Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC] Kinanthi

16 Mei 2015   03:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:59 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14294219451831419103

KINANTHI


Oleh ; Y. Airy
No ; 55
Ia duduk di depan cermin, sekali lagi membenahi hiasan di sanggulnya. Parasnya yang ayu nan rupawan di hiasi dengan make up yang sederhana, ia memang tak suka berdandan menor. Sebuah suara membuatnya menoleh.

"Kinan, sudah siap?" tanya Haryo,
"Iya, sudah selesai kok!" sahutnya seraya berdiri dari duduknya.

Kinanthi adalah salah satu gerong di grup karawitannya, biasanya dalam satu grup ada dua gerong wanita dan dua gerong lelaki. Ia memang suka dengan lagu-lagu daerah, dan itu adalah salah satu mata pencahariannya pula. Hasil dari jobnya ia sisihkan untuk membayar kuliah dan membantu orang tuanya. Meski tidak banyak, tapi ia tetap semangat. Lahir dan tinggal di daerah yang kental dengan tradisi Jawanya, meski seiring perubahan jaman kesenian tradisional mulai sulit di kembangkan tapi Kinanthi yakin ia dan teman-temannya masih bisa mempertahankannya.

Memang ia juga suka lagu-lagu modern, kalau di kampus terkadang ia juga di minta ikut menyumbang lagu kalau ada acara pensi.

"Aku dengar kamu masih gabung di grup karawitanmu itu ya?" tanya Wiwin,
"Iya, emang kenapa?"
"Emang masih laku gitu?"
"Meskipun nggak serame grup dangdut atau band-band gitu, yang penting masih eksis. Lagipula kita kan nggak boleh lupain kesenian daerah kita. Aku justru punya cita-cita untuk bisa mengembangkannya!"
"Jadi kamu nggak bakalan hengkang, huh....sayang sekali. Padahal band kampus kita nawarin kamu jadi vocalis!"

Kinanthi melempar senyum manis pada temannya, "eh, sekarang itu kalau kita bisa kesenian daerah nggak bakal di bilang ketinggalan kok. Contohnya gini, kalau kita jadi tenar terus di request nampilin kesenian daerahmu masa' mau bilang nggak bisa, justru malu-maluin dong!" sahutnya.

*****

"Kinan, sudah selesai?" tanya Danang,
"Sebentar lagi mas!" sahutnya,

Sekali lagi ia memeriksa tasnya lalu berdiri dari kursi dan menghampiri Danang, suaminya. Cita-cita Kinanthi untuk mengembangkan kesenian daerahnya boleh di katakan cukup sukses, sekarang ia dan beberapa temannya melatih generasi muda. Dengan membuka sanggar kusus untuk kesenian tradisional di sela kesibukannya yang lain sebagai ibu rumah tangga dan pemilik sebuah butik. Profesinya sebagai desainer juga cukup sukses tapi ia tak melupakan tugasnya sebagai seorang istri, ia sangat pandai membagi waktu. Boleh di katakan tak pernah pulang terlambat ke rumah, setiap pagi juga masih mengutamakan keperluan suami dan anak-anaknya. Baginya keluarga tetap nomor satu, memang kesuksesan yang ia terima lebih dari suaminya yang menjabat sebagai manager personalia di sebuah perusahaan swasta. Tapi hal itu tak menjadikannya sombong dan angkuh pada sang suami, ia bisa menempatkan dimana posisinya. Di jaman sekarang memang, wanita memiliki hak yang sama untuk bisa memperoleh pendidikan tinggi. Tapi Ibu Kartini juga tak pernah mengajarkan agar posisi kita lebih tinggi dari laki-laki kan? Beliau ingin kita sebagai wanita menjadi pintar agar bisa menjadi istri dan ibu yang bisa membina rumah tangga dan anak-anaknya dengan baik. Bukan untuk melupakan tugas kita sebagai istri.

*****

Acara reuni sesama desainer yang di hadirinya saat ini boleh di katakan cumup mewah, beberapa temannya bahkan berpenampilan glamor. Dan ada juga yang membuatnya terkejut, bukan karena penampilan tapi sikap dan perilakunya.

Kinan beberapa kali melirik arlojinya, "kamu kenapa, dari tadi memperhatikan jam terus?" tanya Vina, "ini, sepertinya....aku tidak bisa lama. Aku mau ikut suami ada acara di rumah mertua!"
"Yah....nggak asyik dong kalau cuma sebentar. Acaranya masih lama loh, kamu tahu si Dita mengundang beberapa teman dari gebetannya. Masih brondong bok!"

Kinan hanya tersenyum getir, suasana seperti itu memang tak ia sukai. Itu sebabnya ia memilih untuk kabur dari acara itu, kalau bukan untuk menghormati sesama teman mungkin ia tidak akan datang dan lebih memilih bersantai dengan keluarga saja.

*****

Di hari senja sepeninggal sang suami, Kinan lebih menfokuskan diri sebagai pelatih vocal di sanggar karawitannya. Sekarang ada salah satu anaknya yang mengurus butiknya, ia terus memberi semangat para anak didiknya untuk tidak pernah meninggalkan tradisi daerah meski pun kita juga menggeluti kesenian modern tapi bukan berarti kita harus melupakan darimana kita berasal. Kita harus bisa menguasainya secara seimbang, sikapnya yang ramah dan bijak membuat banyak anak muda yang tetap mau belajar kesenian daerah. Salah satu anaknya juga ikut membantunya di sana, yang kelak juga akan meneruskan perjuangannya.

Kenyataannya kesenian daerah ternyata juga di minati di luar negeri, bahkan tak jarang warga asing juga tertarik untuk ikut belajar.

*****

"Ibu, ini tehnya!" seru Nada,

Kinanthi menerima teh dari putrinya, ia sedang duduk di depan televisi menyaksikan satu grup dari anak didiknya sedang mengikuti ajang perlombaan untuk bisa mewakili negara ini ke dunia International nantinya. Karena usianya yang sudah uzur ia memilih untuk menyaksikan dari rumah saja, karena kedatangannya sudah di wakilnya oleh Darma, putranya yang membantunya di sanggar selama ini dan juga beberapa temannya yang merasa masih sehat. Terkadang di saat seperti itu ia juga merindukan kehadiran sang suami yang selalu mendukung di setiap langkahnya. Ia menyeruput teh hangatnya seraya melirik sebuah lukisan besar di dinding, lukisan seorang wanita yang sangat menginspirasinya. Lalu ia tersenyum hangat, ia percaya wanita dalam lukisan itu tak kecewa padanya. Wanita dalam lukisan itu adalah Raden Ajeng Kartini, sosok wanita yang telah memberi kesempatan bagi para wanita untuk bisa berkarya, untuk bisa menjadi lebih pintar, untuk bisa berkembang tanpa melupakan tradisi dan posisinya.

**********

20 April 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun