Alisa....seandainya aku bisa, aku ingin ada di sana. Di sampingmu, memelukmu, tapi aku tak bisa lakukan itu sekarang. Aku tidak bisa!
Ridwan hanya mampu terpaku di sana, di tempatnya berdiri. Menyaksikan kedua wanita itu menangis bersama, airmatanya juga turut tumpah. Tapi ia tak bisa melakukan apapun, selain hanya bisa menyaksikan. Bahkan sampai di pemakaman, ingin sekali ia memeluk Alisa. Menyeka airmatanya, tapi lagi-lagi ia hanya bisa diam menatapnya. Meski ia sempat melihat Alisa meliriknya dengan airmata, tapi keberadaan Nadine membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Dan ia juga tak bisa menyalahkan Nadine atas hal itu.
Setelah mengantar Alisa ke rumahnya, Nadine langsung minta di antar pulang.
"Sebenarnya aku nggak tega meninggalkan Alisa di saat seperti ini, apa sebaiknya aku kembali dan menemaninya saja?"
"Ehm....itu...., aku rasa mungkin dia sedang butuh sendiri!"
"Begitukah?"
"Terkadang itu perlu kan!"
"Aku tak bisa membayangkan jika aku ada pada posisinya, baru saja berkumpul dan sekarang sudah harus berpisah lagi!"
Ridwan terdiam, ia juga merasakan hal yang sama. Ia bahkan menyesal tak bisa meminjamkan bahunya kepada wanita itu di saat wanita itu begitu membutuhkannya. Ia hanya bisa memandangnya dalam diam. Rasanya setelah mengantar Nadine ia ingin segera berlari menemui Alisa, tapi apakah di saat seperti ini Alisa akan menyambutnya?
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H