"Kakek tak usah memikirkan hal itu ya, mungkin kakek benar. Rey hanya sedang emosi saja. Lagipula....ini urusan hati kami. Aku....akan memikirkannya!"
*****
Nicky duduk di ruang kerjanya. Ia masih terngiang kalimat Liana soal Rey yang menyatakan perasaannya. Dan semalam gadis itu menanyakan Rey saat dirinya pulang. Apakah yang di cintai Liana itu Rey, bukan dirinya. Tapi kenapa kemarin dia tak menolak ciumannya, kenapa kemarin dia malah bersikap seolah menyukai dirinya? Begitu banyak pertanyaan mulai berperang di otak dan hatinya.
Saat sarapan pagi, suasana jadi aneh kembali. Nicky kembali bersikap kaku dan dingin, bahkan tidak meliriknya sama sekali. Sedangkan Rey memang sesekali memandangnya, tapi sorot matanya terasa menyeramkan. Liana memilih melirik kakek Willy dan sesekali Lisa. Yang nampaknya sudah mulai biasa dengan kehadirannya. Ia tak banyak berkomentar lagi sekarang, tampak lebih tenang. Dan hati Liana lebih mengkhawatirkan Nicky sekarang, kemarin - semalam Nicky bersikap manis padanya, bahkan cenderung agresif. Dan pagi ini.....sikap pria itu kembali seperti pada saat pertama dirinya berada di rumah ini.
Bahkan sampai di kantor, pria itu juga tak menunggunya masuk. Sama sekali tak ada panggilan ke ruangannya selama jam kerja. Saat meeting pria itu juga tak memberinya respon apapun, malahan Daren dan Mela yang banyak membantunya.
Liana duduk di mejanya, menyangga dagunya. Ia menunggu Nicky memanggilnya ke ruangannya dan mungkin mereka bisa bicara akrab seperti kemarin. Ada bunyi bib dari handphonenya, ia segera mengambilnya dan membaca pesan masuk itu. Tapi ternyata itu bukan dari orang yang ia harapkan. Melainkan Rey.
Bisakah ke ruanganku sebentar, penting!
Liana terdiam sejenak, lalu berdiri dari kursinya. Jantungnya mulai berdebar ketika mendekati ruangan Rey. Ia masuk dengan hati-hati, takut Rey akan langsung menyeretnya dan mencengkeram lehernya kembali. Di lihatnya pria itu sedang duduk di balik meja dan sedang menelpon seseorang. Suaranya cukup berbisik hingga Liana tak bisa menangkap percakapannya. Ruangan itu memang tak sebesar ruangan Nicky, tapi lumayan besar dari ruangan lainnya juga. Liana melangkah ke sofa dan duduk di sana karena tak ingin mengganggu percakapannya. Sekarang ia tahu bagaimana kalau Rey sedang marah, kebih menyeramkan dari Nicky.
Liana memandangi sekeliling ruangan untuk menunggu Rey selesai menelpon. Ia berfikir apalagi yang ingin Rey bicarakan? Apakah masih menagih jawabannya? Lalu ia harus menjawab apa?
Terdengar suara langkah kaki pelan mendekatinya, Liana menoleh. Pria itu kini duduk di sisinya. Liana sedikit menggeser duduknya, Rey memperhatikannya.
Masih hening!
"Liana, jangan takut padaku!" desisnya, gadis itu tak menyahut. "Aku tahu, kemarin aku memang kasar padamu. Maafkan aku!"