Mohon tunggu...
Christianto Wibisono
Christianto Wibisono Mohon Tunggu... -

Redaktur politik Harian Kami 1966-1970 Pendiri dan direktur TEMPO 1970-1974 Pendiri Pusat Data Business Indonesia 1980-2000 Pendiri Institute Kepresidenan Indonesia 2012

Selanjutnya

Tutup

Politik

WIBK 14 Juli 2018 "Hoa Bastille Freeport"

14 Juli 2018   19:49 Diperbarui: 14 Juli 2018   20:01 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari Saptu 14 Juli adalah hari Revolusi Prancis memperingati pengambilalihan Bastille oleh rakyat Prancis yang dikenal sebagai simbol benteng penjara bagi para napi politik Raja Louis XVI.  Ketika rakyat menyerbu ternyata hanya ada 7 napi yang bukan tapol tapi penjahat kriminal biasa. Rakyat protes karena Menkeu yang simpatik dan populis terhadap rakyat Jacques Necker dipecat.  Bersama Bung Karno dari atas Menara Eiffel di Paris kita membicarakan euforia Bastille Indonesia, Freeport yang berhasil ditaklukkan oleh Kabinet Kerja Jokowi 1.0

CW: Selamat malam pak, hari ini 229 tahun lalu gelombang revolusi Prancis yang terkenal dengan ungkapan Revolusi akan memakan anaknya sendiri yang sering bapak kutip diperingati sebagai hari Nasional Prancis yang besok pagi akan berdebar debar menantikan apakah kesebelasannya bisa jadi juara dalam final Piala Dunia Minggu 15 Juli. Apa  kesan bapak terhadap Revolusi Prancis dan polemik gebrakan akuisisi Freeport oleh Presiden Jokowi?

BK: Hari ini Ginanjar Kartasasmita menulis di Kompas berjudul Memahami Kontrak dan Divestasi Freeport yang merupakan uraian desktiptif yang lengkap. Tapi analitis, diagnosis dan terapinya tidak atau belum terurai disitu. Malah buku nya berjudul Manging Indonesia's Transformation 2013 lebih detail menceritakan bagaimana ia selaku Menteri ESDM 1988-1993 memfasilitasi Indonesianisasi saham yang dinikmati oleh Aburizal Bakrie yang hanya setahun mengoperkan kepada Bob Hasan dengan keuntungan berlipat kali dari transaksi mudah itu. 

Di Halaman 119 buku nya Ginanjar  menulis: The only thing that the President was not happy about  was that Freeport chose Bakrie . Buku setebal hampir 500 halaman itu menguraikan konspirasi dan konflik politik internal Orde Baru yang harus dibaca oleh siapa saja agar tidak terulang kesalahan dan kekeliruan yang terjadi dizaman Orde Baru.

CW: Wah generasi milineial malas mendengar masa lalu mereka mau mendengar resep bapak tentang Freeport berhubung banyakan kritik dari ex CEO BEI Tito Sulistio, dari politisi PAN Drajad Wibowo dari gurubesar UI Hikmahanto  Juwana dan gegap gempita di sosial media.

BK: Generasi yang malas membaca sejarah dan merasa segala sesuatu harus diselesaikan secara pragmatis praksis kontemporer nihil ideologi sebetulnya sedang akan menuju arogansi egoisme generasi "mapan" yang mewarisi kondisi dari generasi pendirinya dan take it for granted bahwa mereka tidak peduli dengan riwayat perjuangan pendahulu mereka. Pada umumnya, putrai putri pejabat dan atau konglomerat kan besar dalam kenikmatan kemewahan hasil KKN generasi  elite Orba . 

Mereka tidak pernah berjuang melawan tirani, sebab yang berjuang pasti akan masuk bui dan karena itu semua tiarap ikiut menikmati Orba, sampai jika suatu saat merega tergusur ya sudah tidak berdaya. Nah seluruh generasi mapan itu sekarang sedang berlindung dibalik "Reformasi" untuk mempertahankan libido kenikmatan kekuasaan mereka. 

Tommy Soeharto dengan pede menolak dipojokkan oleh Najwa Shihab . Dengan lantang ia menangkis isupelanggaran HAM oleh ayahnya. Katanya isu pelanggaran HAM sudah kedaluwarsa , sudah lewat 20 tahun. Kenapa tidak pernah ada pengadilan terhadap Mei 1998, Cuma polisi kroco saja yang dikorbankan dan diadili. 

Tapi siapa yang bertanggung jawab terhadap Mei 1998 kan tidak pernah diadili. Wah mendengar Tommy Soeharto berbicara didepan Mata Najwa, orang bingung ini Tommy Soeharto atau Harris ketua Kontras yang juga meng gebu gebu dalam acara yang sama untuk memojokkan rekam jajak Orde Baru dalam pelanggaran HAM.  

Merupakan ironi besar bagi orde Reformasi bahwa dalam kasus A Hok begitu besar faktor "opinipublik" menghakimi dan memvonnis sampai A Hok takut berbuat segala upaya hukum dan merelakan hak politiknya "dikebiri" bahkan tidak diakui. Sementara seorang terpidana kasus pembunuhan Hakim Agung, bisa dapat remisi dan dengan lantang dan pede menyatakan bahwa dirinya sudah bebas murni dan berhak atas segala hak politik warganegara termasuk masuk lagi dalam barisan elite pemimpin dan penguasa negeri Republik Indonesia.

Di KMBCW: OK Pak kita kembali ke Freeport dan kaitannya dengan Bastille.

BK: Ya itu sekali lagi penerapan "butterfly effect" . Idiom yang dipakai zaman Bastille bisa dipakai juga dizaman Freeport. Elite politik selalu punya alasan, argumen, alibi untuk membenarkan kritik terhadap lawan politik baik oleh petahana maupun oleh oposisi yang tidak berkuasa. Biasanya dalamiklim liberal, ketidak beresan itu bisa tercium secara dini dan bisa diatasi atau dihindarkan karena oposisi kritis preemptive mencegah terjadinya blunder kebijakan yang bisa merugikan kepentingan nasional.  

Dalam iklim tertutup maka putusan yang diambil secara diam diam, tidak ada argumen atau brainstorming pro dan kontra serta analisis SWOT maka putusan diambil secara sefihak sempit arogan dan bisa jadi blunder besar yang mempengaruhi kinerja nation state itu secara berkepanjangan.

Dalam soal Freeport itu sebetulnya diperlukan sinergi cerdas antara Menteri BUMN, Menteri ESDM dan Menkeu serta pengalaman negosiasi lintas rezim  dan lintas empiris.  Ketika kita berunding dengan Belanda di KMB dengan semangat gegap gempita ternyata  hasilnya malah harus mengakui hutang Hindia Belanda  harus dibayar oleh RIS kepada Belanda. Nasib kita itu ternyata merupakan satu satunya negara bekas jajahan yang harus membayar utang kepada bekas penjajahnya. 

Waktu itu saya di isukan sebagai kolaborator Jepang, karena itu Sekutu dan Belanda hanya mau berunding dengan Sutan Syahrir dan bukan Sukarno.  Setelah membayar hampir lunas 7 tahun pada 1957 saya nasionalisasi seluruh perusahaan Belanda dalam rangka perjuangan membebaskan Irian Barat. Tapi kemudian terjadi de-nasionalisasi pengembalian perusahaan itu kepada pemilik oleh Orde Baru 1967 karena ekonomi Indonesia bangkrut waktu itu. 

Nah kemudian Orde Baru 32 tahun berkuasa tapi juga ekonominya bangkrut tahun 1998. Sekarang sudah 2018, sudah 20 tahun Reformasi lha kok negosiasi Freeport masih diselimuti kasak kusuk pro dan kontra serta curiga antar elite mulai dari kasus rekaman CEO Freeport dan Ketua DPR Setnov sampai sekarang Hoa yang malah mirip Hoax. Sekarang ini bukan zaman perang dar  der dor konfrontasi dan kerumunan model 212 yang mengandalkan otot penasaran gaya preman. Sekarang ini zaman perang dagang, dengan tarif bea masuk, dengan quota, dengan non tarif barier. 

Nasionalisasi model 1957 dengan semangat Bastille, serbu penjara, ambil alih dan kuasai asset atau perusahana milik asing dengan semangat "jihad ekonomi" Xenophobia, anti asing, anti kolonial, anti imperial adalah pola kuno ketinggalan zaman, primitif, primordial dan ditertawakan orang banyak. Yang berlaku sekarang adalah kelihayan kepiawaian corporate raiders model Carl Icahn yang pernah dipraktekkan oleh Mahathir ketika pemerintah Malaysia membeli Guthrie di London sehingga PM Margaret Thatcher kebakaran jenggot (meski dia tidak berjenggot). Juga orang seperti Soros bisa mengalahkan the Bank of England dengan currency war 1992. 

Kita pernah membeli Bank Indonesia dari de Javasche Bank dengan negosiasi dan harga win win begitu juga 1970 Ibnu Sutowo membeli asset Shell secara angsuran win win. Tidak ada yang merasa dikibuli dan dipaksa, tapi win win deal. Nah dalam soal Freeport ini banyak orang yang mengritik kenapa tidak memakai pola Inalum, ngotot menawar dan memperoleh harga "lumayan,. lebih rendah dari yang ditawarkan Jepang. Tentang dampak kebijakan Hoa bagi saham Freeport Induk di NYSE, mestinya juga kita alert dan lihay untuk justru melakukan move manuver corporate raiders.

 Layaknya hunter memangsa lawan secara cerdas pada saat lawan lemah dan rendah harganya. Semua ini memerlukan bauran kebijakan dan kelihayan manuver sehingga yang dikritisi itu bisa dilakukan secara simultan dan sebagian memang "mesti merupakan manuver diam diam" tapi memanfaatkan mekanisme bursa yang memungkinkan corporate raiders seperti Carl Icahn menguasai induk Freeport  secara cerdas.  Sekarang ini memang yang akan untung jelas konkret karena saham Freeport akan naik di New York ya Carl Icahn itu. Seandainya Inalum atau siapa termasuk Prabowo lihay membeli saham Freeport waktu hargaya anjlok maka kita sudah bisa menguasai Induk Freeport setara dengan Carl Icahn tanpa perlu gebrak meja atau konfrontasi. 

Melainkan seperti ketika Mahathir akuisisi Guthrie Sime Darby, ketika kita ambil alih BI dan Ibnu beli Shell. Sekarang oposisi menjungkirbalikkan Hoa seolah mereka lihay bisa kasih resep, padahal hanya koar koar anti asing anti Freeport. Tapi kalau berkuasa juga pasti seperti perjalanan sejarah bangsa kita. Termasuk Indonesianisasi model Ginanjar Bakrie Bob Hasan yang tidak bermanfaat buat rakyat kecuali buat oknum yang menikmati divestasi 1992. 

Baca memoir dari orang orang penting zaman Soeharto, kalian akan mengetahui bagaimana intrik politik intra elite puncak Indonesia mengakibatkan Indonesia sekarang ini hanya mampu mengekspor separoh Vietnam. Saya jenuh mengomentari inertia menjemukan elite kita. Kalau Jokowi memakai jurus gabungan BI Shell Guthrie Sime Darby Soros dan Carl Icahn, maka kita tidak perlu keluar duit Rp. 50 trilyun sebab dengan US$ 1 milyar saja waktu saham Freeport jatuh 2015 , kita sudah bisa menguasai induk Freeport langsung dari jantungnya di New York. 

Dan otomatis Freeport Indonesia menjadi milik kita tanpa perlu membeli dengan harga "premium" seperti di"paksa"kan sekarang. Carl Icahn membeli Freeport dengan harga murah sekarang akan mendapat limpahan. Kalau kita lihay,  ketika saham itu sedang "ambruk" justru ketika tidak jelas status kontrak nya dengan RI ,maka kita beli induknya lansgung seperti Carl Icahn. GoI Pemerintah Indonesia (lewat proxy ) bisa jadi pemilik langsung Induk Freeport .

CW: Bapak saja jenuh dan capek, apalagi masyarakat yang tidak memahami seperti yang ditulis oleh Ginanjar di Kompas hari ini. Sekarang sudah jelas dengan resep bapak bahwa kita harus punya kapabilitas model Carl Icahn untuk mencaplok Freeport secara cerdas cermat dan sanggih.

BK Karena itu kalian terutama generasi milenial harus rajin membaca sejarah dan geopolitik empiris yang kita fasilitasi denganWIBK ini. Semoga seri wawancara ini bisa jadi kursus kilat bagi  Indonesia Inc divisi corporate raiders untuk mewarisi semangat raiders yang patriotik bagi elite kita menghadapi protagonis model corporate raiders setara Carl Icahn.

Semangat Indonesia Inc itu lah yang sedang ditempa oleh Presiden Jokowi menggantikan semangat "owner of the state model Orba".  Yang harus menikmati adalah seluruh rakyat Indonesia (Indonesia Inc) bukan sekedar oknum mengatasnamakan Indonesia seperti riwayat 51 tahun Freeport ini. Jangan sampai terjadironi revokusi Prancis,  Revolusi memakan anaknya sendiri, Freeport memakan oknum) Indonesia Inc dan bukan Indonesia Inc (GoI)  memakan Freeport.

CW: Terima kasih semoga mencerahkan elite generasi milenial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun