Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Last Hunter #Part 2

23 Juni 2015   20:26 Diperbarui: 21 September 2018   20:46 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebelumnya, Part 1

Tempat Baru

 

Malam masih memikat, bulan nampaknya bersembunyi di balik selimut langit. Entah, tapi sedari matahari menghilang dia memang tidak memunculkan diri. Hanya bintang-bintang yang menari redup menemaniku, dan suara deru kereta yang menggoncangkan tanah tempatku menaruh tubuh yang rasanya tak karuan.

Entah sudah berapa lama punggung ini tak mencium kasur, dan harus berselimut angin malam. Awalnya aku memang menggigil mengarungi dunia luar, tapi kini ... langit sudah seperti atap rumahku. Aku bisa tidur di mana pun yang aku mau meski tak pernah benar-benar tidur. Kau tahu, bagaimana aku bisa mendengkur keras jika musuh bisa datang kapan saja untuk mencabut nyawaku. Terkadang, aku masih bersyukur karena masih bisa memejamkan mata meski hanya sedetik. Aku mendongak ketika ada suara teriakan seorang wanita, aduh ... malam-malam buta begini masih ada saja wanita berkeliaran. Kutarik saja punggung ini dari tanah, celingukan seperti orang hilang. Bukan hanya seperti, tapi aku memang sedang hilang. Aku bahkan tak tahu pasti di mana sekarang aku berpijak.

Kuseret langkah mencari suara itu, semakin dekat. Aku tetap harus berhati-hati, sejak dua orang yang mendampingiku tewas aku sendirian. Tak tahu harus ke mana, tak tahu siapa diriku. Apalagi nama asliku, masih terasa asing terdengar.

Terilhat oleh mataku seorang wanita yang sedang berada di antara dua pria, berteriak minta tolong oleh sikap usil keduanya.

"Hei, lepaskan dia!" seruku,

Mereka menoleh padaku, ketiganya tak ada yang aku kenal tapi entah aku merasa curiga. "Dasar bocah ingusan!" seru salah satu orang itu yang langsung menyerangku tanpa basa-basi, lalu dibantu yang satunya. Dalam pelarian ini, aku telah mengarungi perjalanan panjang dengan begitu banyak musuh. Tak sulit bagiku melumpuhkan keduanya, dan kuhampiri wanita itu.

"Anda tidak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja, tapi tidak denganmu!" serunya menyerangku dengan sebilah pisau runcing, untung aku lebih gesit menghindar meski lengan atasku tergores. Kulirik luka itu yang berdarah lalu menatap dia, "Bicth!" makiku membalas serangannya. Tak cukup sampai di situ, beberapa orang muncul dan membantunya menyerangku.

Sial!  

Aku tertipu, harusnya aku tahu ini jebakan. Kini aku harus kewelahan melawan gerombolan ini sementara perutku meronta, aku tak ingat kapan terakhir kulempari makanan ke dalamnya. Aku benar-benar butuh sesuatu untuk sebuah tenaga, mungkin segelas air putih cukup. Tapi harus kudapatkan dari mana? Ah ... persetan dengan itu, aku harus bisa lolos bagaimana pun caranya. Tapi kini aku benar-benar butuh bantuan, darimana? Tempat ini sangat sepi, kenapa tak ada seorang pun yang lewat? Kurasakan tubuhku terpelanting dan terguling jauh. Sorot lampu yang mendekat membuatku menoleh.

Sebuah mobil melintas kencang mendekatiku, aku segera bangkit. Bunyi berdecit ban mobil itu terdengar sedikit nyeri di telingaku, mobil itu berhenti tepat di depan kakiku. Sebelum orang-orang itu berlari mendekati, aku sudah lebih dulu berpindah tempat duduk di samping sang pengemudi mobil.

"Hei, kau ini apa-apaan, keluar dari mobilku!" teriak gadis itu, 

"Jalankan saja mobilnya jika kau tidak mau mereka membunuh kita!" sahutku.

"Kita?"

Aku menoleh ke arah mereka yang sudah mencapai mobil, "Jal - wow!" belum sempat kusuruh lagi dia, ternyata mobil itu sudah melaju dengan kecepatan tinggi, aku sempat tersentak saat dia menginjak rem tadi. Aku bernafas lega ketika menoleh ke belakang dan mereka sudah tak terlihat.

Kurasakan dia melirik, kami sudah mencapai kawasan yang sedikit ramai.

"Kau seorang penjahat?" serunya,

"Apa?"

"Ya Tuhan! Sepertinya hari ini aku benar-benar sial, sudah dibuat kacau oleh teman-temanku dan sekarang bertemu orang aneh!"

"Aneh?"

"Siapa mereka dan siapa kau, oh ... tu bukan urusanku!" serunya menghentikan mobilnya di pinggiran. "Turun!"

"Apa?"

"Kubilang turun dari mobilku, siapa tahu saja kau adalah kelompok perampok yang sedang pura-pura!"

"Perampok, kau pikir aku punya tampang perampok?" protesku, dia menatapku dari ujung rambut hingga ujung sepatuku dengan ekspresi ... yah aneh, jijik. Jelas, aku tak bercumbu dengan air selama dua hari ini. Bisa kurasakan bau keringatku, meskipun tak berbau busuk. Tetap saja aku terlihat belum mandi.

"Sayangnya aku tidak mau turun!" godaku menyilakan kedua tangan di dada. Lalu aku pun menguap lebar, "Uaaaahhhh ... aku ngantuk sekali!" lanjutku. Kubenarkan dudukku lalu memejamkan mata.

"Hei, kau!" dia menggoncang tubuhku, "Aku tahu kau hanya pura-pura tidur, ayo keluar dari mobilku. Hari ini aku sudah cukup banyak masalah, keluar!" teriaknya. Dia menepuk lenganku kencang, "Dasar brengsek!" makinya.

Gadis itu menghela nafas lalu kembali mengemudikan mobilnya, tak terasa malam sudah berganti pagi. Cahaya hangat mentari yang menembus mobil mebangunkanku dari tidur, ini pertama kalinya aku kembali bisa tidur nyenyak. Aku menggeliat, membuka mataku lebar. Gadis itu sudah tak ada di sampingku, kumelihat ke sekeliling tempat itu dari dalam mobil. Tiba-tiba pintu mobil terbuka dan gadis itu sudah duduk di sampingku, melemparku dengan sebuah bungkusan. Aku menangkapnya segera karena refleks, "Sarapan pagi!" serunya.

Kulihat bungkusan di tanganku, dari baunya aku tahu itu burger. "Kulihat kau seperti kelaparan, makanya kubelikan kau makan. Eit, ini tidak gratis, kau harus membayarnya!"  

"Aku bahkan tak memegang uang!"

"Ya, aku tahu. Jika kau punya uang kau tidak akan kelaparan dan dekil seperti itu. Berapa hari kau tidak mandi?"

"Sepertinya dua!" kugigit burger itu, 

"Sepertinya? Itu artinya kau tidak yakin. Oh Tuhan!" keluhnya. "Dan ini kopimu, jika kau minum kopi!" sodornya. 

Aku memungutnya, "Tentu aku butuh itu!"

"Boleh aku tahu, kau punya tujuan?"

"Ya!"

"Bagus, kalau begitu kau bisa segera pergi dengan tujuanmu!"

"Masalahnya aku masih belum tahu ke mana aku akan menuju!"

"Itu namanya kau tidak punya tujuan!"

"Aku sedang hendak pergi ke suatu tempat, hanya ... aku kehilangan pemanduku!"

"Itu buruk!"

"Aku tahu!"

"Lalu apa yang akan kaulakukan?"

"Mungkin menunggu!"

Dia memandangku dalam, "Aku Keira, Keira Patten. Kau punya nama?" katanya menjulurkan tangannya, kupandang tangan putih nan mulus itu sebelum menyambutnya. 

"Alex, Alex Smith!" sahutku, kugunakan nama lama. Untuk saat ini aku tak mungkin menyebutkan nama asliku, lagipula nama Reese masih belum nyaman kugunakan.

* * * 

"Kau gila, tinggal di sini?" seru Charlie,

"Di mana lagi, rumahku. Pamanku bisa memenggalku!"

"Aduh Keira, kita bahkan tak mengenalnya!"

"Aku mohon, hanya untuk beberapa hari saja. Jika dia sudah tahu ke mana tujuannya dia juga akan pergi!"

"Heah, ok. Hanya beberapa hari saja!"

Pemuda yang dipanggilnya Charlie itu menghampiriku, "He, Bung, kau boleh tinggal di sini. Di kamarku, tapi aku tidak suka jika kau menyentuh barang-barangku. Kau mengerti!"

"Aku mengerti, terima kasih!"

"Sekarang enyahlah ke kamar mandi, baumu tidak enak!" serunya. Aku pun langsung melompat ke kamar mandi, segar sekali rasanya bisa kembali bergumul dengan air. Untung pakaian Charlie pas. Aku keluar menemui keduanya yang masih sedikit berargumen di dapur.

Keduanya menoleh, kulihat Keira menatapku dalam. Ok, soal tampang aku tidak mengecewakan para gadis, hanya sikapku yang menutup diri sering membuat mereka berfikir aku aneh. Aku berjalan ke arah mereka, "Well, kurasa aku harus pulang dulu. Aku harus membereskan rumah sebelum pamanku kembali dari luar kota!" seru Keira. "Jika kau butuh sesuatu, kau bisa minta tolong pada Charlie!"

"Aku!" protes Charlie.

Keira tersenyum dan berjalan keluar, kupandang mobilnya melaju melalui jendela. Rumahnya berseberangan dengan Rumah Charlie, kulihat rumah itu. Ia membuka jendela kamarnya yang berada di lantai dua, berhadapan dengan kamar Charlie. Kurasakan mata Charlie mengamatiku,

"Kau menyukai temanku, ok. Karena Keira pikir kau orang baik maka aku percaya padanya, tapi aku masih tak percaya padamu!" aku hanya meliriknya.

"Beruntung ini hari minggu, aku bisa menemanimu. Tapi, ya Tuhan, apa yang akan kukatakan pada orangtuaku tentangmu? Mereka tahu semua temanku kecuali kau. Tentu, aku saja tidak mengenalmu!" kesalnya.

Dia terlalu banyak bicara dan itu membuatku muak, "Boleh kupinjam komputermu?" tanyaku.

"Sudah kukatakan jangan menyentuh barang-barangku!"

"Itu sebabnya aku minta ijin, jika kau mau aku segera pergi dari sini!" seruku.

Akhirnya, kini aku fokus di layar komputernya di kamar. Tapi aku meminta prifasi darinya, dia memang lebih marah dan membuatku harus sedikit memohonnya dengan ancaman kecil. Semoga aku menemukan informasi tentang keluarga Reese, dan siapa diriku!

 ----------o0o----------

Next, Part 3 : Kembali Ke Sekolah  || Baca juga, Part 1 : Siapa Aku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun