Mohon tunggu...
John Loe
John Loe Mohon Tunggu... -

newbie entrepreneur, tertarik dengan masalah2 sosial, sedang belajar menulis apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Disfungsi Ereksi

4 Agustus 2010   02:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:19 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disfungsi Ereksi adalah suatu gejala kelainan seksual berupa ketidakmampuan (maaf) alat kelamin laki2 untuk melakukan penetrasi pada (maaf lagi) alat kelamin wanita pada saat akan melaksanakan "tugasnya" (sumber: www.kirakira.com)
Hal ini dapat mengganggu keharmonisan di dalam sebuah rumah tangga. Itu pasti.

Nah, pagi ini saya tidak ingin bicara soal hubungan suami istri secara terbuka karena bisa kena UU Pornografi dan UU ITE. Ngga banget!!!

Saya hanya gelisah melihat keadaan negara ini yang menurut saya sudah semakin tidak HARMONIS. Semacam ada disfungsi ereksi d dalam tata pengelolaan dan penyelenggaraan negara ini. Terlalu banyak bukti ketidakharmonisan itu.

Lihat saja bagaimana rakyat yg seharusnya dilindungi oleh negara secara ekonomi, politik, hukum, budaya, keamanan, kenyamanan,dll. Untuk kerennya saya sebut saja bahwa hak asasi manusia rakyat Indonesia telah terabaikan.

Secara ekonomi: rakyat harus menerima begitu saja kenaikan harga2 bahan pokok yg tejadi setiap waktu, tidak hanya saat memasuki bulan Ramadhan yg biasanya menjadi kambing hitam pembenaran kenaikan harga. Harga2 kebutuhan hidup semakin tidak terjangkau. Rakyat menjerit, elit politik dan birokrasi tuli dan bisu. Kasihan.

Secara politik: atas nama aspirasi rakyat para elit politik kita menguras uang negara yg merupakan sumbangan rakyat untuk memenuhi kebutuhan kenikmatan mereka, sebut saja istilah 'dana aspiras' yg besarnya 15M per anggota dewan/tahun. Yg konon akan digunakan untuk menyerap aspirasi konstituen di dapil masing anggota dewan. Dan yg paling hangat adalah "rumah aspirasi" berupa dana untuk sewa rumah bagi para elit ini (baca: anggota dewan yg -maaf- tidak terhormat krn telah mencederai hati rakyat dengan ketamakan mereka) sebesar lebih dr 200juta/tahun. Bagi mereka mungkin saja uang 200juta tidak seberapa, bagaimana dengan mbah Marijah yg ngga punya beras sejak seminggu yg berarti sudah memulai laku puasa lebih awal dari sebagian besar umat Muslim? Makan aja ngga bisa? Dan saat ini saya rasa semakin besar jumlah rakyat seperti mbah Marijah yg puasa lebih awal krn kenaikan harga bahan pokok yg gila2an. Kalau ngurusi dana Century yg 7T para elit itu semangat, tp untuk ngurusi sekilo beras yg sekarang rata2 4ribu/kilo mereka ngga akan tertarik. Apakah secara politis mereka -para elit ini- ngga punya kuasa untuk mengingatkan kewajiban pemerintah (eksekutif) untuk menjaga stabilitas harga? Apakah saya patut curiga kalo mereka juga "berjualan" dgn eksekutif di tengah kesulitan ekonomi yg menimpa sebagian rakyat Indonesia ini? Mereka tuli, mereka bisu karena beras mereka harganya diatas 10rb/kilo dan dibayari pemerintah, DENGAN UANG RAKYAT.

Secara hukum: sudah jamak di negeri ini (yg dlm puisi Adhie Masardi dijudulkan NEGERI PARA BEDEBAH) bahwa rakyat kecil yg bikin kesalahan "kecil" dihukum lebih berat secara moral dan psikologis daripada para koruptor yg hanya ditampilkan di TV lalu kasusnya menghilang ditimpa kasus lain seperti video mesum teman saya. Contoh saja kasus nenek2 yg kedapatan ngambil 3 butir buah kakao yg jatuh dari pohon lantas dengan cepat diproses untuk dijatuhi hukuman 3 bulan penjara. Apa karena menurut polisi, jaksa dan hakim (Yudikatif)kasus ini ngga ada duitnya maka segera aja dijatuhkan vonis? Sementara kalo ada kasus KAKAP dibuat lama supaya sempat tawar munawar eh menawar? Wallahu Alam. Lagi2 rakyat kecil hrs mengurut dada yg tipis dan tinggal tulang belulang. Mereka -para Yudikat ini- sudah tuli, bisu dan buta lagi hati nuraninya.

Keamanan? Sama saja. Sebenarnya siapa sih penegak hukum di negara ini? Para Yudikat+Satpol PP itu atau sindikat Ormas yg mengatasnamakan agama dan etnis? Mengapa polisi seperti mambiarkan mereka melakukan tindakan anarkis yg menimpa rakyat Indonesia yg sah bahkan juga sesama pemeluk agama? Apalagi terhadap mereka yg dicap PKI? Dimana rasa aman bernegara di negeri para bedebah ini? (Maaf saya sangat cinta Indonesia tp ngga bisa seperti mas Pong Harjatmo corat coret gedung dewan)

Masih banyak lagi rasa ketidakadlian yg tumbuh subur, yang mencederai nurani rakyat negeri ini. Tapi pemerintah (eksekutif) dan para elit bangsa ini seperti tidak malaksanakan fungsinya dengan sungguh2. Apakah mereka mengalami disfungsi ereksi?

Hahaha saran saya, segeralah periksakan diri masing2 ke dokter andrologi atau konsultan hubungan rumah tangga supaya rumah tangga bangsa ini kembali harmonis.

Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun