16 September 1963 Â adalah hari pembentukan Malaysia yang merupakan perluasan Malaya yang merdeka 31 Agustus 1957 mengakuisisi Singapura, Sabah dan Serawak yang diprotes oleh Indonesia dengan konfrontasi yang baru berakhir 1966.Â
Pembentukan Malaysia diwarnai pertimbangan "sara" keseimbangan etnis Melayu, Tionghoa dan India jika hanya Singapura yang masuk maka justru etnis Tionghoa menjadi  mayoritas. Karena itu Sabah dan Serawak harus ikut dalam Federasi Malaysia termasuk Kesultanan Brunei.Â
Bung Karno menentang kelahiran Malaysia dan politisi  Partai Rakyat Brunei AM Azahari memenangkan pemilu di Brunei dan pada 8 Desember 1962 memproklamirkan Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU).Â
Revolusi NKKU ini akan dipadamkan oleh pasukan Inggris tapi Sultan Brunei (ayahanda Sultan Bolkiah sekarang) memutuskan tidak akan ikut Federasi Malaysia yang hanya akan diikuti oleh Persekutuan Tanah Melayu (Malaya) Sabah, Serawak dan Singapura. Â
Di Indonesia sendiri, pada era pemerintahan Bung Karno justru sempat meledak insiden rasial penganiayaan etnis Tionghoa pada 10 Mei 1963 di Bandung, yang antara lain memakan korban keluarga anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) drs Yap Tjwan Bing. Â
Dalam konteks konflik rasial itulah sejarah Asia Tenggara akan mencatat bahwa  pada 9 Agustus 1965 Singapura akan keluar dari federasi Malaysia sedang konfrontasi Indonesia Malaysia mencapai puncaknya ketika Indonesia keluar dari PBB Januari 1965 sebagai protes atas terpilihnya Malaysia menjadi anggota tidak tetap DewanKeamanan PBB. Â
Tapi kudeta G30S dan pemungkasnya Soeharto 1 Oktober 1965 membalikkan keadaan dan Indonesia menjadi pro Barat AS , menghentikan konfrontasi pada 1966 dan malah akan membantu Malaysia memusnahkan sisa sisa gerakan kemerdekaan KalimantanUtara yang berada di Serawak dan Kalimantan Barat. Â Tapi Malaysia sendiri akan mengalami ledakan konflik rasial terburuk dalam sejarah ketika partai DAP menang pemilu di wilayah ibukota federal Kulalumpur memicu kerusuhan rasial 13 Mei 1969. Sudah banyak yang ditulis tentang suksesi Orla Orba dari Bung Karno ke Jendral Soeharto 1966.Â
Setelah wafatnya Tengku Abdulrahman baru terungkap dari buku bukunya bahwa ia merasa dikudeta oleh wakilnya Tun Abdul Razak yang menjadi otak dibalik kerusuhan 13 Mei 1969.Â
Sejarah suksesi pemimpin politik tertinggi di dua negara: Presiden RI dan PM Malaysia adalah sejarah kasak kusuk dan kudeta meski dilakukan dibalik penyelenggaraan  pemilu yang seolah bebas dan murni tapi petahana tidak pernah bisa digantikan oleh oposisi.
Jika Indonesia mengenal mitos Notonegoro sebagai akhiran nama Presiden berdasar fakta Sukarno diganti Suharto, yang kemudian meleset jauh sebab menjadi Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi, maka Malaysia percaya mitos Rahman, sebagai kumpulan huruf awal PM Malaysia.Â
Pertama Tengku Abdul Rahman, diganti oleh Abdul Razak, Husein Onn, Mahathir Muhamad, Abdullah Badawi, Najib Razak dan sekarang kembali ke Mahathir. Anwar Ibrahim sempat menjadi putra mahkota (waperdam) dan yakin karena namanya Anwar. Ternyata malah di Sodomi kan oleh Mahathir dan diganti oleh Abdullah Badawi lalu Najib Razak. Jadi bisa diklopkan menjadi RAHMAN. Â
Tapi dengan baliknya Mahathir sebagai PM ke-7 dari PM ke-4, meski usianya sudah 93 tahun nasib dan masa depan Anwar Ibrahim menjadi tidak menentu lagi.Â
Komentar Daim Zainuddin yang dimuat di Malaysia Today bersamaan dengan buku Najib Razak membela diri, mengungkapkan bahwa Anwar Ibrahim tidak "bersih" dari ambisi Machiavellian yang berjiwa Ken Arok dan Brutus dalam manuver suksesi politik di Malaysia.Â
Jadi dua negara serumpun ini memang saling copas manuver tidak etis disayangkan keduanya tidak mampu mentas tuntas dari praktek konspirasi saling menjatuhkan antar elite orang pertama dan orang kedua, meskipun secara formal keduanya mengklaim menganut demokrasi yang menghormati pilihan rakyat pemilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H