Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sayap-sayap Patah sang Bidadari ~ The Wedding #Part 1

9 Juli 2015   10:51 Diperbarui: 9 Juli 2015   10:51 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel sebelumnya ; Inheritance

Cerita sebelumnya ;  Prologue

Liana sudah sibuk menyiapkan sarapan di meja makan seperti biasa, William berjalan ke arahnya dengan di tuntun oleh Jaya. Liana menoleh dan langsung menghampirinya, "pagi kek!" sapanya seraya membantunya hingga duduk di kursi padahal dirinya sendiri berjalan pincang.  

Sekarang ia memang sudah tak membutuhkan tongkat lagi setelah operasinya yang terakhir, tapi tetap saja kakinya tak boleh terlalu lelah. Ia bahkan harus kontrol ke rumah sakit jika ada keluhan. Kata dokter tulangnya belum pulih total jadi tetap harus di jaga dengan baik.

Liana menuang teh hijau untuk william, menyodorkannya dengan lembut lalu memungut beberapa sendok sereal sehat ke mangkok. Menuangkan susu murni dan madu ke dalamnya, lalu di campur lagi dengan sedikit air panas. Mengaduknya hingga tercampur rata dan memberikannya pada William untuk sarapan pagi. Dokter bilang makanannya harus benar-benar di jaga demi kesehatannya. Liana ikut duduk dan meminum tehnya sendiri, suara langkah kaki menghampiri ruang makan itu. Liana menoleh, Nicky sudah rapi dengan pakaian kantornya. Setelan itu dirinya yang menyiapkannya ketika Nicky sedang mandi, tak di sangka ternyata di pakai juga. Liana tersenyum dalam hati.

"Pagi kek!" sapa Nicky.

William menatap cucunya yang langsung duduk dan mengangkat cangkir kopinya, menyeruput isinya.

"Kau baru saja menikah kemarin dan sekarang sudah mau meninggalkan istrimu untuk urusan kantor?" keluh William.

"Kakek tahu sendiri banyak pekerjaan yang ku tunda, hari ini ada meeting direksi. Tidak bisa di wakilkan, kecuali jika kakek ingin Harris Group gulung tikar!" tukasnya.

"Kalian tak berencana pergi bulan madu?" pertanyaan William kali ini membuat Nicky berhenti mengunyah rotinya, begitupun Liana. Keduanya diam saling menatap. "mungkin lain kali kek!" sahut Nicky.

* * *

Saat meeting berlangsung hp Nicky berdering, ia sengaja tak mematikannya untuk berjaga-jaga. Iapun segera mengangkatnya karena yang muncul nomor rumah.

"Ya!"

......

"Apa?"

Sekujur tubuhnya mendadak jadi lemas, ia bahkan hampir roboh jika saja Daren tidak segera bangkit dan menopangnya.

"Nicky, ada apa?"

Liana duduk di samping ranjang yang di atasnya terbaring William, matanya sembab. Tadi, ia menemukan pria tua itu sedang sekarat di kamarnya. Kata dokter serangan jantung yang di alaminya kali ini cukup hebat, ternyata belakangan kondisi William memang cukup nenurun tapi orang tua ini selalu berpura-pura dalam keadaan yang sehat.

Nicky berhambur ke ruangan itu, kakeknya masih belum sadarkan diri. "Liana bagaimana keadaan kakek?" tanyanya cemas. Wanita itu hanya memandangnya dengan deraian airmata lalu menggeleng pelan. Tangisnya pun pecah, "maafkan aku...., aku tidak menjaga kakek dengan baik!" Nicky menatapnya. Guncangan di pundak wanita itu semakin kuat. Iapun melangkah menghampirinya, meraih kepala istrinya ke dalam dekapannya.

"Maafkan aku!" desis Liana lagi, "jangan salahkan dirimu!" sahut Nicky. Setelah Liana sedikit tenang, Nicky menemui dokter. Saat ini kondisi kakeknya ssngat lemah, ada kemungkinan dia tidak akan bertahan lama. Sejujurnya ia juga belum siap jika harus kehilangan kakeknya sekarang, bagaimana ia akan menjalani semua ini?

Bagaimana ia akan bersikap terhadap Liana tanpa nasehat kakeknya? Ia berjalan lemas ke ruangan kakeknya, tapi ia malah berhenti di depan pintu. Di lihatnya Liana menyandarkan kepalanya di tepi ranjang, matanya terpejam dan pipinya masih basah. Jaya memandangnya tak jauh darinya.

"Kau harus kuat t...., tn. Willy mempercayakan tanggungjawab yang begitu besar di pundakmu. Aku akan selalu disisimu, semampuku!" janjinya.

"Terima kasih Jay, kau selalu setia pada kami!"

"Itu tugasku!"

William di rawat beberapa hari di rumah sakit, selama itu Liana selalu menungguinya. Ia tak mau sampai lengah lagi, "Liana, sebaiknya kau istirahat dulu. Biar aku yang menjaga kakek!" suruh Nicky. "tak apa-apa. Aku sudah tidur tadi, kau saja yang istirahat dulu. Pasti kau juga lelah sepulang dari kantor!" sahut Liana.

"Kau terlihat pucat, apa kau belum makan?" Liana terdiam, "kau tidak boleh sampai sakit, nanti kakek pasti akan sedih jika tahu kau sakit dan dia pasti akan menyalahkan aku!" seru Nicky dengan sedikit candaan. Liana tersenyum tipis, meski begitu Nicky tetap menikmati senyumannya. Setidaknya ia masih bisa membuat istrinya tersenyum dalam keadaan seperti ini. Akhirnya mereka bergantian jaga, Nicky istirahat lebih dulu agar Liana bisa tidur di sisa malam nanti. Saat Liana terlelap, Nicky duduk menatapnya. Wanita yang tertidur itu adalah istrinya, tapi mereka tak terlihat seperti suami istri. Hubungan mereka masih hambar seperti satu setengah tahun terakhir sebelum mereka di ikat oleh tali yang suci. Liana masih selalu menghindari kontak mata terlalu lama dengannya, padahal dulu ia selalu menikmati tatapan tajam pria itu. Nicky mencoba bersikap lembut padanya selama ini, tapi itu justru membuat Liana semakin menjauh. Dan sekarang ia bingung bagaimana harus bersikap dan memperlakukannya, jika ia salah langkah pasti akan menyakitinya. Dan ia tak mau itu terjadi.

* * *

Mentari bersinar cukup cerah di luar sana, tetap di dalam ruangan VVIP itu masih terlihat mendung. William menatap Liana dan Nicky dengan mata sayunya, hembusan nafasnya terlihat cukup berat dan lemah. Tetapi dia masih mencoba tersenyum.

"Kakek bahagia akhirnya kalian bisa bersama, kakek harap kalian bisa nenemukan kebahagiaan yang sempurna!" desis William dengan suara lemah, "Nicky, kau harus menjaga Liana dengan baik. Kau satu-satunya yang bisa kakek percaya!"

"Kakek jangan khawatir, yang penting sekarang kakek sembuh dulu!" sahut Nicky, William hanya tersenyum. Ia menatap Liana, "Liana!" desisnya, "maaf, kakek tidak bisa menjagamu lagi!"

"Kek, jangan bicara seperti itu. Kakek akan baik-baik saja!" potong Liana dengan mata sembab. William masih tersenyum lembut, "jangan menanhis cucuku, sudah terlalu banyak airmata yang kau jatuhkan. Kakek tidak suka melihatmu menangis!" katanya saat melihat buliran bening mengalir dari mata Liana.

Liana mencona menahan tangisnya, tapi ia malah terisak seperti anak kecil. Tangan William dengan lemah untuk membelai wajahnya, menyeka airmatanya. "terima kasih, kau telah hadir dalam hidup kakek. Kau memberikan keceriaan setelah sekian lama, dan kakek sangat merindukan keceriaan itu. Keceriaan yang dulu kau bawa ke rumah kami!"

Liana menyentuh tangan pria tua itu, William Harris memang tak memiliki hubungan darah sama sekali dengannya. Tapi dialah orang pertama yang membuatnya merasa memiliki seorang ayah, Liana berusaha tersenyum. "kakek!" desisnya. William membalas senyuman itu dengan lemah, lalu ia menatap Nicky dalam tanpa mengucap apapun lagi. Tapi Nicky bisa membaca apa yang tersirat di mata kakeknya, ia juga memberikan senyuman untuk sang kakek, meski matanya sembab dan airmatanya sudah tak bisa lagi di tahan.

Perlahan mata William terpejam, nafasnya menghilang secara halus. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang, ia percaya Nicky bisa memenuhi tanggungjawabnya dengan baik. Ia tak khawatir karena Jaya akan ikut membantu cucunya itu seperti selama ini dia membantunya.

Tangis Liana pecah saat ia merasakan tangan kakek Willy mengendur dan terlepas radi genggamannya, "kakek....!" tangisnya. Nicky juga menitikan airmata, tapi ia memilih untuk menangis dalam diam. Dengan kepergian kakeknya, kini ia merasa beban di pundaknya semakin berat. Ada Harris Group yang harus ia jaga agar tetap berjaya, dan juga Liana. Yang harus ia jaga agar tak lagi terluka, tapi ia justru takut kalau dirinyalah yang akan melukainya.

* * *

Liana pingsan di tengah prosesi pemakaman, Nicky menyuruh Jaya untuk membawanya pulang lebih dulu sementara dirinya tetap menyelesaikan pemakaman kakeknya. Kondisi Liana cukup drop dengan kepergian kakeknya, selama ini Liana selalu berbagi dengan kakeknya. Kakeknya yang selalu mencoba membangkitkan semangatnya kembali, yang selalu mencoba menciptakan senyuman itu kembali. Dan kini kakeknya sudah pergi, lalu siapa nanti yang akan menghiburnya saat dirinya sedang sibuk di kantor, siapa yang akan berbagi cerita? Meski selama ini Rizal juga berusaha untuk bercanda dengannya tetapi Liana jarang menanggapi. Ia berubah menjadi lebih tertutup. Sinta dan Johan, anaknya yang masih kecilpun terkadang datang berkunjung untuk mengajaknya bermain. Tapi tetap saja tak bisa mengembalikan sikap Liana yang dulu.

Nicky menatap Liana dari pintu kamar kakeknya, istrinya itu sekarang berbaring di kamar almarhum kakeknya. Menangis, dan ia tak bisa melakukan apapun selain hanya memandangnya dari jauh. Wanita itu istrinya, tapi ia bahkan tak bisa memeluknya sebagaimana seorang suami. Celah itu kini terasa begitu tebal dan dingin, sangat menyakitkan.

* * * * *

Part 2

S.S.P.B ~ The Wedding (second novel)

Tayang dua kali seminggu, Senin dan Kamis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun