Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #23 ; Bantu Aku Melupakanmu!

12 Juli 2015   18:35 Diperbarui: 12 Juli 2015   18:37 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alisa membuka mata perlahan, langit-langit di atasnya mulai jelas terlihat. Ia menyapukan matanya ke sekeliling ruangan itu, ia berada di sebuah kamar tapi itu bukan kamarnya. Iapun bangkit, kamar itu cukup mewah tapi bergaya klasik.

Ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, meluncur turun dari ranjang. Celingukan hingga matanya menemukan sosok di dalam pigura, ia berjalan memungut benda itu.

"Lucas!" desisnya, jadi ia berada di rumah Lucas. Bagaimana bisa? Alisa meletakan kembali benda itu di atas nakas. Sekali lagi ia menyapukan matanya ke seisi ruangan itu sejenak, lalu berjalan ke pintu. Setelah di depan pintu kamar itu, ia terdiam.

"Kamu sudah sadar?"

Suara itu membuatnya menoleh, "Lucas!" desisnya. "tadi aku hampir menabrakmu, untung saja aku bisa menghentikan mobilku sebelum sampai padamu. Tapi....kamu malah pingsan duluan!" jelasnya.

"Aku mau pulang!"

"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kamu pulang dalam keadaan seperti ini. Kalau kamu pingsan lagi di jalan bagaimana?"

"Itu bukan urusanmu kan?"

"Aku tahu aku sudah berjanji padamu bahwa aku akan menjauh jika melihatmu, tetapi....sepertinya Tuhan berkendak lain. Dia mempertemukan kita dalam keadaan seperti ini. Lalu apa kamu pikir aku akan meninggalkanmu pingsan di jalanan?" katanya seraya duduk di sofa, meletakan makanannya di meja.

"Kamu bisa mengantarku pulang atau membawaku ke klinik, setelah itu pergi!"

"Aku tidak tahu dimana alamat rumahmu yang sekarang, dan seteleh ku periksa kamu tidak apa-apa. Jadi tidak perlu di bawa ke klinik, meski saat menemukanmu. Keadaanmu cukup mengenaskan!"

Alisa menatapnya, lalu iapun melangkah dan ikut duduk. "makanlah dulu, nanti kamu bisa sakit kalau tidak makan!" seru Lucas, Alisa melirik makanan itu. Di saat seperti ini, di saat tidak ada yang menghiraukannya, kenapa harus Lucas satu-satunya yang peduli padanya?

"Aku tidak lapar!"

Lucas menatapnya, menafsirkannya. Seperti memikirkan sesuatu, "apakah jika saat ini Ridwan yang di hadapanmu, dan yang membuatkan makanan untukmu. Kamu akan memakannya?" tanya Lucas, Alisa melotot.

"Sudahlah Alisa, kamu tidak bisa terus mengharapkannya. Dia akan segera menikah!"

"Apa hakmu menasehati aku?"

"Mungkin aku memang tidak punya hak, tapi seharusnya kamu bisa berfikir. Dia meninggalkanmu saat kamu terpuruk, lalu dia mengkhianati cintamu dengan menghadirkan wanita lain. Setelah itu dia malah menghadirkanmu di antara mereka seolah kamulah yang bersalah, kamulah yang berdosa?"

"Kamu tidak tahu apa-apa, Luke. Jadi jangan ikut campur!"

"Aku tahu tentangmu, setidaknya."

"Kalau begitu kamu juga tahu, bahwa kamu adalah orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku!"

"Aku tidak lupa itu Alisa, maka dari itu ijinkan aku menebus semuanya?"

"Dengan apa, bisakah kamu mengembalikan semua yang hilang dariku?"

"Tidak, aku tidak bisa. Tapi jika kamu mau memberiku kesempatan, mungkin kita bisa hiduo bahagia bersama!"

Alisa tertegun menatapnya, lalu tersenyum kelu.

"Itu sebuah mimpi yang konyol!"

"Kenapa? Aku tahu aku pernah membuat kesalahan, dan aku tidak bisa mengembalikan hidupmu yang pernah terenggut. Tapi setidaknya, keluargaku masih bisa menerimamu!"

"Kamu mau membandingkannya dengan Ridwan dan keluarganya? Luke, kamu tahu itu tidak akan bisa!"

"Apa istimewanya dia sehingga kamu begitu tergila-gila padanya, Cheryl, dan mungkin juga Nadine?"

"Apakah kita harus mencari keistimewaan seseorang untuk mencintainya? Kamu tidak mengerti tentang itu, jadi jangan berbicara seperti itu!"

Lucas tahu dirinya sudah memancing amarah wanita itu, sebenarnya dirinya juga marah. Tapi ia juga sadar ia tak berhak marah padanya, "maaf, aku hanya berbicara fakta!"

Alisa melempar pandangannya ke samping. Lalu ia berdiri, menatap Lucas.

"Ku harap kamu masih ingat janji kamu, Luke. Ini terakhir kali kita bertemu, aku tidak mau melihatmu lagi!" kata Alisa seraya melangkah. Tetapi tangan Lucas dengan sigap menangkap lengannya, membuat langkahnya terhenti.

"Maaf, sekarang aku tidak bisa berjanji. Aku tidak peduli apakah kamu akan memaafkan aku atau tidak, tapi jika kita bertemu lagi dalam keadaan yang mengharuskan kita untuk bertemu. Aku tidak bisa menghindar, aku tidak bisa membiarkan kamu seperti tadi!"

"Kalau begitu seharusnya kamu tabrak saja aku sampai mati!" sahut Alisa melepaskan secera kasar lengannya dari tangan Lucas. Lalu ia berjalan cepat menuju pintu keluar, membukanya. Tetapi pintunya terkunci dan kuncinya juga tidak tergantung di lubangnya, ia memutar-mutar gagangnya berkali-kali.

Lucas menghampirinya tanpa suara langkah kaki, ia memasukan kunci ke lubangnya dan membuka pintu itu. Setelah pintunya terbuka ia menyodorkan tas Alisa kepada pemiliknya, "kamu meninggalkan sesuatu!" katanya.

Alisa melirik lalu memungutnya, "kapanpun kamu butuh sesuatu, tanganku akan selalu terbuka!" desis Lucas, meski ia tahu wanita itu tidak akan mungkin datang padanya untuk meminta bantuan meski dia membutuhkannya. Tapi ia sudah berjanji akan selalu ada untuknya, meski tanpa di minta.

Tanpa ada kata lagi, Alisa melangkah meninggalkan tempat itu. Lucas masih berdiri di pintu menatapnya, berharap Alisa akan menoleh padanya. Mungkin memberinya sedikit harapan, meski ia tahu wanita itu tidak akan pernah menoleh. Apalagi memberinya harapan.

* * *

Setelah keluar dari gedung apartemen itu, Alisa menoleh dan mendongak ke atas. Ia tahu Lucas tulus padanya, tapi tetap saja ia tak mau ada hubungan apapun dengan pria itu. Pria yang pernah menghancurkan hidupnya. Ia kembali melangkah dengan perlahan.

Sesampainya di depan rumahnya, Alisa menghentikan langkah. Ridwan sudah berdiri di teras rumahnya. Lama keduanya terpaku, hanya hembusan angin malam dengan jiwanya yang dingin yang menyapa. Mewakili kata yang mungkin ingin terlontar. Alisa melihat ada sebuah rasa bersalah yang tersirat di mata pria itu.

Alisa kembali melangkah melewati Ridwan, ia tak berniat menyapa. Tapi Ridwan akhirnya membuka suara saat wanita itu mencapai pintu, "Alisa, aku ingin bicara!"

Alisa terdiam, tapi ia masih tak menoleh.

"Kita perlu bicara!"

"Tak ada lagi yang perlu di bicarakan, semuanya sudah jelas. Memang seharusnya kita berpisah!"

"Tidak Alisa, aku tidak mau!"

"Lalu apa yang kamu mau?" seru Alisa membalikan tubuhnya, "kamu mau aku menjadi perusak hubunganmu dengan Nadine, kamu mau aku di benci ibumu. Begitu?" airmata menetes si pipinya. "kamu tahu, Wan. Pernah ada ikatan anatara aku dan ibumu, aku masih menyayanginya seperti dulu, dimana aku lebih menyayanginya daripada menyayangi mamaku sendiri!" lantangnya, "dan kamu tahu...., rasanya sangat menyakitkan ketika aku tahu dia begitu membenciku sekarang!" tangisnya.

"Aku tahu!"

Alisa menggeleng pelan, "aku tidak menyalahkannya, jika dia membenciku. Mungkin aku memang pantas, dan jika sekarang Nadine juga membenciku.....tapi....!"

 "Aku akan mencoba menjelaskan pada mereka!"

"Apa yang ingin kamu jelaskan, bahwa kamu mau meninggalkan Nadine?" Ridwan terdjam, "ini hanya akan memperburuk keadaan!"

"Aku juga tidak tahu harus bagaimana sekarang!" desis Ridwan, Alisa menyeka airmatanya sendiri. Menghela nafas untuk mengontrol emosinya.

"Aku mencintaimu!" aku Alisa, "aku bahkan tak bisa menyingkirkanmu walau hanya sedetik, atau hanya dalam mimpi. Dan semakin aku mencoba melepaskanmu, aku semakin tak bisa.....!" tangisnya kembali berderai, "aku mohon bantu aku....,"

Alisa tersedu, membuat mata Ridwan juga memanas. Pria itu merengkuhnya ke dalam dekapannya, "maafkan aku!" desisnya. Alisa semakin terisak, "bantu aku..... Bantu aku untuk melupakanmu atau aku akan jadi gila....aku tidak mau melukai siapapun!" pintanya dalam tangis.

( Untuk melengkapi adegan ini, saya tawarkan lagu Ajari Aku Melupakanmu by Tangga )

Ridwan terdiam memeluk Alisa erat, bagaimana ia bisa memenuhi keinginan wanita itu sementara dirinya juga tak bisa melupakannya. Bahkan sebaliknya ia ingin mereka bisa bersama, dengan atau tanpa Nadine.

* * * * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun