Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sayap-sayap Patah Sang Bidadari ~ Inheritance #Part 33

4 Desember 2014   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari masih gelap, udara masih cukup dingin. Pun embun pagi masih membasahi kulit bumi, Liana sudah berada di antara bunga-bunga yang bermekaran indah. Bunga yang baru saja bangun dari kuncupnya, menebarkan harum aura perawannya yang semerbak. Sang kumbang belum muncul tuk menggauli, mungkin masih terbuai oleh mimpi di sarangnya.

Liana menilik beberapa bunga yang masih basah oleh embun fajar, tapi ia lebih tertarik dengan mawar merah dan putih yang nampak anggun itu. Masih setengah mekar, ia memetiknya beberapa tangkai dengan daun yang masih menempel beberapa lembar. Menyatukannya, lalu ia menarik pita merah yang ia ikatkan pada rambutnya selepas bangun tadi. Ia mengikat tangkai bunga itu dengan pitanya, agar menjadi kesatuan yang indah. Ia pun tersenyum memandangi bunga-bunga di tangannya, mencium keharumannya sejenak lalu melangkah ke dalam rumah.

Liana berjalan pelan ke arah kamar William sambil melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka 5.00, ia berhenti tepat di depan kamar utama itu. Mengangkat tangannya tinggi untuk mengetuk, tapi ia tak mengetukan tinjunya. Ia berfikir sejenak lalu menurunkan tangannya ke gagang pintu, menengok kanan-kiri untuk memastikan masih aman.

Perlahan ia memutar gagang pintu itu, memang tak pernah di kunci agar kalau terjadi apa-apa Jaya bisa langsung masuk. Ia pun masuk secara perlahan, mendorong daun pintunya dengan super pelan agar tak menimbulkan suara. Di lihatnya pria tua itu masih terlelap di bawah lampu tidur yang redup. Liana bergerak ke sambil untuk menyalakan lampu. Terang lampu yang tergantung di langit-langit menyilaukan mata yang masih terpejam, seketika William mengencangkan matanya yang masih terkatup. Liana langsung menyembunyikan bunga di tangannya ke punggungnya.

William mengusap matanya beberapa kali, masih kurang jelas. Tentu, dia butuh kacamatanya. Maka dari itu ia meraihkan tangannya ke meja di samping ranjangnya. Liana langsung memungut kaca mata itu dan menaruhnya di tangan sang kakek. Orang tua itu langsung memakainya, lalu menoleh ke sosok yang berdiri tak jauh darinya.

"Liana!" desisnya.

Gadis itu memasang senyum lebar yang manis.

"Ada apa kau membangunkan kakek pagi-pagi buta begini?"
"Ehm....., tidak ada apa-apa kek. Cuma.....!" Liana duduk di samping pria tua itu yang sekarang juga sudah duduk bersandar. Liana masih menyembunyikan tangannya di belakang.
"Kenapa senyum-senyum, jangan membuat kakek penasara?"

Liana menarik tangannya dari punggungnya dan menyodorkan rangkaian mawar merah dan putih itu ke hadapan sang kakek seraya berseru,
"Selamat ulang tahun!" katanya dengan senyuman.

William terperangah, menatap rangkaian mawar itu lalu merambat ke wajah gadis di depannya. Kemudian ia tersenyum girang.
"Jadi kau menyelinap masuk ke kamarku untuk memberikan kejutan ini!" katanya memungut rangkaian bunga itu lalu mencium harumnya.
"Aku...., tidak bisa memberikan apa-apa kepada kakek. Hanya bunga itu yang mampu ku berikan, menurutku bunga mawar jauh lebih romantis!"

William tertawa lembut. Nicky yang menuju kamar kakeknya dengan niat yang sama mendengar tawa itu. Ia berhenti di depan kamar yang setengah terbuka itu, terlihat olehnya seorang gadis berambut panjang duduk di pinggiran kasur kakeknya di saat hari masih gelap. Ada tawa yang keluar dari kedunya, sejak gadis itu menginjakan kaki ke rumah ini. Tawa mulai kembali bergemuruh memenuhi dinding dan sudut ruangan, terutama kamar kakeknya. Gadis itu benar-benar mengembalikan tawa yang telah lama hilang dari rumah ini.

"Kakek ini bicara apa, aku kan tidak mungkin menikah dengan kakek!"
"Memangnya kenapa, karena kakek sudah renta?" gurau William,
"Kakek kan sangat mencintai almarhumah nenek, aku tidak mau menjadi orang ketiga!" balasnya. "lagipula.....!" Liana terdiam sambil menunduk.
"Lagipula apa?"
"Aku.....,"
"Kau lebih mencintai cucuku?"

Liana tersipu malu, William tersenyum bahagia.
"Kakek senang mengetahuinya!"
"Tapi.....,"
"Ada apa lagi?"

Ada keheningan sejenak.

"Kakek harus janji tidak akan mengatakan pada siapapun!"
"Apa itu?"
"Ehm....., Rey juga menyatakan perasaannya padaku!"
"Lalu?"

Nicky mengernyit di luar pintu.

Rey!

Ia menengok sekali lagi ke dalam lalu melangkah pergi.

William masih menunggu jawaban Liana.

"Aku sudah menolaknya, tapi sepertinya dia belum bisa menerima itu!"
William masih diam. Menatapnya, ia tahu gadis itu masih akan mengatakan sesuatu. Matanya mulai sembab.
"Rey bilang....., jika dia tak bisa memilikiku maka tak seorang pun bisa. Kek, aku takut jika aku masih menolak dia akan melakukan sesuatu. Aku tahu ancamannya tidak main-main, aku tidak mau dia sampai melakukan hal yang nekat, seperti.....melukai Nicky mungkin!"
"Rey mengancammu?"
"Aku tahu seharusnya aku tak cerita ini pada kakek, tapi.....aku tidak tahu harus bagaimana sekarang!" airmata mulai mengaliri pipinya.

William terdiam, nampak sedang berfikir.
"Hari ini...., aku harus memberinya jawaban pasti. Kek, aku mencintai Nicky tapi.....jika aku tetap menolak Rey......!"
"Liana, mungkin Rey hanya sedang emosi. Dia pernah di khianati oleh wanita yang sangat di cintainya, dan itu mungkin masih menyisakan trauma!"
"Dia bilang akan menghancurkan apapun yang tak bisa ia miliki!" desis Liana.
"Liana!"
"Aku mulai khawatir kek!"
"Nanti biar kakek yang bicara padanya!"
"Jangan kek, nanti dia malah bisa salah paham dengan kakek!"
"Tapi Liana.....,"
"Aku akan memikirkan caranya, untuk mengulur waktu.....semoga saja.....dia mau mengerti!"
"Tadi kau bilang.....,"
"Aku tahu. Saat ini aku memang masih tak tahu harus bagaimana, tapi nanti....Tuhan pasti akan memberikan jalannya!"

Liana terdiam, ia jadi berfikir. Harusnya ia tak menceritakan semua itu pada kakek Willy. Hal itu pasti akan menambah beban pikirannya.

"Kakek tak usah memikirkan hal itu ya, mungkin kakek benar. Rey hanya sedang emosi saja. Lagipula....ini urusan hati kami. Aku....akan memikirkannya!"

*****

Nicky duduk di ruang kerjanya. Ia masih terngiang kalimat Liana soal Rey yang menyatakan perasaannya. Dan semalam gadis itu menanyakan Rey saat dirinya pulang. Apakah yang di cintai Liana itu Rey, bukan dirinya. Tapi kenapa kemarin dia tak menolak ciumannya, kenapa kemarin dia malah bersikap seolah menyukai dirinya? Begitu banyak pertanyaan mulai berperang di otak dan hatinya.

Saat sarapan pagi, suasana jadi aneh kembali. Nicky kembali bersikap kaku dan dingin, bahkan tidak meliriknya sama sekali. Sedangkan Rey memang sesekali memandangnya, tapi sorot matanya terasa menyeramkan. Liana memilih melirik kakek Willy dan sesekali Lisa. Yang nampaknya sudah mulai biasa dengan kehadirannya. Ia tak banyak berkomentar lagi sekarang, tampak lebih tenang. Dan hati Liana lebih mengkhawatirkan Nicky sekarang, kemarin - semalam Nicky bersikap manis padanya, bahkan cenderung agresif. Dan pagi ini.....sikap pria itu kembali seperti pada saat pertama dirinya berada di rumah ini.

Bahkan sampai di kantor, pria itu juga tak menunggunya masuk. Sama sekali tak ada panggilan ke ruangannya selama jam kerja. Saat meeting pria itu juga tak memberinya respon apapun, malahan Daren dan Mela yang banyak membantunya.

Liana duduk di mejanya, menyangga dagunya. Ia menunggu Nicky memanggilnya ke ruangannya dan mungkin mereka bisa bicara akrab seperti kemarin. Ada bunyi bib dari handphonenya, ia segera mengambilnya dan membaca pesan masuk itu. Tapi ternyata itu bukan dari orang yang ia harapkan. Melainkan Rey.

Bisakah ke ruanganku sebentar, penting!


Liana terdiam sejenak, lalu berdiri dari kursinya. Jantungnya mulai berdebar ketika mendekati ruangan Rey. Ia masuk dengan hati-hati, takut Rey akan langsung menyeretnya dan mencengkeram lehernya kembali. Di lihatnya pria itu sedang duduk di balik meja dan sedang menelpon seseorang. Suaranya cukup berbisik hingga Liana tak bisa menangkap percakapannya. Ruangan itu memang tak sebesar ruangan Nicky, tapi lumayan besar dari ruangan lainnya juga. Liana melangkah ke sofa dan duduk di sana karena tak ingin mengganggu percakapannya. Sekarang ia tahu bagaimana kalau Rey sedang marah, kebih menyeramkan dari Nicky.

Liana memandangi sekeliling ruangan untuk menunggu Rey selesai menelpon. Ia berfikir apalagi yang ingin Rey bicarakan? Apakah masih menagih jawabannya? Lalu ia harus menjawab apa?

Terdengar suara langkah kaki pelan mendekatinya, Liana menoleh. Pria itu kini duduk di sisinya. Liana sedikit menggeser duduknya, Rey memperhatikannya.

Masih hening!

"Liana, jangan takut padaku!" desisnya, gadis itu tak menyahut. "Aku tahu, kemarin aku memang kasar padamu. Maafkan aku!"

Liana masih diam.

"Tapi....., aku tetap ingin mendapatkan jawaban darimu. Apapun itu!"
"Em..., Rey. Aku.....!" desis Liana tanpa menoleh. Tubuhnya sedikit gemetar, ia takut untuk mengucapkan kata.
"Apakah kau sudah memikirkannya baik-baik? Katakan saja!"

Liana diam sejenak, lalu menghela nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Aku....., aku tak bisa mengubah jawabannya. Aku tidak peduli Nicky mencintaiku atau tidak, tapi aku mencintainya. Maafkan aku Rey, jika keputusanku tetap mengecewakanmu!"

Pria itu diam membisu, tak bereaksi. Liana menoleh padanya. Menatapnya, Rey masih terpaku.

"Maafkan aku!" desis Liana sekali lagi lalu berdiri dan mulai melangkah untuk meninggalkan tempat itu, tapi tangan Rey menarik lengannya ke belakang hingga tubuhnya berputar dan menubruk pria itu yang sudah berdiri.

Rey langsung mendengkapnya erat. Liana terperanjat, dan ia hanya bisa diam membiarkan pria itu memeluknya. Nicky membuka membuka pintu ruangan Rey, tubuhnya terpaku melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Rey melirik dan melihat sepupunya di ambang pintu, tapi ia bukannya melepaskan pelukannya malah mempereratnya dan menenggelamkan wajahnya ke rambut gadis itu. Liana masih diam, seolah membiarkan hal itu terjadi. Ia bahkan tidak tahu kalau Nicky ada di belakangnya.

**********

Sayap - sayap Patah sang Bidadari Trilogi ;

# S.S.P.B ~ Inheritance ( first novel )

Tayang dua kali seminggu, Senin & Kamis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun