"Aku tidak mengingkari apapun, tidak juga perasaanku. Hanya.....kita tidak seharusnya memilikinya lagi!"
"Kenapa?"
"Karena memang seharusnya begitu!"
"Bagitukah, kalau begitu katakan kalau kamu tidak mencintaiku lagi!" pinta Ridwan, Alisa terdiam. Nadine tak mampu mendengar percakapan mereka karena keduanya berbicara pelan dan setengah berbisik.
"A-aku....., aku....!"
"Kamu tidak bisa mengatakannya!" potong Ridwan, "aku tahu, apa salahnya jika kita masih ingin memiliki cinta yang kita rasakan!" Alisa masih diam, untuk sesaat ia terbujuk oleh kalimat terakhir Ridwan. Perlahan tangan Pria itu merayap ke pipinya, membelainya lembut. Dan tanpa ada untaian kata lagi, entah bagaimana caranya kini bibir mereka yang bertautan. Saling memburu, saling membutuhkan. Sebutir airmata membasahi pipi Alisa, entah apa arti airmata itu. Sebuah kebahagiaankah atau justru sebaliknya.
Sementara di balik tirai Nadine mengalirkan airmata yang jauh lebih deras, dadanya terasa sesak. Seperti ada ujung pedang yang menusuk langsung ke ulu hatinya. Ternyata benar, mereka memang punya hubungan, rasanya begitu perih melihat tunangannya berpagutan dengan sahabatnya sendiri.
"Cukup!"
Mendengar sebuah teriakan dari suara yang mereka kenali, keduanya langsung memisahkan diri. Menoleh ke arah suara, keduanya terpaku seketika bak di sambar petir,
"Nadine!"
Â