Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merah Putih di Dada Kakek

12 Agustus 2015   16:07 Diperbarui: 12 Agustus 2015   16:17 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kakek!

Satu kata yang terasa asing terlontar dari pita suaraku,

Kakek!

Satu kata yang tak ingin aku sebut,

Kakek!

Satu kata yang tak ingin aku terima di lubang telingaku,

Kakek!

Sosok yang tak pernah aku tahu, dan tak ingin aku ketahui. Saat temanku bertanya tentang kakek, aku hanya angkat bahu, saat mereka bercerita tentang kakek mereka, aku menyingkir.

Tahu kenapa, karena kakeklah aku kehilangan semua mimpiku.

"Kamu kenapa nduk, kok manyun ngono? Gimana tesnya?"

"Aku gagal!"

"Gagal!" seru Ibu, ku banting tasku di meja dan juga tubuhku ke bangku kayu, "itu karena kakek aku jadi gagal dari tes, karena kakek aku nggak bakal bisa jadi Polwan!" kesalku.

"Kakekmu tidak seburuk itu, nduk. Dia seorang prajurit!" bela nenek yang sudah sedikit pikun, mungkin karena kepikunannya ia selalu membela kakek yang sudah jelas bersalah dan menjadikan keluarga ini susah.

Akhirnya aku harus memilih plan B, yaitu ambil jurusan informatika. Dan sekarang di sinilah aku, masih terjebak menjadi jurnalis surat kabar, kenapa aku tak memilih jadi wartawan televisi yang memiliki gaji lebih tinggi? Karena aku memang suka terjun ke sana.

* * *

"Jadi kita gagal menikah?" seruku menatap mas Reno, "iya, Rin. Kita tidak bisa menikah!" sahutnya.

"Tapi kamu mencintai aku kan mas?"

"Cinta saja tidak cukup untuk bisa membangun rumah tangga kita, jika di lihat dari profesiku!"

Aku gagal menikah, dan itu juga masih karena kakek. Rasanya sakit sekali sampai ke ulu hati, aku dan mas Reno. Reno Pranowo, seorang Letnan Angkatan Darat yang tergabung dalam KOPASUS. Kami menjalin hubungan selama dua tahun, jatuh bangun membangun cinta kami dalam pertentangan keluarga. Ketika kami sudah mendapatkan restu dari kedua belah pihak, negara menentang!

Aku merasa hancur, aku kehilangan semua mimpiku hanya karena apa yang kakek lakukan. Aku tak bisa menjadi Polisi, aku tak bisa menikah dengan pria idamanku, dan semua itu karena kakek.

Karena kakekku.....

Seorang Komunis.....

Kakekku anggota PKI, dia bahkan meninggal di dalam penjara oleh hukumannya. Dan sekarang...kami harus merasakan dampaknya pula. Nenek selalu membelanya, tapi aku tak bisa membenci nenek seperti aku membenci kakek. Karena bagaimanapun nenek selalu menguatkan aku, nenek selalu bilang....kakek adalah orang baik, kakek adalah pahlawan. Dan itu sedikit membuatku tak mau menghiraukan apa kata orang.

Setelah nenek pergi, rumah terasa lebih sepi. Aku tidak lagi mendengar nama kakek di sebut, tapi justru di saat itulah....aku merasa dadaku seperti berlubang, saat ku sentuh, terasa perih.

Aku jadi merindukan nenek, sosok nenek yang tegar meski mendapat hujatan. Ku masuki kamar nenek yang sempit, pengap, dan sudah mulai di huni beberapa tarantula di setiap sudutnya. Kusapukan mataku ke seisi ruangan, ada dipan yang di alasi kasur yang sudah menipis, tempat dimana nenek berbaring seraya menyebut nama kakek.

Aku melangkah ke arah lemari nenek yang sudah usang, 4 tahun lalu sebelum nenek meninggal. Nenek pernah berpesan,

Singgahlah ke kamar nenek, jika kamu ada waktu. Tolong buka lace lemari nenek!

Karena setelah itu nenek meninggal, kami berduka dan lupa dengan pesan itu. Aku baru ingat 2 hari lalu, itu sebabnya sekarang aku datang untuk memenuhi permintaan terakhir nenek untukku.

Ku buka laci lemari nenek, di sana ada dua laci. Laci pertama, aku hanya menemukan beberapa peralatan bedak nenek yang entah sudah berapa umurnya, beberapa alat jahit tangan, yaitu benang, jarum, gunting, pita. Lalu ku tarik laci kedua, ada tumpukan buku, ku pungut semua dan ku bawa ke meja usang di ruangan itu. Ada Al-qur'an yang biasa nenek gunakan untuk mengaji, surah Yasin, beberapa buku pustaka yang pernah ku baca dan....sebuah buku usang yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Buku bersampul coklat tua berbahan kulit, dengan kertasnya yang berwarna coklat kekuning-kuningan, mungkin karena sudah terlalu tua makanya jadi menguning. Buku itu cukup membuatku penasaran, apakah nenek memintaku membuka lacinya untuk buku ini?

Ku pungut dan ku lupakan yang lainnya, ku lepas ikatan pita yang melingkar dj badan buku itu. Ku tiup debu yang menyelimutinya, jantungku mulai berdegub, ini aneh, tanganku gemetaran bak hendak membaca surat cinta, atau surat PHK dari kantor. Aku menghembuskan nafas panjang untuk mengurangi rasa gugup itu, tanganku mulai membuka sampulnya.

Ada nama nenek dan kakek.

Muhammad Teguh Purnomo & Ratih Purwanti

Nama kakek yang biasa di panggil M.T. Purnomo memang tidak asing di telingaku, ku buka lembaran demi lembaran, perlahan ku baca setiap goresan tinta yang tertuang. Teliti, dan hati-hati.

Aku tidak mau sampai ada satu hurufpun yang terlewati, kertas kuning yang usang itupun basah.

Oleh airmataku,

Aku sesenggukan, tersedu, sampai sulit bernafas.

"Kakek!" desisku pedih.

Kakek memang di tangkap bersama kelompoknya saat mereka sedang merencakan pemberontakan terhadap pemerintahan saat itu, sebuah organisasi radikal kecil berpaham komunis di desa kami. Mereka di tangkap dengan tidak manusiawi, di beri siksa tahanan, lalu di beri hukuman mati. Karena kakek di anggap sebagai ketua organisasi itu, itu semua memang benar, setidaknya seperti itulah isu yang menyebar. Dan ternyata.....

Kakek tidak seperti itu, kakek adalah seorang prajurit berani mati yang di pimpin oleh seorang perwira. Ia mendapat tugas untuk menyelidiki beberapa organisasi kecil yang saat itu sedang merebak, dan kakek menemukan sebuah organisasi yang di rasanya sangat janggal. Ia seperti pernah melihat salah satu atasannya di antara organisasi itu, iapun melapor pada petingginya tetapi tidak di percayai. Maka kakekpun bertindak sendiri, ia memasuki organisasi itu melalui penyamaran. Untuk mencari sebuah bukti bahwa ada perwira yang berkhianat pada negara.

Tapi saat organisasi itu terdeteksi dan di bekuk, kakek tidak di selamatkan. Ternyata orang yang sedang kakek selidiki itu mengetahui gerak-geriknya, dialah sendiri yang membocorkan organisasi itu pada pemerintah. Dia menuduh kakeklah yang memprakarsai organisasi itu. Sementara kakek belum punya bukti untuk mengatakan yang sejujurnya, atasan kakek pun tidak mempercayai kalau itu hanya fitna. Karena buktinya ada, kakek masuk organisasi itu. Akhirnya....tidak ada yang menyalamatkan kakek, tidak ada yang berusaha membebaskannya dan berusaha mencari kebenaran. Pada akhinya kakek harus berakhir di depan tim penembak jitu yang mengirimkan sebuah peluru tepat di jidatnya. Hatiku menjerit, pedih, selama ini aku membenci kakek karena itu. Aku menuduh kakek yang menghancurkan segala impianku.

* * *

47 tahun yang lalu..... 

"Kau percaya padaku kan?" seru Purnomo, "Ratih, kau yang paling mengenalku. Aku tidak seperti itu, aku bukan bagian dari mereka!" desisnya,

"Aku percaya mas, tapi ini tidak adil!" tangisnya,

"Aku tidak punya bukti untuk membuktikan diriku sendiri, dan orang ini...dia memiliki kekuasaan di pemerintahan. Aku mau kau janji padaku, Ratih!" pintanya, "berjanjilah untuk iklas, biarlah dunia menghujatku asalkan bukan dirimu, asalkan bukan Tuhan, dan bukan tanah negeri ini. Kau harus kuat demi anak-anak, dan jauhi semua hal yang berbau pemerintahan!"

"Tapi bagaimana kami bisa hidup tanpamu!"

"Jadilah kuat, demi anak-anakmu. Berjanjilah untuk tidak menuntut atau mencoba mengungkap, aku tidak mau mereka menyakiti kalian. Berjanjilah!"

Ratih menangis tersedu, "aku-jan-ji!" isaknya, "kau tahu aku masih dalam kebenaran, kenang aku seperti aku yang kau ingat. Aku yang mencintai kalian, sama seperti aku yang mencintai Negeri ini, aku yang mencintai Merah Putih. Karena aku akan selalu mengenang itu sampai ke liang lahat!"

Ratih hanya bisa menangis tiada henti, bahkan sampai suaminya kembali di bawa masuk ke dalam sel.

Itu adalah percakapan terakhir nenek dengan kakek.

* * *

Dan percakapan itu nenek torehkan di lembaran usang yang sedang kubaca, yang basah oleh airmata nenek  saat itu, dan kini basah oleh airmataku yang tiada mau terbendung.

Kakek meminta nenek berjanji untuk diam, agar kami selamat. Agar nenek tidak tidak di sakiti, agar ayah dan paman-pamanku tidak juga di sakiti oleh orang yang menjebak kakek. Hingga aku pun ada, kakek berkorban....membiarkan dirinya di cela, membiarkan namanya tercemar, hanya agar kami tidak di buru oleh orang yang menjebaknya. Kakek berkorban untuk menyelamatkan kami. Kakek berkorban mencemplungkan diri dalam organisasi itu untuk mengungkap pengkhianat di dalam pemerintah, hingga ia terjebak. Dan semua pihak membencinya, dan aku....juga membencinya!

Betapa besar dosaku padanya, karena telah menyalahkannya atas semua kegagalanku. Aku berhutang beribu maaf padanya, begitupun negara ini, orang-orang yang menghujatnya. Dan kini, aku hanya bisa bersujud di pusara kakek, memohon ampun atas semua kebencianku. Kini aku tahu, seperti kata nenek,

Kakek adalah seorang prajurit,

Kakek adalah seorang pejuang,

Kakek adalah orang hebat, yang mencintai negeri ini, mencintai merah putih, dan mencintai keluarganya.

Dan sekarang adalah giliranku meneruskan perjuanganNya, jika kakek tak bisa membuktikan dirinya tidak bersalah untuk melindungi kami. Maka sekarang giliranku, untuk mengembalikan nama kakek, meski nyawaku jadi taruhannya. Buku harian nenek ini, akan menjadi bukti untuk mengembalikan nama keluarga kami, nama kakek. Dengan profesiku sebagai seorang jurnalis, aku pasti bisa!

Dunia ini...., berhutang sebuah kehormatan terhadap kakek. Dan aku akan menagihnya, tetap dengan cara yang benar.

Dengan semangat Merah Putih, seperti yang kakek miliki. Karena aku, tidak mau kakek kecewa.

Sebuah hormat ku berikan untuk kakek, di atas pusaranya aku berjanji...., dengan menjadi jurnalis yang bersih, maka aku juga bisa menjaga nama Merah Putih tetap suci di dadaku, sama halnya kakek yang selalu mencintai Merah Putih di dadanya, hingga akhir hayatnya.

 

* * * * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun