Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Kali Ini

16 Februari 2015   05:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah dua hari hujan tak kunjung reda, dari lebat menyusut ke gerimis lalu melebat kembali. Terus berulang, aku berjalan dengan semangat tinggi membawa payung berwarna ungu. Beberapa menit lalu sebuah pesan masuk ke inboxku. Sebuah pesan singkat yang membuatku tersenyum tiada henti seperti orang gila. Mungkin aku memang sudah gila, anggap saja begitu. Aku tak berhenti tersenyum sejak keluar dari rumah meski cuaca tidak mendukung, jangankan cuaca situasipun cukup menghalangi. Genangan air dimana-mana, tapi tak membuat tekadku surut.

Lagipula tempat yang ku tuju tidak terlalu jauh dariku, dan aku tak harus melewati genangan air yang hingga sepinggang. Hanya semata kaki saja, aku sudah bisa melihat sosoknya yang mampu membuatku klepek-klepek. Posturnya yang tinggi tegap, kulitnya yang coklat maskulin, tangannya yang kekar. Huh....., dingin-dingin begini enak kali ya kalo pelukan?

Ku pukul sisi kepalaku karena membayangkan hal itu, cewe macam apa sih minta di peluk duluan! Akhirnya aku harus memaki diriku sendiri. Jantungku mulai berdegup kencang nggak karuan, rasanya kaya' mau copot deh, eh tapi jangan copot dulu. Aku masih belum mau mati sekarang, masih banyak yang harus ku lakukan. Ku hampiri dia secara perlahan, debaran di balik tulang rusukku makin menjadi rupanya. Ku coba memegang hanya untuk mengontrol apakah jantungku masih menempel di dalamnya.

Dia berdiri di depan sebuah minimart, tempat janjian kami. Sedikit aneh sih, biasanya kami akan mencari restoran atau caffe untuk bertemu mengingat jadwalnya yang padat mirip jalanan di Jakarta. Aku tak mempertanyakan kenapa memilih tempat ini, yang ingin aku tahu hal sepenting apakah yang ingin ia utarakan sehingga memintaku datang mendadak secepat kilat. Seperti permintaannya, aku langsung meluncur ke TKP setelah membaca pesannya.

Dia melihatku datang, biasanya ia memasang senyum lembut yang membuatku melayang. Tapi kali ini ia tak menampakan ekspresi apapun. Aku jadi makin deg-degan nih.

"Mas Revan, lama ya nunggunya!" tanyaku berbasa-basi.
"Maaf, membuatmu hujan-hujanan."
"Kita memang suka main hujan kan!" sahutku menjauhkan payung unguku ke tepi. Tapi masih di tanganku, "kenapa mas Revan meminta bertemu dadakan begini?"

Dia masih terdiam menatapku, ada sesuatu di matanya yang tak mampu ku baca. Mungkin karena aku terlalu tergila-gila padanya. Aku menatapnya dengan cinta, dia memang cinta pertamaku! Kulihat dia menghela nafas panjang sebelum membuka mulutnya.

"Maafkan aku!" desisnya,
Kenapa minta maaf? Pertanyaan itu ingin terlintar dari lidahku tapi aku hanya terdiam. Menunggunya melanjutkan kata.
"Seharusnya ku katakan ini sejak lama, tapi aku selalu tak memiliki kesempatan yang tepat untuk melakukannya!" tambahnya, aku masih diam, heran, tak mengerti. "aku akan pergi!"

Aku masih diam, apa dia sedang bercanda? Pergi kemana?

"Aku akan pergi jauh darimu!"

Aku sedikit tersenyum, "mas Revan sering pergi jauh kan!" sahutku, setahuku dia memang sering pergi keluar negeri karena urusan pekerjaan. "aku serius, kita tidak akan bertemu lagi?"
"Maksudnya?" heranku,
"Minggu lalu, saat ku bilang aku pergi ke Singapore. Aku memang pergi ke sana, tapi....bukan untuk pekerjaanku!"

Aku masih menunggu,

"Aku.... Aku menikah di sana!"

Derrr.....

Kalimat itu seperti petir yang menyambar telingaku, aku tak percaya itu. Ku sunggingkan senyum di bibirku, "mas Revan jangan bercanda, itu tidak lucu!" desisku dengan tawa kecil, tapi ekspresinya yang serius menghilangkan tawa dan senyumku.

"A-apakah...itu benar?" tanyaku dengan gagap. "seharusnya aku memberitahumu tentang hal itu, tapi aku selalu tak mampu ketika kita sudah bersama, maafkan aku!"

Aku hanya terdiam, tak mampu berucap lagi. Menatapnya dengan mata yang mulai panas, "aku sudah bertunangan saat bertemu denganmu, tapi entah mengapa.....aku tak bisa, melawan hatiku. Saat kita bersama, aku...... Hari pernikahan kami memang sudah di tentukan dan tak bisa di hindari!"

"Jadi....., maksudnya.....selama ini, aku.....aku cuma selingkuhan mas Revan. Begitu?" kataku terbata, "maafkan aku!" desisnya.

Tanganku jadi seringan daun, melayang dengan mudah ke pipinya. Membuat pipinya terlempar ke samping. Butiran bening mulai muncul dan menganak sungai di pipiku sendiri. Dengan sedu aku mulai berkata lagi,

"Kenapa kamu tega mas, kenapa kamu tega sama aku? Karena aku masih belasan jadi kamu pikir kamu bisa tipu seenaknya. Setelah itu kamu buang aku kaya' sampah!"
"Aku tidak bermaksud seperti itu?"
"Tapi kamu melakukannya, kamu sadar kamu bakal nikah sama orang lain tapi kamu merayuku!"
"Aya!"
"Aku benci sama kamu!" seruku mendorong tubuhnya, aku sudah tak ingat lagi payung ungu yang tadi di tanganku.
"Aya!" dia mencoba meraihku tapi aku meronta, "lepaskan!" ku dorong dia dengan lemah karena tulangku serasa meleleh. Tanpa sadar aku malah sudah berada di dekapannya, menangis di dadanya. Dadaku rasanya sakit sekali, mau meledak.

"Maafkan aku, Aya. Maafkan aku!"
"Jangan sentuh aku!" desisku lirih, "aku nggak mau kau sentuh!" lanjutku dengan geram. Perlahan dia melepaskanku. Kulirik jemarinya, sebuah cincin berlian terselip di sana. Minggu lalu saat dia pergi cincin itu belum ada. Jadi dia benar sudah menikah minggu lalu! Aku merasa sangat bodoh sekali, tertipu rayuannya.

Pria tampan itu hampir semuanya sama, buaya, penipu! Sekali lagi ku tatap matanya. Aku tak akan memohon, aku tidak akan mengemis. Tanpa berkata lagi aku berbalik dan mulai melangkah. Entah, apakah dunia ini tahu apa yang aku rasakan? Hujan melebat begitu saja, angin pun bertiup kencang. Tubuhku terguyur hingga menyatu dengan air hujan, aku tak bisa merasakan lagi langkahku. Meski bisa ku rasakan dia masih menatap punggungku. Airmataku mengalir deras, tapi sudah tak bisa ku bedakan lagi karena air hujan menyiraminya. Aku keluar rumah dengan hati berbunga-bunga, tapi sekarang entahlah....apakah aku bisa sampai rumah nantinya? Aku berharap ini hanya mimpi, atau aku berharap ada sesuatu yang menghempas tubuhku agar aku tak bisa merasakan apapun lagi.

**********

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun