melebar dengan apa yang di lihatnya. Bagian perut Alisa ada sebuah jahitan memanjang, seperti bekas jahitan operasi, benangnya sudah hilang di bagian salah satu ujungnya.

Area di sekitarnya seperti hampir membusuk dan menimbulkan bau tidak sedap sehingga membuat perut Dwi bergolak dan hendak muntah. Ia segera menutup baju Alisa kembali, Alisa terlihat cukup tersiksa, tubuhnya gemetaran . Dwipun semakin panik, airmata mengucur begitu saja, "tolong..., tolong,..., panggilkan penjaga!" serunya,

"Ada apa, ada apa?" banyak yang bertanya, "cepat, Alisa sekarat!" serunya.

* * *

Tubuh Alisa segera di larikan ke rumah sakit, dan mendapatkan penanganan medis.

"Apa yang terjadi dokter?" tanya kepala lapas,

"Luka jahitan saudari Alisa mengalami infeksi, dan sudah cukup parah!"

"Seberapa parah dok?"

Dokter menghela nafas.....

* * *

Nadine menggerakan jemarinya kembali, lalu telapak tangannya. Dan akhirnya perlahan ia membuka matanya, mengerjap beberapa kali hingga benar-benar bisa melihat jelas langit-langit di atasnya, ia ingin menggerakan tubuhnya tetapi seluruh sendinya serasa retak semua. Terlalu lama berbaring membuat tubuhnya bagai di abis di pukuli palu. Ia melepas selan di lubang hidungnya, memaksakan diri untuk bangkit.

Masih terasa kaku, tapi setidaknya ia tetap bisa bergerak hingga duduk. Ridwan yang baru saja menembus pintu terkejut melihat Nadine sudah duduk di atas ranjangnya.

"Nadine!" teriaknya membuat Ratna dan Pasha terbangun, keduanya juga terkejut melihat putrinya sudah sadar. Senyum bahagia bercampur haru bercampur menjadi satu, mereka menghampiri Nadine.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar sayang!" seru Ratna memeluknya, menciuminya dengan cinta, Pasha ikut memeluk putrinya. "kami sudah sangat khawatir sekali!" tukasnya,

"Kau baik-baik saja kok ma, pa!" katanya sedikit parau, mungkin karena tenggorokannya kering sekali, Ratna melepaskan pelukannya dan memberinya minum air putih. Lalu mereka memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Nadine.

"Bagaimana dok?" tanya Pasha,

"Alhamdulillah, saudari Nadine sudah sembuh. Kondisi fisiknya cukup baik, ini sebuah keajaiban, kita patut bersyukur!" semua orang merasa lega mendengar hal itu.

Nadine menatap Ridwan, yang terlihat gundah. Lalu tiba-tiba ia ingat Alisa, bukankah saat itu ia sedang bersama Alisa di rumahnya. Bagaimana keadaan Alisa sekarang?

"Wan!" panggil Nadine, Ridwan mendekat perlahan. "Wan, dimana Alisa. Bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan cemas. Pertanyaan yang membuat semua orang tercengang, kenapa Nadine menanyakan Alisa dengan begitu cemasnya? Semua orang diam, saling melirik dengan perasaan yang sama, heran bercampur enggan membahas soal Alisa.

* * * * *

Novel ini pertama kali di publish di www.kompasiana.com/fiksiana , dan terima kasih untuk semua sahabat yang sudah menyimaknya dari awal hingga episode ini. Tunggu beberapa chapter terakhirnya ya, terina kasih....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun