Mohon tunggu...
waliyulhamdi
waliyulhamdi Mohon Tunggu... web developer berbasis CMS Open Source -

pencerita, penikmat buku dan ... atau apalah

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

dan jadilah lifestyle dan konsumsi tak lebih dari permainan hasrat artifisial

14 Desember 2015   11:37 Diperbarui: 20 Desember 2015   03:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya tak ada masalah pada Lifestyle atau gaya hidup karena dia merupakan ekspresi dari identitas seseorang seperti senang berolah raga, senang makan, senang bermain musik, senang bersosialisasi, dan gaya hidup lainnya. Lifestyle menjadi sebuah masalah ketika menjadi sebuah komuditi dimana manusia menjadi objek pengkonsumsi dari produk-produk yang dijadikan Lifestyle.

Pertanyaannya, bagaimana Lifestyle menjadi sebuah komuditi dgn produk-produknya yang terus dikonsumsi dan dikonsumsi ? Lifestyle tdk akan menjadi sebuah komuditi jika kita masih memiliki kejelasan identitas yang otentik oleh karena tahapan pertama menjadikan Lifestyle sebuah komuditi adalah pengaburan identitas sampai pada tahapan krisis identitas. Proses pengaburan ini sudah berlangsung lama, sejak kita lahir proses ini sudah berlangsung dimulai dari rumah dan orang tua, terus sampai kita berinteraksi secara sosial dengan dunia luar. Pengaburan dilakukan dengan redefenisi tanda dan penanda yang terus berubah.

Saat seorang anak lahir tanda dan penanda mulai dilekatkan pada diri si anak sebagai tatto sosial, misalnya nama ( tanda : laki-laki – penanda : aco, tanda : perempuan – penanda : ecce), pakaian (tanda : laki-laki – penanda : celana, tanda : perempuan – penanda : rok). Ketika anak mulai keluar rumah tanda dan penanda mengalami redefenisi yang semakin kompleks, tanda : laki-laki – penanda : celana apa ?, tanda : perempuan – penanda : rok bagaimana, tanda : makanan – penanda : ???. Tanda dan penanda ini terkadang menjadi seolah-olah sesuatu yang terberi dan tidak pernah lagi dipertanyakan dan menjadi aturan baku, mirip dengan rambu-rambu lalu lintas yang mengatur kita dalam berlalu lintas di jalanan. Karena tanda dan penanda yang terus teredefenisi maka orang-orang kemudian mengalami krisis identitas, bagaimanakah identitas seorang laki-laki? Bagaimanakah idenitas seorang perempuan ? Bagaimanakah identitas makanan untuk menghilangkan rasa lapar ? Karena tak ada lagi kejelasan identitas yang otentik maka identitas tidak lagi orisinil dan tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang terberi melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan.

Proses memperjuangkan sebuah identitas adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan yang melibatkan hasrat, kenapa melibatkan hasrat ? Karena dalam krisis identitas orang menjadi merasa serba kekurangan. seorang laki-laki merasa kurang kelaki-lakiannya, seorang perempuan merasa kurang keperempuanannya, seorang yang lapar merasa kurang terpenuhinya hasrat makannya, seorang yang mengidentikkan dirinya dengan modernitas merasa kurang modern. Merasa kekurangan lah yang melahirkan keinginan untuk memenuhi keinginannya dan ini merupakan pendorong penting kemunculan teknologi yang kemudian melahirkan relasi-relasi baru ditengah-tengah manusia (relasi dlm tinjauan ekonomi-politik dan relasi antar manusia-dunia-teknologi).

Dalam hal pemenuhan keinginan peran hasrat sangat besar, dialah yang melahirkan keinginan atas pemenuhan keinginan. Peran inilah yang mencoba diambil alih oleh para kapitalisme. Hasrat murni (sebagaimana identitas yang pada awalnya murni) mencoba ditangkap dan dijinakkan oleh kapitalisme. Penjinakan hasrat ini melalui proses peng-kode-an oleh mesin-mesin sosial yang bersifat kolektif. Hasrat yang tertangkap kemudian dikodekan ulang menjadi sebuah aksioma-aksioma sebagai pembatasan hasrat, untuk hasrat berkomunikasi untuk membangun relasi sosial diciptakan aksioma smartphone, dimana setelah menggunakan smartphone dengan berbagai fitur sosialnya maka hasrat anda telah telah terpenuhi, inilah pembatasan hasrat yang sebenarnya tak memiliki batasan (hasrat untuk berkomunikasi untuk membangun relasi sosial tidaklah memiliki batasan yang bisa didefenisikan). Penciptaan aksioma-aksioma ini sebagai batasan-batasan ciptaan dibarengi dengan imaji-imaji, aksioma smartphone dibarengi dengan imaji modern dengan jiwa sosial.

Aksioma – imaji akhirnya melahirkan produk-produk sebagai ikon pemenuhan hasrat, namun aksioma-aksioma rekaan terus mengalami perubahan seiring perbaikan produk yang memiliki kekurangan-kekurangan karena itulah peng-kode-an dlm kapitalisme berlangsung terus menerus dan disebut kreasi. Pada dasarnya hasrat tidak bisa tertangkap karena sifatnya yang tak berbentuk dan tak memiliki batasan yang jelas namun dengan melakukan peng-kode-an dengan menciptakan aksioma-aksioma kapitalisme berhasil menciptakan hasrat artifisial dan dimasukkan dalam kebutuhan serta diberi batasan. Pemasukan hasrat artifisial inilah yang memungkinkan terbangunnya hubungan yang harmonis antara kapitalisme dan teknologi dimana teknologi hadir untuk mendekatkan orang-orang dengan aksioma-aksioma yang merupakan hasrat rekaan dengan produk-produk sebagai batasannya. Perkembangan teknologi informasi saat ini semakin membuka pintu bagi hasrat arfisial untuk masuk ke dalam ruang-ruang pribadi, kini anda dapat melihat iklan sebuah produk bahkan saat anda sedang berbaring di tempat tidur.

Kini tercipta kondisi dimana hasrat anda dengan mudah dibatasi dan mudah dipenuhi dengan cukup mengkonsumsi produk-produk sebagai batasan-batasan hasrat. Konsumsi sebenarnya tak ada masalah karena konsumsi setua usia kehadiran manusia di muka bumi ini, namun ketika konsumsi dalam rangka pemenuhan hasrat merupakan sesuatu yang artifisial maka ini menjadi sebuah masalah karena akan terbentuk pula nilai-nilai baru yang merupakan bagian dari imaji. Hasrat yang tak terbatas, aksioma-aksioma yang melahirkan imaji dan produk yang terus diperbaharui dalam memenuhi hasrat artifisial melahirkan budaya konsumerisme dimana orang-orang didorong untuk terus mengkonsumsi produk-produk.

... dan jadilah Lifestyle dan Konsumsi tak lebih dari permainan hasrat artifisial

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun