Â
Apa yang kau rasakan saat maut menyapamu? Kilauan cahaya putih mengitarimu, tangan-tangan bidadari anggun menyambutmu, atau sayap malaikat menerbangkanmu ke nirvana? Ah.....semua itu omong kosong, nyatanya aku hanya melihat kegelapan yang kian meremang. Cahaya memudar meninggalkanku, ribuan jarum bagai menghujamiku. Leherku seperti di lilit tali yang begitu besar hingga aku tak sanggup berteriak. Dadaku seperti di himpit beton, membuatku sulit bernapas. Luka di sisi perutku masih terasa panas dan nyeri, aku memilih mati ketimbang di siksa oleh malaikat maut seperti ini, tapi aku juga masih ingin hidup untuk sebuah alasan. Dan.....inilah alasanku.....
Â
"Aduh.....!"
Aku langsung tergopoh berlari mendengar rintihan halus yang keluar dari mulut Ratih, kulihat dia sedang meringis seraya memegangi bagian bawah perutnya yang makin membuncit seperti siap untuk meledak. Menahan sakit, dia duduk bersandar sofa. Kakinya menelentang, sebentar-sebentar menekuk seperti hendak berdiri. Tapi dia hanya bergerak ke kanan dan ke kiri, sesekali satu telepak tangannya akan mengelus perutnya itu ketika calon anak kami bergerak. Buah cinta kami yang pertama, menurut prediksi dokter kelahiran jagoan kecilku itu hanya tinggal menunggu hari. Karena kami hanya tinggal berdua saja di rumah kami yang sederhana itu maka aku tak bisa meninggalkannya terlalu lama meski terkadang pekerjaanku menuntutku untuk keluar rumah di malam buta sekalipun.
Aku duduk di sampingnya seraya memberikan segelas susu hangat untuknya, "ini di minum dulu!" seruku menyodorkannya ke mulutnya, dia menyeruput sedikit.
"Apa sudah terasa sakit?"
"Sepertinya hanya kontraksi biasa!"
"Apa kita perlu ke rumah sakit sekarang?"
"Tidak, jika sudah waktunya aku pasti bisa merasakannya. Hanya.....jangan pergi terlalu lama!"
"Aku hanya pergi sebentar menemui nara sumberku!"
"Tapi perasaanku tidak enak, bagaimana kalau kau cuti saja!" pinta Ratih,
"Aku cuti mulai besok, tapi hari ini aku sungguh harus pergi atau aku bisa di pecat!"
Sebenarnya, aku tak tega meninggalkannya seorang diri di saat seperti ini, tapi apa mau di kata daripada aku jadi pengangguran! Aku berada di titik inipun tidak mudah, setiap hari harus menguras keringat di bawah terik atau di dekap dingin malam, terkadang maut harus menyerempet leherku. Itu memang resiko, apalagi saat kau mengejar berita kriminal, entah apapun bentuknya.
Hari itu.....,
Lama ku tatap wajahnya, lalu dia melirik alat perekam di atas meja yang kami pilih untuk berbicara, "bisa kau matikan lalat itu?" pintanya, "jika ku matikan akan sulit nantinya aku menyusun artikelku!" sahutku,
"Selama alat itu masih menyala, aku tidak akan berbicara!"
Sial! Haruskah ku turuti permintaannya? Aku masih diam, tetapi dia malah mengangkat bokongnya dari kursi, "baiklah!" seruku menekan tombol off. Dia duduk kembali, tapi aku tidak bodoh, saat ku turunkan tanganku untuk mencari hpku di kantong celana.
"Jangan membodohiku, ku bilang tidak ada alat perekam, tidak juga hpmu!"
Keparat! Tahu saja dia kalau aku ingin merekam pembicaraan kami melalui perekam di hpku. Ku naikan kembali tanganku, "ok, tapi jangan terlalu berputar-putar, itu akan membuatku pusing dan sulit untuk mengingatnya nanti!" kataku menyanggupi.
"Ku pikir kau adalah seorang koresponden profesional, jadi kau pasti bisa mengingat semua ucapanku dengan mudah!"
"Baiklah, kalau begitu bisa kita kaita mulai. Kau bilang kau hanya punya waktu sebentar!" sekarang giliranku yang menekannya. Aku juga tak mau kalah, akan ku tunjukan aku bukanlah jurnalis kelas teri. Ku tatap dia dengan tajam pula, setajam matanya menatapku, pria 50 tahunan ini sepertinya sudah biasa oleh tekanan, tapi kali ini ia terlihat sedikit risau. Apakah yang akan di ceritakannya padaku benar-benar sebuah rahasia besar?
"Ini berawal dari Swarosky , sebuah organisasi rahasia yang kami bangun dengan harapan bisa menyelesaikan masalah dengan cepat tanpa bekas. Proyek ini awalnya baik-baik saja sebelum beberapa agen mengalami kerusakan, tapi sisi baiknya...lihatlah....kita bisa membuat beberapa negara yang mencoba menjatuhkan kita dari sisi manapun mulai gentar. Sisi buruknya...., seperti yang semua orang ketahui, beberapa agen yang mengalami kerusakan mulai membuat ulah hingga kami harus menghapusnya!"
"Melenyapkan mereka maksudnya?"
"Sama saja kan, sialnya....., ada dua produk kami yang cacat masih berkeliaran di luar sana dan sedang mencoba menghubungi pemerintah. Mereka adalah ancaman, bukan hanya bagi kami....tapi juga negara kita, jika sampai dunia mengetahui tentang proyek kami, maka artinya proyek itu benar gagal total. Dan kita akan sulit membangun proyek lain untuk melindungi negara ini!"
"Melindungi negara, itu alasan yang bagus. Lalu bagaimana dengan kalian yang menerima job di luar itu demi menghasilkan uang?"
Aku mulai menekannya dengan kasus beberapa hari ini yang sedang hangat dan merebak. Ku lihat dia mulai salah tingkah,
"Bagaimana pun proyek ini membutuhkan dana yang besar, kalian pikir para agen tak membutuhkan bayaran, apa kalian pikir untuk mencetak mereka itu juga tak butuh dana?" jawabnya, aku mulai dapat garis besarnya.
"Sampai berusaha membunuh para petinggi negara kita, memburu para pemimpin militer, itukah yang kalian sebut melindungi negara?"
"Apa kau pikir mereka semua bersih, tuan.... Koresponden! mereka tak lebih dari sekedar penjilat!" cibirnya dengan nada yang sungguh mengejek, "tak semuanya kotor, setidaknya ada yang menjadi salah sasaran, dan kurasa...itulah kegagalan proyek kalian!" balasku cukup berani, dia menyunggingkan senyum sinis yang membuatku muak. Tapi tiba-tiba....
Darr...pyarrr.....
Tubuhnya tersungkur kesamping bersamaan dengan bunyi tembakan yang melesat melubangi dinding kaca tepat di samping meja kami, hampir semua orang di ruangan itu menjerit histeris, aku langsung saja melonjak dari dudukku. Sebuah tembakan susulan menghampiriku saat aku berlari, tak hanya sekali, tetapi beberapa kali. Aku berhambur meninggalkan coffeshop bersama orang-orang, ku rasakan beberapa orang terkapar karena menerima peluru nyasar yang sepertinya harusnya untukku. Sorang sniper sepertinya di persiapkan untuk menghabisi kami berdua karena mencium pertemuan rahasia kami.
Aku terus berlari di jalanan mencari tempat berlindung, meski sudah tak ku dengar lagi lesatan peluru yang mengejarku. Langsung saja aku berlari menembus keramaian agar sulit bagi mereka menemukanku. Aku memasuki gang dengan terhuyung, tiba-tiba saja kepalaku jadi pening, dan baru ku rasakan ada rasa nyeri di sisi perutku. Aku berhenti dan melihat perutku yang ternyata ternoda oleh cairan merah yang kental, ku raba, aku terkejut ketika ku rasakan perutku berlubang, sepertinya cukup besar hingga saat ku masukan telunjukku bisa masuk, tapi aku masih hidup dengan darah mengucur dari perutku. Ku raba tembok agar tubuhku tak ambruk, kenapa tempat ini begitu sepi? Tidak adakah orang yang bisa membantuku? Ternyata peluru itu berhasil juga bersarang di tubuhku, entah kapan memasukinya, mungkin saat aku hendak berlari atau saat sedang berlari?
Aku mulai memaksakan diri untuk kembali berjalan, ku rasakan langkahku semakin berat. Ku dengar hpku berdering, ku raba kantong celanaku untuk menggapainya. Tetapi tubuhku malah ambruk ke dinding, aku masih mencoba untuk tak tersungkur, ku rogoh kantongku untuk mendapatkan hpku, nama istriku terpapar di layar, segera saja ku tekan tombol terima dan ku tempelkan di telingaku,
"Halo sayang....!" suaraku terengah, tapi suara di seberang sana lebih terengah dariku, "sayang, kau dimana?" tanyanya memburu, "aku....!"
"Argghhh....., sayang aku tidak kuat lagi. Hah....ufhhhh...., sepertinya....ufhhh....anak kita akan lahir....!"
Mataku terbeliak, aku mencoba berdiri tetapi kakiku terpeleset hingga jatuh terduduk, "sayang....,kau bisa panggil taksi saja!" suruhku,
"Ufhhhh.....ehmh.....aku...ufhhh....aku tidak kuat berjalan....hah....ada darah....!" suaranya makin tak karuan, sepertinya Ratih memang akan melahirkan secepatnya, bagaimana ini, aku harus segera pulang dan membawanya ke rumah sakit, aku tak mau terjadi sesuatu pada mereka. Tapi....sial! Tubuhku sulit sekali bergerak, tubuhku di banjiri oleh darahku sendiri. Bahkan ku rasakan kepalaku mulai berputar, pandanganku mulai berkunang-kunang tak karuan. Suara rintihan istriku tak mampu lagi aku tangkap.
Lebih sial lagi, di saat seperti ini ku lihat seseorang sudah berdiri di hadapanku. Entah darimana dia datang, aku tak sempat memperhatikan. Sebuah senjata api laras panjang dia acungkan ke arahku, tanganku mulai terkulai dengan hp masih ku genggam. Suara istriku masih bisa ku dengar sayu merintih-rintih dan berteriak, entah apa yang terjadi padanya, ku harap ada tetangga yang mendengar dan menolongnya mengingat kami termasuk warga yang berbaur dan menjaga sikap baik terhadap tetangga.
Ku rasakan tubuhku mulai bergetar, mungkin karena darahku sudah mendekati habis. Secara samar ku tatap wajah orang yang menatapku tajam dan beringas itu seraya menodongku, siap menghujamkan seluruh isi senjatanya ke tubuhku yang sudah tak berdaya ini, tapi aku masih berdoa semoga Tuhan mengirim seseorang untuk menyelamatkanku dari ini, aku masih ingin hidup. Ingin melihat istriku, ingin melihat buah cinta kami yang sedang di perjuangkannya dengan nyawanya, aku juga berdoa agar mereka bisa selamat dan baik-baik saja, dalam keadaan seperti ini aku jadi ingat...aku pernah melakukan sebuah kesalahan dan tak pernah memberitahukan Ratih.
Bahwa di awal pernikahan kami, aku masih sering berhubungan dengan mantan pacarku yang setahunya kami sudah putus sebelum aku mengenalnya. Rasa bersalah itu kini semakin terasa dan terlihat di mataku, aku ingin hidup untuk bisa meminta maaf padanya. Tapi sepertinya itu hanya akan menjadi rahasiaku saja, dan akan lenyap bersama rahasia proyek Swarosky yang baru saja aku ketahui. Ratih, maafkan aku!
* * * * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H