Kau salah besar.
Inilah senjata terbesar, pencuri terbaik, penjahat terlicik juga tempat di mana semua kebijaksanaan bergumul dan meronta minta ditarik. Setidaknya, aku bukan jiwa yang mengambang.Â
Setidaknya, aku menghargai diriku ketika tidak ada yang menghargaiku."
Aku memandangmu kembali lurus-lurus, suaramu tercekat. Kamu tidak lebih baik dari aku, tapi tidak lebih buruk dari si otak confetti. "Katakan kata kuncinya." Kamu memandangku tidak percaya. "K---kenapa tidak lakukan seperti biasa saja?"
"Oh? Jadi sebenarnya kamu tidak lupa?"
Aku mengambil confetti menjijikkan itu, berminyak, kalau aku sedang waras, aku mana mau memegang ini. Dengan satu tangan memegang confetti berminyak, aku tersenyum seraya menyentuh lembut pipimu. Kamu bergetar, air mata muncul di pelupuk. Ini bagian yang paling aku suka. Perlahan aku menarik rahangmu, menahannya supaya tetap terbuka dan memasukkan segumpal confetti itu ke dalam mulutmu.
"MMMMMHH!"
Ah, pesakitan.
Mari kita mulai acara pembakaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H