"Ah, tidak, Pak," dengan agak tergagap, Fulan menjawab teguran si bapak dan lanjut menyuap sendok demi sendok nasi goreng. Perawakan bapak tua perokok itu mirip seperti perawakan mendiang kakeknya. Orang yang sangat disayang Fulan. Ketika ia masih kecil, kakeklah yang senantiasa memanjakannya, menasihatinya dengan petuah-petuah yang baru kerap terbayang dalam pikiran dan baru bisa dipahaminya setelah ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Betapa ia kagum dengan kakeknya, yang diumpamakan bagai oase di padang gurun, berlimpah dengan kebijaksanaan.
Tidak lama kemudian, bapak tua perokok itu pun undur diri dari warung nasi goreng setelah sebelumnya mengucapkan salam kepada Fulan.
Pengunjung warung kecil itu silih berganti, dan setelah merasa damai dengan perutnya, Fulan membayar menunya dan lanjut berjalan hingga ke perempatan lampu merah. Ia berharap di sana masih ada bus yang menuju ke arah tempat tinggalnya. Sebenarnya ia masih ingin berjalan kaki menikmati malam itu, tapi serangan kantuk mulai menggoyahkan pendiriannya. Beruntung, ada satu bus yang mengetem di simpang empat, tanpa tedeng aling-aling, Fulan melompat naik ke bus dan duduk di bangku deretan depan. Entah mengapa, ia merasa kurang aman bila duduk di deretan belakang. Beberapa pemuda bertampang beringas yang diduganya preman semakin meneguhkan hatinya untuk hanya duduk di deretan depan, di dekat sopir. Bus mulai berjalan, melewati jalan-jalan kota yang semarak oleh lampu-lampu jalan. Fulan berharap segera sampai di rumah, berbaring di kasur kesayangannya, dan berlayar ke alam mimpi. Semoga besok adalah hari yang indah di negeri nelangsa ini.
--
Tentang Si Fulan di Negeri Nelangsa:
Kisah-kisah Si Fulan di Negeri Nelangsa merupakan kisah oleh tokoh fiktif di negeri yang fiktif pula. Namun esensi kisahnya mungkin berkaitan langsung dengan kisah di negeri selain Negeri Nelangsa. Satu hal yang perlu saya tekankan, tidak ada satu kisahpun yang bertujuan untuk mendiskreditkan pihak manapun. Saya menulis kisah-kisah Si Fulan di Negeri Nelangsa ini hanya untuk berlatih menulis; naratif dan terkadang argumentatif, dibumbui dengan gaya bahasa metaforis dan satir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H