"Aku masih ingat, dulu kita selalu menikmati kembang api bersama setiap tahun baru tiba!" seruku.
"Ya, langit tahun baru memang selalu meriah!" sahut Indira.
Kami diam untuk beberapa saat, Indira duduk memandangku dengan wajah pucatku di atas kursi roda. Tapi aku sedang tersenyum memandangnya.
"setelah punya dua anak kau terlihat sedikit gemukan!" desisku.
Indira tersenyum mendengar ucapanku. Sebenarnya aku ingin berkata bahwa dia cantik sekali, tapi mulutku tak mampu mengeluarkan kata-kata itu. Kini kami duduk berdua di teras belakang rumahku setelah hampir 8 tahun kami tak pernah bertatap muka. Indira tinggal di Padang setelah menikah dengan Frans, senior kami di fakultas hukum dulu.
Aku dan Indira adalah teman sejak kecil, kami tumbuh bersama. Sejak SD, SMP, SMU, bahkan kami masuk Universitas yang sama, fakultas yang sama. Sampai kebersamaan kami harus berakhir sejak Seniorku memintaku mendekatkannya dengan Indira. Gadis pujaanku sejak Sekolah Dasar. Aku melakukannya, dan akhirnya mereka menjalin hubungan. Aku hanya tak menyangka, kalau hubungan mereka akan sampai di pelaminan. Sedari dulu aku selalu ingin menyatakan perasaanku setiap kami melihat kembang api bersama di malam tahun baru, tapi jika saat itu tiba mulutku malah jadi kelu. Rasanya ada yang mencekik jakunku dengan kencang hingga aku tak mampu bersuara. Dan bodohnya....kenapa aku setuju mencomblangkan Frans dengan Indira. Aku jadi menyesal saat aku tahu Indira menerima cinta Frans.
Seharusnya ku katakan padanya sejak dulu bahwa aku sangat mencintainya, mungkin aku bisa menikmati cinta yang indah bersamanya. Tapi sejak aku tahu bahwa diriku mengidap kelainan jantung, aku jadi merasa.....bahwa aku tidak menyesal menyatukan Frans dengan Indira. Frans pria yang baik dan bertanggung jawab. Selama mereka pacaran, Indira tak pernah curhat padaku bahwa Frans menyakiti hatinya atau apa. Dan aku senang, kini mereka memiliki putra-putri yang tampan dan cantik. Setidaknya Frans masih bisa menemaninya entah sampai kapan, karena dia sehat dan tidak penyakitan seperti diriku.
*****
Aku sudah menjalani beberapa operasi, tapi jika tidak ada donor jantung bagiku maka aku tidak akan hidup lebih lama lagi. Dan aku sudah pasrah, semua gaji yang ku tabung saat masih bekerja sebagai pengacara sudah habis untuk pengobatan. Bahkan orangtuaku juga mengekuarkan banyak biaya untuk pengobatan yang hingga kini tak ada hasilnya. Aku tak mau membuat kedua orangtuaku lebih susah, maka aku memutuskan untuk pasrah dengan semua yang terjadi padaku. Jika memang Tuhan menghendakiku mati, pengobatan apapun yang di usahakan pasti tidak akan berhasil. Bukankah tidak seorang pun di dunia ini yang bisa melawan takdir yang sudah di gariskan -NYA.
"Indi, maukah kau mendorongku ke kolam?"
"Apa?"
"Maksudku, aku ingin kita ngobrol di dekat kolam."
"Oh...., kupikir....!"
"Aku menyuruhmu mendorongku ke dalam kolam agar segera mati. Aku tak butuh lakukan itu!"
"Akmal....!"
"Aku ingin melihat kembang api sekali lagi bersamamu sebelum aku pergi!"
Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, tanpa berkata ia pun bangkit dan mendorongku menuju kolam. Kami berhenti di pinggir kolam, langit malam lumayan cerah. Bulan separo nampak bersinar indah, beberapa bintang mengintip redup. Di tepi kolam memang ada kembang api yang sudah aku siapkan tadi sore. Rencananya aku ingin melihat kembang api sendiri malam ini, tapi beberapa saat lalu aku di kejutkan oleh kedatangan Indira bersama suami dan anak-anak mereka. Ternyata orang tuaku yang sengaja mendatangkan mereka dan menceritakan semuanya. Entah apa saja yang ayah dan ibuku ceritakan pada mereka. Hingga sekarang aku bisa bicara berdua dengan wanita yang aku cintai sejak kami masih sama-sama mengeja huruf di SD.
Indira berlutut di sampingku, ia meraih lenganku.
"Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku?"
"Katakan apa?" tanyaku.
"Bahwa kau mencintaiku sejak dulu!"
Aku terdiam, menatapnya.
"Indi!" desisku,
"Apa kau tidak tahu....., aku selalu menunggumu mengatakan bahwa kau suka padaku. Tapi kau malah memberikanku pada orang lain. Ku pikir...., kau memang hanya menganggap kita sebagai teman. Kenapa lakukan ini pada kita?"
Aitmatanya menetes, aku baru tahu bahwa ternyata aku salah selama ini. Ku pikir Indilah yang hanya menganggapku sebagai teman. Ternyata....dia menungguku. Dia menungguku menyatakan perasaanku padanya. Jadi aku tidak bertepuk sebelah tangan?
"Maafkan aku! Setelahku pikir....ternyata seperti ini lebih baik. Aku percaya Frans bisa menjagamu dengan baik. Jika kau menikah denganku.....aku pasti sangat merepotkanmu!"
Airmatanya semakin deras, dan itu membuatku perih. Aku mengangkat tanganku ke arah wajahnya, ku usap aliran airmatanya.
"Tak ada yang perlu di tangisi, aku tidak apa-apa. Aku bahagia melihatmu....bahagia. Aku tak ingin tak ada airmata malam ini, ku mohon!"
"Akmal!" desisnya.
"Maukah menyalakan kembang apinya, aku tidak sampai!"
Indira menyeka airmatanya dan tersenyum. Ia mengangguk dan memungut korek di tanganku. Ia berdiri, berjalan ke arah kembang api yang aku susun tak jauh dari kami. Ia mulai menyulut sumbunya dan kembali ke sisiku. Terlihat percikan api mulai meluncur ke atas dan mengeluarkan suara keras. Menyebarkan bunga-bunga cahaya yang indah. Ini akan menjadi kembang api terakhir yang nikmati bersama, aku merasakan dadaku kembali di serang rasa sakit yang tiada tara. Tapi ku biarkan saja, aku sulit bernafas tapi ku biarkan saja. Aku masih ingin tersenyum, tersenyum bersama Indi. Untuk yang terakhir kali. Dan aku benar tidak pernah menyesal dengan semua yang terjadi, aku bahagia karena Indi menikah dengan Pria yang bisa membuatnya bahagia, meski aku sempat merasakan sakit karena tak bisa memiliki cintanya. Tapi kini aku tahu, bahwa aku memiliki cinta Indi. Memiliki cintanya sejak kami masih belum mengenal apa itu cinta.
Ku rasakan pandanganku mulai kabur, tangan Indi masih menggengamku. Masih bisa ku rasakan. Ku sandarkan kepalaku, sekali lagi aku menoleh padanya, memandang wajahnya yang cantik di bawah kerlipan kembang api yang terus meluncur indah ke atas. Dia tersenyum memandangi pancaran bunga-bunga api itu, sempat ku dengar ia berdesis "Indah sekali ya!" sebelum semua menjadi gelap dan tak lagi bisa ku rasakan apapun. Tapi aku seperti melihat Inda menoleh padaku, ia menangis dan mempererat genggangamnya di tanganku.
***********
Jakarta, Oktober 2014
Y. Airy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H