Aku masih menunggu,
"Aku.... Aku menikah di sana!"
Derrr.....
Kalimat itu seperti petir yang menyambar telingaku, aku tak percaya itu. Ku sunggingkan senyum di bibirku, "mas Revan jangan bercanda, itu tidak lucu!" desisku dengan tawa kecil, tapi ekspresinya yang serius menghilangkan tawa dan senyumku.
"A-apakah...itu benar?" tanyaku dengan gagap. "seharusnya aku memberitahumu tentang hal itu, tapi aku selalu tak mampu ketika kita sudah bersama, maafkan aku!"
Aku hanya terdiam, tak mampu berucap lagi. Menatapnya dengan mata yang mulai panas, "aku sudah bertunangan saat bertemu denganmu, tapi entah mengapa.....aku tak bisa, melawan hatiku. Saat kita bersama, aku...... Hari pernikahan kami memang sudah di tentukan dan tak bisa di hindari!"
"Jadi....., maksudnya.....selama ini, aku.....aku cuma selingkuhan mas Revan. Begitu?" kataku terbata, "maafkan aku!" desisnya.
Tanganku jadi seringan daun, melayang dengan mudah ke pipinya. Membuat pipinya terlempar ke samping. Butiran bening mulai muncul dan menganak sungai di pipiku sendiri. Dengan sedu aku mulai berkata lagi,
"Kenapa kamu tega mas, kenapa kamu tega sama aku? Karena aku masih belasan jadi kamu pikir kamu bisa tipu seenaknya. Setelah itu kamu buang aku kaya' sampah!"
"Aku tidak bermaksud seperti itu?"
"Tapi kamu melakukannya, kamu sadar kamu bakal nikah sama orang lain tapi kamu merayuku!"
"Aya!"
"Aku benci sama kamu!" seruku mendorong tubuhnya, aku sudah tak ingat lagi payung ungu yang tadi di tanganku.
"Aya!" dia mencoba meraihku tapi aku meronta, "lepaskan!" ku dorong dia dengan lemah karena tulangku serasa meleleh. Tanpa sadar aku malah sudah berada di dekapannya, menangis di dadanya. Dadaku rasanya sakit sekali, mau meledak.
"Maafkan aku, Aya. Maafkan aku!"
"Jangan sentuh aku!" desisku lirih, "aku nggak mau kau sentuh!" lanjutku dengan geram. Perlahan dia melepaskanku. Kulirik jemarinya, sebuah cincin berlian terselip di sana. Minggu lalu saat dia pergi cincin itu belum ada. Jadi dia benar sudah menikah minggu lalu! Aku merasa sangat bodoh sekali, tertipu rayuannya.
Pria tampan itu hampir semuanya sama, buaya, penipu! Sekali lagi ku tatap matanya. Aku tak akan memohon, aku tidak akan mengemis. Tanpa berkata lagi aku berbalik dan mulai melangkah. Entah, apakah dunia ini tahu apa yang aku rasakan? Hujan melebat begitu saja, angin pun bertiup kencang. Tubuhku terguyur hingga menyatu dengan air hujan, aku tak bisa merasakan lagi langkahku. Meski bisa ku rasakan dia masih menatap punggungku. Airmataku mengalir deras, tapi sudah tak bisa ku bedakan lagi karena air hujan menyiraminya. Aku keluar rumah dengan hati berbunga-bunga, tapi sekarang entahlah....apakah aku bisa sampai rumah nantinya? Aku berharap ini hanya mimpi, atau aku berharap ada sesuatu yang menghempas tubuhku agar aku tak bisa merasakan apapun lagi.