Ramadhan sudah memasuki minggu ketiga, bahkan sudah mencapai hari ke 20. Hendak menginjak sepertiga akhir, waktunya bagi semua umat muslim menanti kehadiran malam Lailatul Qodar.
Malam istimewa, malam dimana Baginda Rasulullah mendapatkan wahyu turunnya kitab suci Al-qru'an. Biasanya orang-orang akan berbondong-bondong pergi ke masjid, dari fenomena yang sering terlihat. Di awal Ramadhan orang-orang ramai memenuhi masjid, bahkan sampai tidak ada tempat yang tersisa. Memasuki pertengahan masjid mulai sepi lagi, hanya segelincir orang yang setia mengunjungi. Tetapi memasuki sepertiga akhir, kembali mereka akan memenuhi masjid. Fenomena yang sudah biasa.
Dan apakah hal itu juga berlaku bagiku? Entahlah...., aku ingin pergi setiap saat ke sana. Berkumpul dengan yang lainnya, tetapi....sepertinya tidak ada tempat bagiku di antara mereka. Setiap melihatku, mata mereka menunjukan sebuah rasa jijik yang tinggi. Mereka memandangku seperti memandang kotoran di got, atau seonggok sampah yang harus di singkirkan. Aku tahu mengapa mereka seperti itu, lalu apa salahku? Aku tidak menginginkan ini semua, aku tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi aku harus menanggung semua ini, menanggung dosa orang tuaku, menanggung kebencian warga. Terutama tetangga terdekat, bahkan mungkin kerabat. Aku ingin benci mereka, orang tuaku. Tapi aku tidak ingin menjadi anak durhaka, aku tidak ingin masuk neraka.
Aku terlahir dengan vonis yang sangat mengerikan, terinfeksi HIV. Karena wanita yang mengandungku ternyata memang positif mengidap virus itu, terlebih pria yang menjadi ayah kandungku tidak mau bertanggung jawab saat tahu ibu hamil, membuatku harus menanggung semua ini. Sejak lahir harus tergantung pada dokter, tergantung pada obat-obatan. Agar aku bisa hidup lebih lama, agar virus itu tidak mudah berkembang menjadi lebih buruk. Aku tidak bisa hidup normal seperti remaja pada umumnya, memiliki banyak teman, bermain bersama mereka. Sejak ibuku meninggal saat usiaku 7 tahun dan penyebabnya di ketahui warga, mereka mulai memandangku seperti itu. Seperti kotoran, apakah memang sekotor itu diriku? Aku tidak menginginkan terlahir dengan virus itu, aku tidak menginginkan semua ini.
Sejak kecil ku dekatkan diriku pada sang Illahi, entah aku pantas atau tidak. Aku tidak mengharapkan dekat dengan siapapun karena mereka pun tak ingin, aku hidup bersama kakek yang tak pernah lelah memberiku semangat.
"Kek, apakah jika aku mati nanti....Allah akan menerimaku?" tanyaku menatap wajahnya yang keriput dengan mata yang mulai sayu, "kenapa kamu bicara seperti itu, nduk?"
"Karena aku anak haram, karena aku mengidap penyakit ini!"
Ada kaca-kaca bening di matanya, tapi ia tetap mencoba tersenyum.
"Allah akan selalu menerima hambanya yang beriman, jadi kamu tidak perlu takut. Karena Allah begitu menyayangi kamu!"
Kakek selalu bilang begitu, dan aku selalu percaya padanya. Suara adzan isya pun berkumandang, "alhamdulillah....,!" desis kakek, "ayo, kita solat isya dan tarawih. Sudah masuk waktunya!" ajak kakek.
Setiap Ramadhan tiba kami selalu melaksanakan tarawih dan tadarus di rumah, hanya berdua. Tapi entah, aku merasa seolah banyak yang berjamaah bersama kami. Malaikatkah?
Tapi Ramadhan kali ini, aku sempat masuk rumah sakit hampir seminggu. Setelah itu aku memilih rawat jalan saja, karena aku tidak mau menambah beban kakek untuk membayar biaya rumah sakit yang begitu mahal. Kami solat berjamaah seperti biasa, hanya berdua. Aku berharap aku bisa menyelesaikan Ramadhan kali ini dengan sempurna seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin juga, mendapatkan malam Lailatul Qodar yang di impikan semua umat muslim. Tapi sekujur tubuhku rasanya sakit semua, nafasku pun memberat. Dalam hati aku bergumandang, "ya Allah, jika memang sudah waktunya aku iklas. Aku titip kakek, jaga kakek seperti selama ini dia menjagaku. Dan izinkan aku untuk bisa menggapai sisi-Mu, Amien!"
Ku rebahkan sujud terakhirku, ku lafalkan dua kalimat sahadat dan asma besar-NYA. Setelah itu ......
* * * * *
7 Juli 2015 ,Jakarta
Y_ Airy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H