Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sayap-sayap Patah sang Bidadari ~ The Wedding #Part 2

13 Juli 2015   07:30 Diperbarui: 12 Agustus 2015   03:26 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 1

Tiga Bulan setelah kematian William Harris

 

Hampir tengah malam Nicky baru pulang ke rumah itu, Liana sudah terlelap ketika dirinya memasuki kamar. Ia menaruh jasnya di kursi dan berjalan mendekati ranjang, menarik selimut hingga menutupi istrinya sampai ke pundak. Wajahnya terlihat lelah sekali. Kata Jaya, Liana masih saja memaksa untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Membersihkan taman sendirian tanpa ingin di bantu, bahkan menyetrika baju. Katanya hanya dengan berkegiatan ia bisa mengusir semua kejadian buruk yang pernah menimpanya. Karena sekarang kakek Willy sudah tiada ia merasa begitu kesepian.

Perlahan Nicky membelai rambutnya, lalu tangannya mulai turun ke pipinya. Saat kulit mereka bersentuhan, Liana tersentak dan membuka mata seketika. Ia menemukan Nicky berada begitu dekat dengan dirinya, lama ia menatapnya. Tapi....perlahan, wajah Nicky berubah menjadi orang lain. Ekspresi Liana langsung berubah ketakutan, ia melempar tangan Nicky menjauh darinya seraya berteriak,

"Haaaah....., pergi. Jangan sentuh aku, jangan....!" Liana merapat ke tembok seraya membawa selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya yang gemetaran.

Nicky langsung berdiri menjauh, menatapnya. Liana ketakutan sendiri, Nicky tak berusaha menenangkannya. Ia hanya mematung memandang istrinya yang perlahan mulai tenang dengan sendirinya. Nafas Liana mulai teratur, ia melihat ke sekeliling ruangan hingga menemukan Nicky yang yang berdiri menatapnya. Mata mereka bertemu, Liana melihat ada kekecewaan di mata pria itu.

"Apakah aku begitu mirip dengannya?" desis Nicky, Liana tertegun. "mungkin seharusnya ku biarkan saja Rizal menikahimu!" tambahnya lalu meninggalkan tempat itu.

"Nicky!" desis Liana hampir tak terdengar, Liana melihat Nicky menghilang di balik pintu. Ia sadar ia sudah cukup melukainya dengan menerima pinangannya tetapi belum bisa menerima sosoknya sebagai suaminya. Airmatanya menetes perlahan.

Nicky memasuki ruang kerjanya, terdiam beberapa saat di depan meja. Lalu ia menyambar semua barang yang ada di mejanya hingga berhamburan ke lantai, nafasnya terengah-engah. Ia memaki Rey di dalam hatinya seraya menghempaskan dirinya ke kursi. Lama ia termangu di tempatnya sebelum beranjak ke sebuah almari dan memungut sebotol redwine.

* * *

Kegelapan masih meremang di luar sana, Liana tak bisa memejamkan mata sejak terjaga semalam. Ia keluar kamar, terdiam di depan pintu. Ia tahu dimana Nicky berada jika sedang merasa kesal, iapun pergi ke sana. Berhenti di depan pintu yang tertutup rapat itu. Perlahan tangannya merangkak naik ke gagang pintu, memutarnya pelan-pelan dan mendorongnya hingga terbuka, ia memasuki ruangan itu, melihat ke sekelilingnya. Cukup tercekat dengan keadaannya yang berantakan, banyak barang di lantai yang berserakan. Liana melangkah secara hati-hati, Nicky tertidur di kursinya. Sebotol wine tergeletak di meja, isinya sudah tak sampai seperempat. Pasti sisanya sudah tertuang ke perut suaminya, Liana berhenti di dekatnya. Memandangnya, ia menaikan tangannya untuk menyentuh rambut Nicky. Tapi Nicky menggerakan kepalanya, membuat Liana menarik tangannya kembali. Nafas lembut kembali terhembus dari suaminya, Liana menghela nafas lalu mulai memungut lengan suaminya. Meletakannya di pundaknya dan mulai mengangkat tubuh suaminya, memapahnya berjalan hingga ke kamar. Membaringkan tubuh suaminya di ranjang. Ia melepaskan dasi yang sudah mengendur di leher Nicky secara hati-hati agar tak membangunkannya. Lalu ia juga melepas sepatu dan kaos kaki yang belum sempat Nicky lepaskan, setelah itu ia menyelimuti tubuh Nicky hingga sepinggang. Menatapnya sejenak sebelum meninggalkannya untuk kembali ke ruang kerja dan membereskannya .

Jam 6.45 pagi setelah menyiapkan sarapan, Liana kembali ke kamar. Di lihatnya Nicky masih terlelap, wajahnya terlihat lelah. Bagaimana tidak, ia harus mengurus Harris Group seorang diri, sesampainya di rumah terkadang masih sibuk di ruang kerjanya dan menerima telepon yang tidak mau beehenti menganggu. Di tambah lagi harus menghadapi sikap dirinya yang masih terganggu oleh trauma itu.

Setelah kakek meninggal ia merasa semakin terpuruk, sering menghabiskan waktu di kamar kakeknya dengan airmata. Selalu menghindar jika Nicky mendekatinya. Hal itu sempat membuat Nicky marah dan melarangnya masuk lagi ke kamar kakek, Nicky bahkan menyita kunci kamar kakeknya dan memberikanya pada Jaya. Memintanya agar tak mengijinkan Liana masuk kamar itu lagi.

Liana duduk di tepi ranjang, ia merangkakan tangannya untuk menyentuh bahu Nicky. Awalnya ia sangat ragu tapi akhirnya ia melakukannya juga. Sedikit mengguncangnya seraya berdesis, "Nicky!" tak ada tanggapan iapun mengulanginya lagi dengan suara sedikit keras.

"Nicky!"

Nicky sedikit tersentak, ia menggerakan tubuhnya sehingga Liana harus menjauhkan tangannya. Perlahan mata Nicky terbuka, ia mengerjap beberapa kali lalu mengusapnya dengan jemari untuk menghilangkan rasa kantuknya. Ia menemukan wajah Liana di sampingnya. Sedikit heran terpancar dari ekspresinya.

"Sudah hampir jam tujuh, jadi aku membangunkanmu!" katanya, "apa hari ini kau akan masuk kantor, atau....kau mau aku telepon orang kantor jika kau tidak merasa sehat?" tanyanya.

Perlahan Nicky bangkit duduk, menatap istrinya. Jujur, dalam situasi seperti ini membuat jantungnya berdegub kencang. Menatap wajah polos istrinya, ia ingin sekali meraihnya ke dalam pelukannya. Tapi itu tak mungkin, Liana pasti akan menjerit ketakutan lagi.

"Tak perlu, aku ada meeting penting!" jawabnya, ia menuruni ranjang dari sisi yang berlawanan dari tempat Liana duduk dan masuk ke kamar mandi. Setelah membuka pakaiannya ia mengguyur tubuhnya di bawah shower, termenung sejenak. Bukankah semalam dirinya minum di ruang kerja sampai tertidur, lalu bagaimana ia bisa ada di kamar. Apa Liana memindahkannya? Ia menggelengkan kepala lalu melanjutkan mandinya. Ketika keluar kamar mandi ia melihat kamar tidurnya sudah rapi dan pakaiannya sudah tersedia di atas ranjang seperti hari pertama mereka menikah.

Di meja makan.....

"Nicky!" panggil Liana, "bolehkah aku ke kamar kakek?" tanyanya penuh harap. Nicky berhenti mengunyah dan melirik, "aku...aku hanya ingin merapikannya. Aku janji, aku tidak akan menangis disana. Hanya..., jika berada di sana. Aku seolah bisa merasakan kehadiran kakek!" jelasnya. Nicky masih diam tak menyahut, "aku mohon!" rengeknya, ini pertama kalinya Liana meminta sesuatu darinya. Dan yang di minta hanya ingin bisa masuk lagi ke kamar kakek.

Nicky meminum air putih lalu mengelap mulutnya dengan tisu, "minta kuncinya pada Jaya!" Liana langsung tersenyum girang, "oya, aku menelpon Sinta. Dia akan datang untuk menemanimu, dan satu hal....aku tidak mau dengar lagi kau masih memaksa untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Jika menurutmu tiga pembantu dan dua tukang kebun tidak cukup sehingga kau harus membantu mereka, aku bisa menambahnya!"  

"Tapi....!"

"Jangan membantah jika kau masih ingin masuk ke kamar kakek!" tegas Nicky tanpa menatap Liana, ia langsung berdiri dan memungut tas kerjanya. Bergegas untuk pergi ke kantor, Liana hanya terdiam di tempatnya.

* * *

Nicky memikirkan sedikit perubahan sikap istrinya, apakah Liana mulai pulih? Dia sudah mulai memasang senyum di wajahnya. Dan mulai berani meminta sesuatu darinya, itu bagus meski tetap saja masih membuatnya khawatir.

"Jal, setelah aku sampai kau bisa kembali ke rumah, mungkin saja.... Liana mau jalan-jalan keluar!" Rizal sedikit bingung, "jalan-jalan keluar?" desisnya, "paling dia akan menghabiskan waktu di taman bunga!"

"Aku meminta Sinta datang ke rumah, mungkin saja mereka ingin keluar. Aku tidak mau dia pergi tanpa mengawalan!"

"Kalau dia di rumah saja bagaimana?"

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"

"Lalu, apa aku harus menjemputmu pulang kantor nanti?"

"Tak perlu, aku bisa pulang dengan mobil kantor nanti, jika ada sesuatu hubungi saja aku!" pesannya, "ok, apakah ada yang aneh hari ini?" tanya Rizal.

"Entahlah, dia seperti menampakan sedikit kemajuan dan semoga itu akan membaik!" harapnya.

"Itu berita bagus!"

Liana memandangi sudut ranjang tempat William segera berbaring, bayangan orang tua itu yang sedang tersenyum padanya masih terlihat jelas di pelupuk matanya. Bahkan seisi ruangan itu di penuhi oleh bayangannya.  

Bantu aku kek, bantu aku melepaskan semua ini. Jangan biarkan Rey menang di antara kami, aku mohon.....katakan apa yang harus aku lakukan!

Liana seperti mendengar suara William di saat terakhirnya, "kakek merindukan keceriaanmu, keceriaan yang pernah kau bawa ke rumah kami!"

Airmata Liana sudah hampir tak terbendung, tapi ia segera menghapusnya. Ia sudah berjanji pada Nicky untuk tidak menangis lagi di ruangan itu atau ia tidak akan bisaberada di kamar itu lagi.

Pintu kamar di ketuk seseorang dan terbuka, Liana menoleh. Jaya muncul di ambang pintu, "Nyonya, Ibu Sinta dan putranya ada di ruang tamu!" katanya. "oh, mereka sudah datang?" tanyanya, Jaya mengangguk. Liana segera berjalan keluar, keadaan kakinya membuatnya tak bisa bergerak cepat. Begitu Liana muncul, Johan segera berlari ke arahnya.

"Tante Liana.....!" serunya girang, Liana berjongkok menyambut pelukan bocah lelaki berusia 3,5 tahun itu. Tawa kecil keluar dari mulut Liana, "hai jagoan!" sapanya melepaskan pelukannya, "apa kabarmu?" tanyanya.

"Aku kangen sama tante, tapi mama dan papa bilang aku tidak boleh main-main dulu kemarin-kemarin!" adunya, Liana tersenyum, selain William memang bocah itulah yang mampu menciptakan senyum di wajahnya dulu.

"Maaf, kemarin tante tidak enak badan!"

Sinta mendekat, Liana bersiri dan merekapun berpelukan. "bagaimana keadaanmu?" tanya Sinta.

"Sudah lebih baik!"

Liana melihat Rizal memasuki rumah, "Jal, kenapa kau kembali ke rumah?" tanyanya, "Nicky menyuruhku pulang, dia bilang mungkin kau mau pergi keluar!" jawabnya.

"Ku rasa tidak, aku mau di rumah saja!"

"Ayolah, kau tidak mau jalan-jalan!" bujuk Sinta, "Sin, mungkin lain kali saja. Aku.....aku masih butuh waktu untuk keluar rumah!" tolaknya.

"Ya sudah tak apa-apa, kita masih bisa mengerjakan hal lain kan!"

Rizal menyingkir, ia memang sedikit membuat jarak dengan Liana sekarang. Belakangan sikap Nicky terhadapnya cukup lebih dingin, pria itu tahu tentang perasaannya terhadap Liana. Ia tak mau memasuki kehidupan rumah tangga mereka, lagipula Liana hanya menganggapnya sebagai kakak. Hal itu membuat Liana nyaman bersamanya, tapi hal itu cukup menciptakan rasa cemburu di hati Nicky. Liana tidak menghindar ketika dirinya mencoba menenangkannya atau memeluknya, tetapi dia menjerit ketika Nicky meraih tangannya.

Nicky pernah mengeluh padanya, "Apakah aku begitu mirip dengan Rey, ataukah sikapku padanya yang kurang baik dulu sehingga ia harus bersikap seperti ini padaku sekarang? Mungkin seharusnya bukan aku yang menikahinya!"

"Kau ini bicara apa?"

"Dia baik-baik saja saat di dekatmu!"

"Liana mencintaimu, Nicky. Hanya itu yang perlu kau tahu!"

 "Saat aku di dekatnya sepertinya bayangan Rey memenuhi diriku, atau dia memang memandangku seperti Rey? Atau mungkin, karena sikapku dulu padanya. Mungkin ini pantas untukku!" keluh Nicky. Rizal mendesah panjang, "Liana hanya butuh, dan ku harap kau bisa bersabar!"

Percakapan itu cukup menjelaskan bahwa Nicky cemburu padanya, dan ia tak mungkin membuat Liana lebih menderita dengan membiarkan dirinya berada di antara pernikahan mereka. Jika tak ada pekerjaan, biasanya Rizal akan membantu berjaga di depan bersama,satpam atau berkeliling bersama para bodyguard yang tersebar di bangunan megah itu. Nicky memang masih mengadakan penjagaan ketat di rumahnya. Ia masih mengkhawatirkan sesuatu, karena hingga saat ini pelaku yang menembak Rey belum juga di ketahui siapa orangnya.

Peluru yang menembus tubuh Rey hancur setelah memasuki dagingnya, kalibernya juga sangat kecil hingga sulit di deteksi. Tapi dari hasil otopsi, ada kemungkinan Rey meninggal karena racun yang terkandung dalam amunisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Itu artinya amunisi yang di tembakan padanya berupa cairan racun bukan timah dan siapa yang melakukannya itu masih menjadi misteri. Itu artinya ada keterlibatan pihak lain di balik aksi Rey. Dan berarti juga dirinya maupun Liana masih dalam bahaya.

Liana menghabiskan banyak waktu bersama Johan hingga anak itu tertidur, lalu ia dan Sinta ngobrol tentang banyak hal. Terutama hubungannya dengan Nicky, Sinta menyarankannya untuk mulai membika diri kembali. Memberinya semangat untuk tidak terus terpuruk seperti selama ini.

* * * * *

Part 4

• S.S.P.B Trilogi ~ The Wedding (second novel)

Tayang dua kali seminggu, Senin dan Kamis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun